"Iye dah yang lagi kasmaran," teguran Asa barusan, membuat Yessa mendongak segera.
Di sana dia hanya tersenyum sambil menyimpan ponselnya di saku kemeja, membiarkan teguran Asa menguap seiring temannya berlalu ke dalam untuk mengambil pesanannya.
Senyum yang tadi terkembang, belum juga ia lunturkan. Selalu ada perasaan bahagia yang menyelinap, setiap kali bertukar pesan dengan Vito. Pesan-pesan sederhana, emoji aneh, kalimat-kalimat receh yang sering Vito kirim padanya, dan perhatian Vito, menjadi alasan dirinya bahagia.
Tapi di satu sisi ia takut, ia takut, perasaan ini hanya sebuah pelarian atas rasa sakit hatinya terhadap sang Papi. Sebab, sampai sekarang ia belum bisa meraba bagaimana perasaan sesungguhnya kepada Vito.
Yang ia pahami, setiap hatinya kacau, Vito selalu hadir untuk membantu dirinya memungut serpihan hati yang berceceran. Vito selalu ada untuk membuat hatinya merasa tentram. Sependek ini hanya Vito yang ia percaya untuk membantu dirinya membungkus luka.
Ada beberapa teman sebayanya yang mencoba menarik perhatian hatinya. Tapi tak ada yang pernah bisa membuat hatinya merasa tenang. Justru banyak kekhawatiran yang ia pikirkan setiap kali ada yang mendekatinya. Ada banyak ketakutan yang membayangi perasaannya. Dan ada banyak pikiran buruk yang mencuat setiap ada laki-laki di sekolah yang mendekatinya.
Ia seperti memiliki trauma tersendiri terhadap laki-laki yang mencoba menarik hatinya. Pikiran buruk pada mereka, tak pernah bisa ia singkirkan dari bawah kepala.
Pun dengan Vito. Dia nyaman, dia percaya akan Vito. Tapi ia selalu mengelak jika Vito mencoba mengarahkan pembicaraan untuk menjalin hubungan. Ia takut. Ia takut Vito menyakiti hatinya. Sikap dan tindakan Papinya, selalu terbayang, ketika ia memikirkan tentang asmara di masa mendatang. Hatinya sudah tak berbentuk, ia tak ingin semakin remuk karena hubungan percintaan.
"Kodok ngajak main, udah chat lo belum?" tanya Asa yang sudah kembali duduk dengan pesanannya.
"Belum. Gue nggak bisa," jawab Yessa.
Asa mengernyit, menunda menyuapkan makanannya ke dalam mulut, "Ngape lo? Kagak ada bimbel 'kan?"
Yessa belum menjawab. Ia kunyah dulu nasi yang ada di dalam mulutnya. Dia tatap Asa yang masih memandangnya heran. Hanya ada senyuman yang ia lempar untuk saat ini.
"Dih? Malah senyam senyum lo, anjir! Main ayo! Biar nggak sedih mulu. Benci banget gue sama lo sekarang, cengeng," kata Asa sedikit dengan nada kesal sebelum menyuapkan makanannya cukup kasar.
Yessa masih belum menanggapi. Nasi yang ada di dalam mulutnya belum selesai ia kunyah, bahkan kunyahannya melambat setelah mendengar kalimat Asa barusan.
Ia belum cerita apapun ke temannya ini perihal kemarin atau masalah semalam. Tapi Asa seperti sudah mengetahuinya. Mungkin Reva yang memberitahunya, pikir Yessa.
"Udah ada janji sama Bang Vito. Kodok nggak chat gue apa-apa. Dia ngajak lo doang, kali,"
Asa menggeleng cepat, "Kagak, tadi dia bilang mau ajak lo juga. Ya kali kita main tanpa lo, lo 'kan yang paling butuh hiburan haha," ledek Asa.
Ledekan yang membuat Yessa spontan menjambak rambut sebahu milik Asa. Tak ada kemarahan di sana, justru tawa yang semakin kencang yang Asa gemakan.
"Ya abis, sedih mulu, lo. Cerita kagak, dipendem doang. Biar apa gue tanya? Kagak bakal jadi pohon duit juga,"
"Malas cerita sama lo. Diledek mulu," balas Yessa sembari mengerling malas.
Dia kerucutkan sedikit bibirnya tanda kesal. Tak sepenuhnya kesal, dia hanya merasa malu jika Asa mengejek muka kacaunya usai menangis.
Asa masih terkikik pelan usai kembali menyuapkan makanannya. Yessa yang melihat itu pun, kembali menjambak pelan rambut Asa, kemudian mengikuti temannya untuk melanjutkan makan.
"Lo tuh makannya nggak usah nggak enakan ke gue sama Kodok, kaya sama siapa aja. Lagian 'kan gue sama Kodok, juga udah nawarin lo buat jemput kalau lo butuh dijemput," ucap Asa tiba-tiba setelah mereka hening untuk beberapa saat.
Yessa diam. Sambil mengunyah, dia hanya membalas pandang Asa dengan senyum tipis. Kemudian menunduk, menatap kotak bekal yang isinya sisa sedikit. Kotak bekal yang Mak Bin siapkan, sesuai permintaannya.
"Sebenernya, gue dari pagi udah ragu kalau Papi bakal jemput, Sa. Tapi gue coba percaya. Berasa udah lama juga gue nggak dijemput Papi, jadi gue pengen banget dijemput dia. Tapi ya... ya udahlah," balasnya dengan nada pasrah.
Memang tak ada lagi harapan di sana. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki atas kejadian kemarin. Dia hanya bisa pasrah dengan semua yang terjadi.
"Lain kali, kalau punya perasaan ragu tuh mending nggak usah sekalian. Dari pada dipaksa, ujungnya lo yang rugi 'kan? Lagian, ini bukan pertama kalinya lo nggak dijemput Papi lo dengan alasan dia lupa, Yessa. Kenapa lo kagak belajar dah?" ungkap Asa dengan nada kesal.
"Gue kaya orang tolol ya, Sa?"
"Ya emang tolol!" jawab Asa cepat penuh dengan penekanan.
"Gini, lo tuh harus paham kalau bukan cuma anak yang bisa durhaka ke orang tua, tapi orang tua juga bisa durhaka ke anak. Sorry ya, contohnya bapak lo itu. Gue jadi lo, udah kagak bakal gue percaya lagi dah, omongan yang keluar dari mulutnya. Atau bahkan, udah males negur dan ngomong sama dia. Bukan mau ngajarin nggak bener, tapi lo berhak kok buat bersikap kaya gitu demi diri lo sendiri. Anggap aja itu teguran buat bokap lo. Orang tua juga 'kan sering begitu, kasih teguran kalau anaknya dianggap durhaka," Asa menasehati.
Yessa yang sedari tadi mendengarkan kata perkata yang keluar dari mulut temannya, terdiam untuk mengolah ucapan tersebut. Dia juga bingung dengan dirinya sendiri, mengapa sulit bersikap tak acuh pada sang Papi kemarin-kemarin. Padahal banyak hal menyakitkan yang telah ia terima dari dulu. Dan puncaknya semalam. Dia masih ingin menangis jika mengingat perkataan Papinya pada sang Kakak tadi malam. Perkataan yang merupakan jawaban dari pertanyaannya selama ini.
"Asa..." panggil Yessa pelan.
"Hmm?" temannya hanya bergumam sebab, mulutnya penuh.
"Kalau gue ada salah, bilang ya, Sa. Biar gue tahu apa yang harus gue lakuin,"
Asa mengernyit, "Maksudnya?" tanya Asa tak paham.
"Ya... gue nggak mau aja, kalau suatu saat nanti, lo ungkit kesalahan gue yang nggak pernah lo bilang, kalau saat itu gue salah,"
Asa semakin mengerutkan dahi, tak paham apa maksud Yessa.
"Ngomongnya jangan muter-muter, nasi gue baru ketelen, belum diolah buat jadi nutrisi otak!" protes Asa.
Ada tawa yang Yessa keluarkan untuk menanggapi balasan Asa barusan.
"Selama ini, ternyata gue punya salah sama Papi gue, Sa. Dan mungkin itu yang buat dia agak bedain gue sama anak yang satunya,"
"Lo ada salah apa emang?"
Yessa diam. Ia memandang Asa dan nasinya bergantian untuk meredam nyeri yang tiba-tiba muncul dari dalam hati.
"Lahir, Sa. Kelahiran gue ternyata salah di mata Papi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Cerita Singkat di Twitter
FanficSaking gapteknya, saya pusing pakai aplikasi nulis lain. Susah pakai Medium dan kalau di screenshot narasinya, sering kepanjangan. Jadi, nanti mungkin, setiap saya gabut dan buat AU di Twitter, narasinya saya taruh di sini. Enjoy ya kawan.