Dira & Yessa: Bab 13 (3) Tanya Isi Kepala

564 80 13
                                    

Lihat! Sebegitu sayang teman-temannya kepada dirinya. Sebegitu pedulinya mereka pada dia. Banyak rasa sayang yang ia terima. Banyak kehangatan yang teman-temannya hadirkan.

Yessa, bukan tak pernah dimanja, bukan tak pernah merasakan kehangatan keluarga pada umumnya. Ingatannya masih begitu segar mengenai apa-apa saja yang pernah ia lalui bersama Papi dan Kak Diranya. Bawah kepalanya masih begitu kental mengingat semuanya. Ingatan yang membuatnya tersenyum remeh di atas motor yang ia kendarai, meremehkan dirinya sendiri.

Dia baru sadar sekarang, kenapa kehangatan tersebut tersimpan dengan baik di bawah kepalanya. Dia baru sadar, kenangan semacam itu, bisa ia hitung, bahkan hanya dengan sepuluh jari tangannya. Kenapa ia baru sadar sekarang ini? Apa yang membuat dirinya selalu menepis hal-hal yang membuat hatinya terkikis di masa sebelum ini? Apa? Yessa tak ingat.

Sepanjang jalan pulang dari kediaman abadi sang Mami, isi kepalanya ia gunakan untuk memutar andai-andai dan ingatan-ingatan lama. Konon katanya, bau tanah basah sebab hujan, akan memunculkan kenangan-kenangan secara bergantian. Dia tak pernah menggubris pendapat semacam itu. Baginya, itu hanya kata-kata para pujangga untuk meromantisasi keadaan saat hujan turun. Hanya kiasan untuk menyambung kata-kata agar indah dan menjadi padu.

Namun, saat ini, ia harus mengaku kalah pada prinsipnya terdahulu. Dia seperti tokoh pesakit hati yang ditulis oleh pengarang di musim hujan. Duduk di pojokan dengan secangkir minuman hangat dan tengah memandang keluar jendela sembari menumbuhkan ingatan-ingatan masa lampau yang menari-nari di pelupuk mata. Bedanya, dia tak duduk di sudut kafe menikmati minum hangat. Dia hanya duduk di pelataran minimarket dengan sebatang ice cream cokelat untuk menemaninya berteduh dari air langit yang semakin keras menghantam tempatnya hidup.
Dia memilih menepi setelah tidak kuat menerima terpaan angin yang begitu dingin menembus dadanya sepanjang jalan tadi. Beruntung, hujan yang lebat, turun ketika ia sudah berada di dalam minimarket.

"Ma... Nanti kita masak mienya sama Adek sama Ayah?"

Yessa yang tadi menatap lurus pada air hujan yang menerpa pelataran minimarket, menoleh ke sisi kiri, ke arah bocah dan sang ibu yang berdiri di samping pintu masuk. Ada segaris senyum yang Yessa ulas di sana. Dadanya yang tadi terasa dingin, menghangat seketika saat wanita yang dipanggil "Ma" tadi, tengah merapatkan jaket yang dikenakan sang anak. Ada senyum hangat yang wanita itu lempar untuk anaknya. Ada anggukan dan lembut jawab yang wanita itu beri untuk bocah perempuan di hadapannya.

Dia melepas pandang pada anak dan ibu itu. Dia gigit kembali ice creamnya yang baru ia makan dua gigitan. Di sana ia terdiam, mencoba menggali ingatan terdahulunya yang merekam kehangatan seperti kejadian yang baru saja dia saksikan.

Yessa tersenyum kecut, sebelum kembali memakan ice creamnya. Senyum yang ia gunakan untuk menambal ingatannya yang rumpang. Kosong. Ia tak menemukan apapun di sana.

"Memang apa yang mau lo cari, Yessica?!"

Dia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Memang apa yang ingin ia cari? Yang ia harapan tidak akan pernah ada di sana. Yessa sadar, ia tak memiliki ingatan apapun tentang dirinya dan sang ibunda. Yessa tak memiliki kenangan apapun dengan Maminya. Bahkan, sentuhan lembut, panggilan hangat yang pernah orang-orang ceritakan, tak pernah ia ingat.

Mungkin ini bisa menjadi salah satu jawaban, mengapa dirinya tak bisa melihat sisi buruk Papinya selama ini. Dia selalu mendewakan Papinya, selalu menaruh pria itu pada urutan nomor satu atas semua hal yang ia lakukan.

Yessa tak memiliki siapa-siapa selain Papinya yang bisa ia banggakan di depan teman-teman. Bahkan, Mak Bin pun hanya akan menjadi figuran pada ceritanya di masa sekolah dasar.

Hati dan mata Yessa seperti dibutakan oleh semua tindak tunduk manis yang Papinya beri. Ucapan-ucapan bangga yang dulu selalu Yessa dengar ketika ia juara dalam bidang seni atau olahraga, terasa begitu hambar jika diingat untuk saat ini. Dia baru sadar, Papinya tak pernah sekalipun hadir dalam perlombaan yang ia ikuti. Selalu ada dalih yang pria itu keluarkan untuk tak datang. Selalu ada janji hadiah besar yang Papinya berikan saat tahu ia menang. Dia benar-benar tak paham, kenapa baru sekarang ia menyadari kejanggalan-kejanggalan tersebut? Dia benar-benar tak mengerti, mengapa baru sekarang dia sadar, saat semua hal terasa begitu rumit.

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang