Dira & Yessa: 10 (1) Pertimbangan

642 96 2
                                    

Dira menyimpan ponselnya di saku celana setelah membaca balasan terakhir dari sang adik.

Ada lepasan napas berat yang ia embuskan kemudian. Kepalanya mendongak, pandang matanya ia jatuhkan pada pria yang tengah sibuk membersihkan kamar yang persis berada di samping tangga.

Kamar yang sudah jarang dipakai. Kamar yang dulunya menjadi kamar dirinya dan Yessa saat masih kecil. Kamar yang saat ini hanya digunakan sebagai gudang cadangan menyimpan bahan jualan. Kamar yang mulai malam ini, akan menjadi kamar adik tirinya, Angel.

Dia berjalan menuju kamar itu, kemudian membungkuk untuk mengangkat kardus yang sudah Papinya keluarkan dari dalam kamar. Tak berat, itu hanya kardus berisi cup minuman milik outlet Papinya yang belum diambil untuk diletakkan di gudang barang.

Dira hanya mengeluarkannya di depan pintu sesuai perintah sang Papi. Sebab, nanti ada pegawai Papinya yang akan mengambil barang-barang tersebut dan ditata di dalam bak mobil pick up yang sampai sekarang, mobil itu belum datang.

"Pi..." panggil Dira yang sudah kembali masuk ke dalam kamar.

Dia menatap Papinya yang baru saja membalikan badan, usai mengeluarkan barang-barang seperti gelas takar, pembuka kaleng, teko, dan lain-lain, dari lemari kayu berukuran sedang yang ada di sudut ruangan.

Tungkainya berjalan menuju sang Papi. Mengambil beberapa barang dari tangan pria yang ia hormati itu. Namun, ia tak segera beranjak dari tempatnya berdiri. Dia diam, menatap saksama wajah Papinya.

Wajah tegas yang masih terlihat bugar meski tak lagi muda. Wajah tegas yang jarang Dira temui rahangnya mengeras sejak Maminya meninggal. Wajah tegas yang kini terlihat berseri-seri.

Dira tersenyum tipis menemui gurat bahagia itu. Hatinya sedikit terkikis, mengingat ada yang harus berkorban hati demi bahagia sang Papi.

Jika alam bisa berbicara, mungkin Dira dan Yessa sudah dicemoohnya habis-habisan. Setelah luka yang Papinya berikan, mereka masih bisa menerima lapang dada keberadaan sang Papi. Masih begitu menyayangi Papinya, meski mereka harus hidup berdampingan dengan rasa sakit yang dicipta oleh pria ini.

Dulu, Dira bersikukuh untuk tak memaafkan sang Papi. Ingin sekali rasanya pergi dan tak ingin kenal lagi. Tapi, melihat Yessa kecil yang sangat bergantung pada Papinya, sangat menyayangi Papinya, bahkan setelah anak itu tahu kebenarannya, dia mencoba pelan-pelan memaafkan kesalahan yang seharusnya tak boleh ia beri kesempatan keduanya.

"Tadi Yessa minta antar, kenapa nggak Papi antar dulu sebentar?" tanya Dira kemudian.

Pertanyaan biasa yang benar-benar ingin Dira ketahui alasannya.

"Papi 'kan harus beres-beres ini, Dir. Harus beres sebelum tempat tidur dan kasur baru buat Angel datang," jawab Papinya.

Dira tersenyum getir atas jawaban barusan. Sepertinya, sang Papi tak memikirkan Yessa sedikitpun.

"Pi, antar Yessa sekolah, nggak sampai berjam-jam. Lagi pula, ada Vito, karyawan Papi yang Papi suruh ke sini buat angkut kebutuhan jualan ke gudang 'kan? Dira bisa kok sama dia beres-beres, sementara Papi antar Yessa dulu ke sekolah," balas Dira.

Balasan yang membuat Papinya menaikan alis, seperti tak paham arah bicaranya.

Ada lepasan napas berat yang Dira keluarkan. Dia mundur beberapa langkah untuk duduk di bangku plastik dekat sana. Sedikit lagi emosinya meluap, dan dia harus menurunkannya segera.

"Kamu serius permasalahin ini, nak? Yessa nggak keberatan tadi Papi suruh dia berangkat di antar Pak Rudi,"

Kemarahannya sudah membucah, namun rasa lelah lebih dominan menguasai hatinya. Sehingga dia memilih diam memandang lurus sang Papi dengan pandang datar dari tempatnya duduk.

"Kenapa? Kamu marah sama Papi karena nggak antar Yessa?" tanya Papinya dengan wajah heran.

Pria itu membalikkan tubuhnya, berjalan ke arah kardus yang ada tak jauh dari sana, untuk memasukkan barang yang ada di genggamannya. Dira perhatikan semua pergerakan Papinya. Dira perhatikan guratan-guratan yang terbentuk di wajah tegasnya.

"Adik kamu udah besar, bahkan dia juga udah sering 'kan pergi sendiri ke sekolah?"

Dira mengeraskan rahangnya beberapa jenak. Sebelum melepas napas untuk mempersiapkan diri membuka suara tanpa perlu mengeluarkan kalimat menyakitkan untuk Papinya.

"Oh, oke, ucapan Papi barusan, Dira anggap sebagai restu buat Yessa kuliah di luar kota. Dia udah besar, dia udah dewasa, dia nggak perlu kasih sayang dan perhatian lagi dari Papi," kata Dira lantang.

Dia berdiri dari duduknya. Menghampiri sang Papi yang tertegun atas kalimatnya barusan.

Dira masukan barang-barang yang ada di tangannya sebelum kembali menatap Papinya yang masih terdiam.

"Kenapa, Pi? Yessa udah bulat sama keputusan itu. Dira setuju. Kalau Papi nggak setuju, Dira bakal tetap setuju, dan Yessa bakal lebih nurut sama Dira," tegas Dira.

"Kita harus bicarain ini lagi bertiga sama Yessa,"

"Dira rasa nggak perlu, Pi. Yessa udah besar 'kan, sesuai kata Papi tadi? Jadi dia berhak nentuin dia mau apa,"

"Dir... Maksud Papi bukan—"

"Terus apa maksudnya? Papi sadar nggak, penolakan Papi tadi nyakitin Yessa? Ini nggak bisa dibilang berlebihan, karena memang Papi yang keterlaluan. Seminggu Papi nggak pulang, sekalinya pulang, bawa berita mau boyong keluarga baru Papi ke sini. Papi sempat mikir nggak, kalau itu bakal nyakitin Yessa?"

Dira tak lagi bisa menahan rasa marahnya. Mukanya merah padam. Otot-otot wajahnya tertarik, menegang. Namun, matanya panas, dadanya bergetar hebat. Ada sesak yang ia rasa sejak tadi.

"Kalau Dira nggak kasihan sama Angel, Dira nggak akan bujuk Yessa buat terima kehendak Papi. Mau terima istri Papi di rumah ini, bukan keputusan remeh temeh yang Yessa buat, Pi. Giliran anak itu minta antar sekolah doang, Papi nolak. Papi tahu nggak, seberapa kangennya dia ke Papi? Dia bisa aja benci Papi, tapi dia nggak mau, nggak pernah mau untuk itu. Tapi sekarang? Papi sendiri yang memupuk rasa benci di hati Yessa," kesal Dira.

Dia mengangkat tangannya, menolak sang Papi untuk berbicara menanggapi ucapannya barusan. Dia tak ingin mendengar alasan atau pembelaan apapun saat ini. Dia tak ingin mendengar kalimat yang mungkin, justru akan membuat dirinya semakin marah pada Papinya.

"Kita lanjutin beres-beres. Tempat tidur sama kasur Angel, keburu datang."

***

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang