Dira & Yessa: Bab 14 (1) Hope

440 72 0
                                    

"Tumben ke sini? Enggak main sama Asa?"

Yessa yang sedari tadi fokus memperhatikan Safira mengambil beberapa gambar produk kedai, di studio foto milik teman kakaknya itu pun, mengalihkan pandang. Dia ikuti ayunan tungkai Safira yang mendekatinya di sofa tunggu yang ada di ruangan itu.

Dia belum menjawab tanya yang Safira lemparkan. Terlebih dulu menggeser duduknya demi memberi Safira ruang untuk menjatuhkan badannya di sana.

"Asa sekarang sibuk nemenin bapaknya mancing kalau waktu senggang, Kak. Enggak tahu deh, kayanya dia udah ikutan suka mancing. Mancing keributan," jawab Yessa diikuti kekehan kecil Safira sebagai respon menggelitik atas kalimat terakhir yang Yessa celetukan.

"Reva?" tanya Safira lagi setelah meneguk air mineral yang sebelumnya sudah ia teguk.

"Nganter Cebong, Tapak Suci. Tadi gue diajak sih, tapi malas ah, Kak, ngang ngong di sana,"

"Lah?" dahi Safira berkerut. "Di sini lo juga bengong, apa bedanya?" herannya.

Teman kakaknya itu menggeleng heran atas jawaban yang Yessa berikan. Tak sepenuhnya salah, karena memang sejak tadi, dia juga tak melakukan apa-apa selain memperhatikan bagaimana Safira mengambil gambar dengan seriusnya.
Tak ada yang Yessa lakukan memang, tapi ia juga tak tahu harus melakukan apa agar hari Sabtunya tak membosankan.

Jika dulu, ia betah untuk di rumah sekadar bermain PlayStation sendirian atau menonton series di ruang tengah, kini, hal itu tak bisa lagi ia lakukan. Rumah yang dulu menjadi tempat paling hangat yang Yessa miliki, kini menjadi ruang dingin yang Yessa huni. Dekap yang selalu sang Kakak beri, seperti tidak cukup untuk meruntuhkan dinding-dinding es di rumahnya yang telah terbentuk entah sejak kapan. Yang jelas, hawa dingin yang menusuk hingga mematikan jiwa dalam diri Yessa, semakin kentara sejak dia berlutut memohon agar sang Papi tak mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat ia berpikir jika kelahirannya tak diinginkan.

Tapi, memohon bagaimanapun juga, kalimat menyakitkan yang pernah ia dengar dengan lantang tersebut, terus berputar di dalam rongga kepalanya, selalu berdengung di gendang telinganya. Sakit sudah pasti. Bahkan, isi kepalanya seperti dihantam bertubi-tubi dengan benda tumpul, menjadikannya pusing tak berkesudahan dan jelas, tak bisa ditawar oleh obat sakit kepala merk apapun.

Yessa mungkin dikenal baik oleh orang-orang terdekatnya sebagai sosok yang slengan dan jarang serius dalam menghadapi hal-hal dalam kehidupannya. Beberapa kesempatan pertemuan formalitas, dirinya kerap merepotkan dengan rengekan-rengekan meminta pulang sebab tak betah. Obrolan-obrolan yang membutuhkan perhatian khusus, sering dirinya sisipi candaan yang kemudian membuat sang Kakak lebih sering melepas napas berat.

Tapi yakinlah, di balik sosok yang seperti tak pernah memikul beban berat, ternyata ada bongkahan rasa sakit yang kapan saja bisa membuat remuk jiwanya, atau bahkan sudah. Yessa hanya akan membagi kisah menyedihkannya pada mereka yang dekat —yang bahkan di saat dirinya sudah benar-benar tak kuat. Seperti beberapa waktu belakangan ini, dia baru berani menceritakan kesakitannya pada Asa dan Reva saat ia rasa, tembok pertahanan hatinya, tak lagi kuat menampung sesak-sesak yang selama ini ia timbun.

"Lo enggak senang gue buntutin ya, Kak?" tanya Yessa dengan pandang sedih yang kemudian Safira raup muka itu dengan telapak tangan kanannya.

"Rewel soalnya. Hebat Dira kagak pernah uring-uringan," jawab Safira. Jelas itu jawaban bercanda, Yessa tahu betul bagaimana tabiat kawan kakaknya itu.

"Jadi kenapa pilih nyusulin gue ke studio, hm?" Safira mengulang tanyanya dengan kalimat berbeda.

"Ya... mau lihat aja gimana foto produk itu. Kan gue juga harus belajar tentang apa-apa aja yang berhubungan sama kedai, Kak," jawab Yessa jujur.

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang