Dira berjalan sambil membawa minum ke dekat jendela yang ada di ruangannya. Langkahnya itu diikuti Safira yang lebih dahulu duduk di kursi yang ada. Dira memandang temannya itu sekilas sembari meletakan cangkir yang ia bawa tadi.
Dia lebih memilih menyandarkan tubuhnya pada tembok dan memandang jalan kecil yang terlihat dari tempatnya berdiri. Tangannya ia lipat di depan dada, sebelum ada napas berat terembus dari hidungnya.
"Nggak enak racikannya?" tanya Safira kemudian.
Dira menoleh, mengangguk pelan, "Teh tarik memang begini? Rempahnya terlalu kuat. Kalau hangat enak, kalau dingin, kurang," jawab Dira.
"Resep dari Bapak lo itu,"
Dira mengernyit, "Iya? Perasaan punya Papi gue, nggak gini rasanya," herannya.
Ia duduk di seberang Safira, menyesap kembali teh tarik yang dibuatkan oleh pegawai kedainya.
"Kebanyakan kayu manis. Nanti gue minta dikurangin takarannya,"
"Oke, nanti gue otak-atik dulu resepnya di rumah, besok biar anak-anak coba bikin. Susunya gimana? Fix pakai biskuit kelapa?" tanya Safira lagi.
Mereka memang sedang mencoba membuat menu-menu baru yang akan mereka tambahkan di menu minuman kedai ini.
"Iya pakai itu aja. Biskuit susu terlalu eneg. Yessa juga kurang suka,"
Ada kerlingan mata dan senyum yang Dira tangkap dari Safira. Dia tahu kenapa manajernya itu tersenyum.
"Jangan-jangan, lo bilang teh tariknya kebanyakan kayu manis, karena Yessa kurang suka aroma kayu manis?"
Dira tertawa pelan dan mengangguk, "Gue juga harus pertimbangin pendapat dia. Ini kedai, bukan cuma punya gue, tapi punya dia juga," terang Dira.
Di sana Safira hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali, bersama senyum yang belum pudar dari wajahnya.
"Kalau dia nanti kuliah di luar kota, siapa yang ngurus? Lo juga mau pindah sama Vino,"
"Ada Papi, ada lo juga. Lo kudu sering-sering nengokin kedai ini, Saf. Kalau libur semester, gue balik ke sini bareng Yessa,"
"Elah, kaya gue orang sibuk aja ha-ha. Pasti ke sini lah. Studio foto gue, cuma rame kalau musim wisuda sama musim kawin doang," sergah Safira yang masih tertawa setelahnya.
Dira mencebikan bibir, mencibir kalimat Safira yang jelas merendah, "Kos-kosan lo ada delapan pintu. Lo pasti sering riweh ngurusin bocah kos. Mana kos cewek,"
"Lebih ribet ngurusin Yessa kayanya, dibanding bocah kos gue,"
Ada gelak tawa yang mereka gemakan bersamaan. Gelak tawa yang tak sama sekali menyinggung Dira. Safira adalah salah satu orang yang paham bagaimana sifat Yessa ketika sedang bersama Dira. Bagaimana bocah itu sulit diatur untuk hal-hal yang tak sesuai prinsip hidupnya, seperti saat peresmian kedai ini.
"Tapi dia selalu nurut apa kata gue dibanding kata Papi," ucap Dira.
Dira menatap Safira yang sudah menguapkan tawanya. Tangannya kembali meraih cangkir berisi teh tarik yang ia komplain komposisinya tadi. Dia minum kembali teh yang sudah mulai dingin itu, satu sampai tiga sesapan.
"Anak itu, beberapa minggu ini, jadi sedikit pendiam, Saf," ungkap Dira dengan nada lesunya.
"Wajarlah, Dir. Gue kalau jadi Yessa, malah pilih kabur. Mending ngekos dari sekarang,"
Dira menyinggungkan senyum, "Kalau nggak ada gue, mungkin dia udah lakuin apa yang lo pikirin,"
Punggung ringkihnya, Dira sandarkan ke belakang, kemudian melepas napas berat seperti yang Safira barusan lakukan. Dia tatap wajah temannya yang tengah tersenyum getir itu untuk beberapa jenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Cerita Singkat di Twitter
FanfictionSaking gapteknya, saya pusing pakai aplikasi nulis lain. Susah pakai Medium dan kalau di screenshot narasinya, sering kepanjangan. Jadi, nanti mungkin, setiap saya gabut dan buat AU di Twitter, narasinya saya taruh di sini. Enjoy ya kawan.