Dira & Yessa: Bab 13 (1) Tanya Isi Kepala

433 53 0
                                    

Dirinya terdiam beberapa jenak di depan gerbang usai kepergian motor Asa. Ada lepasan napas yang entah mengapa ia buang begitu berat, seolah ada yang tengah memenuhi dadanya. Dia masih tak menyangka, perasaan pulang ke rumah akan secepat ini berubah. Bulan lalu, dia masih merasa bahagia ketika mendengar bel pulang sekolah. Langkah kakinya kerap tergesa-gesa keluar dari mobil atau turun dari motor yang mengantarkannya pulang ke rumah.

Ada banyak hal menyenangkan yang bisa ia lakukan di rumah ini. Rumah dua lantai yang tak terlalu besar namun menjadi tempat ternyaman untuk meluruhkan segala penat yang bergelayut selama berkegiatan di luar.

Kini, perasaan semacam itu hilang, menguap entah kemana.

Rasa-rasanya, ia sudah kewelahan mencari alasan untuk merasa bahagia ketika pulang. Rumahnya seperti kehilangan atap, terasa dingin, membuat dirinya bingung harus mencari kehangatan di sudut sebelah mana. Mungkin, hanya aroma masakan Mak Bin yang kerap memenuhi rongga hidungnya dari ambang pintu masuk, yang masih menjadi aroma favorit ketika ia sampai di rumah. Hanya itu yang membuat perasaannya sedikit lebih nyaman ketika menjejakkan kaki di kediamannya.

Jika dulu, pintu kayu rumahnya, harus mengaku iri dengan kehangatan yang selalu disaksikannya ketika Yessa pulang. Sebab, di sana akan selalu ada dekap barang sejenak yang Mak Bin berikan untuk menyambut kepulangan sang anak asuh. Akan selalu ada kecup singkat pada pipi Mak Bin yang Yessa beri, sebagai tanda terima kasih telah membukakan pintu. Dan akan selalu ada tanya tentang menu makan siang yang Yessa lontarkan. Tanya yang terdengar bahagia. Terasa hangat.

Kini, gagang pintu yang dingin pun, harus mengaku kalah dengan tatapan yang Yessa beri pada seseorang yang baru saja membukakan pintu rumah ini. Ia tak bisa mengubah mimik wajahnya ketika mengetahui siapa si pembuka pintu. Bahkan, rahangnya mengeras, tangannya terkepal, dan dadanya terasa panas.

Kebencian yang tak pernah surut dari waktu ke waktu, membuat semuanya terasa naik dan berkumpul di atas kepala. Tak ada hal lain yang ia lakukan selain menerobos masuk ke dalam begitu saja. Tanpa memedulikan, bahu kokoh miliknya, mendorong cukup kasar lengan wanita yang bergeming di tempatnya berdiri. Tak lagi memedulikan sepatu yang dilepaskannya, belum ia letakkan di rak yang semestinya. Dia berlalu dengan angkuh begitu saja.

Tubuh lelahnya, enggan diajak kompromi mendapati seseorang yang membuat lelah hati. Emosi yang mulai menjajaki puncak tertinggi, tak ingin ia keluarkan sesuka hati untuk mencaci maki. Ia tak ada tenaga, tak ada waktu untuk meladeni hal-hal semacam ini lagi. Perihal kondisi seperti ini, dirinya sudah pasrah diinjak-injak keputusan sang Papi. Keputusan sepihak yang tak pernah mempertimbangkan permohonan yang dirinya kehendaki .

Yessa lelah. Teramat sangat. Ketidaksetujuan yang kemarin-kemarin masih ia perdebatkan, harus ia hentikan ketika paham, protes dan keinginannya tak diindahkan. Kalimat menyakitkan yang ia dengar tempo hari dari mulut sang Papi, membuat dirinya tak ingin lagi masuk ke dalam hal yang tak pernah ia ingini. Ia pasrah, toh hati dan perasaannya sudah hancur lebur, apa yang harus ia lindungi lagi? Tak ada. Bersyukur, jiwanya tak terguncang. Ia masih bisa berpikir waras demi Kak Diranya dan demi pendidikannya.

"Neng, tumben udah pulang? Enggak ada bimbel?" pertanyaan di ujung tangga, membuat kakinya berhenti melangkah. Dia menoleh mendapati Mak Bin di bawah sana menanti jawabannya.

"Mau makan sekarang atau nanti? Mak siapin," tanya Mak Bin lagi.

Dia kembali turun, memeluk Mak Bin sekilas, "Jumat nggak ada bimbel, nggak ada pm, Mak. Jadi pulang cepat,"

"Tapi Jumat kemarin-kemarin, Neng juga pulang malam,"

Yessa tersenyum tipis, dia memang tak mengatakan kalau dirinya main bersama Asa setiap Jumat untuk menghindari pulang cepat, "Chika di rumah Asa,"

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang