Dira & Yessa: Bab 15 (1) Continue

357 60 2
                                    

Getar jemari sudah bisa ia rasakan sejak tadi, bahkan sejak beberapa hari yang lalu. Ia tahu, bagaimana perasaan gugup itu mengungkung sang Adik sepanjang hari. Kegelisahan-kegelisahan terus menerus Yessa utarakan di setiap sudut anak itu berdiri, duduk, pun berbaring. Rancauan berisi andai-andai terburuk, tak pernah absen Yessa ucapkan dari kemarin-kemarin. Dira tak bisa apa-apa selain mencoba menenangkan gelisah hati Yessa dengan dekap yang ia punya. Dekap pundak ringkih, yang ia harap mampu menguapkan kekhawatiran yang terus mengusik isi kepala adiknya.

Setelah memasukan nomor ujian dengan gemetar tangan luar biasa dan menggeser laptop sedikit kasar untuk ingkah dari pandang matanya, sang Adik kembali menangkupkan kedua tangan di depan dada, merapal doa-doa yang mungkin lebih banyak dibanding hari-hari sebelumnya. Dira hanya diam memperhatikan bagaimana raut wajah Yessa saat ini. Guratan-guratan kekhawatiran, begitu jelas matanya tangkap dari eratnya kelopak mata Yessa yang terpejam.

Dia memanjangkan tangan, mengusap kepala belakang Yessa. Ada senyum tipis yang Dira ukir ketika melihat Yessa begitu terlihat sungguh-sungguh dalam berdoa. Bukan, bukan tak pernah ia melihat Yessa seperti ini. Sering, bahkan. Adiknya tak pernah terburu-buru dalam merapal apa-apa saja yang ingin disampaikannya pada Tuhan. Adiknya, seperti tak pernah ala kadarnya berdoa kepada sang pencipta. Caranya berkomunikasi dengan Tuhan, selalu membuat dada Dira menghangat. Caranya berkomunikasi dengan Tuhan, tak pernah berubah dari dulu, selalu khidmat.

*

"Adek, berdoa apa aja sama Tuhan?" tanya Dira sambil menghapus titik air mata yang menelusup keluar melalui sudut mata Yessa.

Yessa memutar tubuhnya untuk menghadap Dira. Kaki mungilnya yang tadi bersimpuh, kini anak itu tarik untuk bersila rapi di hadapan sang Kakak. Mata cokelat madu yang terlapisi sisa air mata, memandangnya dengan saksama. Seperti  tengah mencari contekan jawaban di mata Dira untuk menjawab pertanyaan barusan.

"Memang, boleh ya, Kak, Yessa kasih tahu doa Yessa? Kan itu rahasia Yessa sama Tuhan," jawabnya polos.

Dira yang saat itu sudah rapi mengenakan seragam SMA, terkekeh mendengar jawab yang diutarakan oleh adik yang tiga hari lalu, baru saja masuk sekolah dasar. Tangannya dia tangkupkan ke pipi Yessa yang sedikit berisi. Dia hapus jejak-jejak air mata yang mengotori pipi sang Adik.

Dira tersenyum lembut, "Adek doa buat Mami, ya? Kok sampai nangis?" tanya Dira pelan, tanpa menjawab tanya yang Yessa utarakan beberapa detik lalu.

Kepala Yessa mengangguk pelan. Tak lama, meski belum bisa bertaut dengan sempurna, lengan mungilnya mendekap Dira erat. Wajahnya, bocah itu sembunyikan di dada Dira. Dan selanjutnya, Dira tahu apa yang akan terjadi. Hal semacam ini, tak lagi asing baginya. Setiap usai berdoa, kapanpun itu, sesak memang menjadi teman mereka berdua. Rasa sesak, selalu menyelinap di tengah hangatnya dekap yang berusaha Dira beri untuk Yessa. Rasa sesak, selalu turut merengkuh pundak ringkih yang ia usahakan kokoh demi kehangatan Adik semata wayangnya. Rasa sesak itu, selalu menghimpit dada mereka, hingga hanya air mata yang sanggup bicara dalam keheningan yang tercipta.

"Kak?" Yessa melepas pelukan Dira. Anak itu menengadah menatap Dira dengan mata yang masih lembab.

Dira hanya bergumam seraya tersenyum pada sang Adik. Matanya memindai setiap inci muka bersih Yessa. Menelisik setiap lekukan wajah yang dipahat Tuhan begitu indah untuk adiknya.

"Kapan lagi ya, Tuhan kabulin doa Yessa? Kan Yessa udah jadi anak baik. Yessa enggak nakal,"

"Memang, Adek minta apa sama Tuhan, hmm?" tanya Dira sambil menata kembali rambut Yessa yang sedikit berantakan. Mengusap wajah Yessa agar benar-benar kering dari jejak bulir-bulir bilur yang luruh dari mata jernih adiknya.

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang