Dira & Yessa: Bab 13 (2) Tanya Isi Kepala

363 51 0
                                    

Dira, entah sudah berapa kali melepas napas beratnya. Dengusan yang terdengar gusar itu, bahkan bisa sampai ke telinga Safira yang ada di balik bar sana. Decakan kesal pun tak lagi bisa Safira tahan. Hingga pukulan sedotan, ia layangkan ke kepala Dira setelah tungkainya berhenti di samping kursi yang Dira duduki.

"Biarin. Nanti kalau udah selesai sama urusannya, dia pasti chat lo. Yessa nggak sebandel yang orang-orang omongin. Cuma agak keras kepala aja itu bocah kencur," tutur Safira.

"Tiba-tiba lho ini, Saf,"

Safira berdecih, sedikit mengejek jawaban yang Dira berikan.

"Dia tadi udah izin 'kan sebelum pulang sekolah? Biarin Dir, mungkin dia memang butuh jalan-jalan keluar, cari angin. Lo nggak kasihan sama itu anak? Senin sampai Kamis belajar terus, wajar kalau dia minta waktu longgarnya buat dia nikmatin dirinya sendiri."

Dira diam. Dia tatap lamat-lamat rekan kerjanya ini. Ucapan Safira memang ada benarnya, tapi kekhawatiran juga tak salah mengendap di benaknya sekarang.
Sudah hampir satu jam, Yessa belum membalas pesannya dan tak menjawab panggilannya. Bertanya pada Mak Bin pun juga tidak menemui titik terang, sebab sama tak tahunya. Hanya sebaris pamit untuk keluar tanpa memberi tahu tujuan. Hanya sebaris pamit yang tak ada jawaban setelah ia lempari pertanyaan.

Sebenarnya bukan tak mengetahui kemana perginya Yessa, tapi dia hanya ingin memastikan, kalau adiknya benar-benar ke sana. Rasa khawatirnya tak pernah seberat sekarang. Banyak hal yang telah berubah sebulan belakangan. Banyak hal yang perlu Dira khawatirkan dalam Diri Yessa, tentang perasaannya, tentang isi kepalanya, dan tentang keadaan jiwanya.

Di masa pencarian jati diri seperti sekarang ini, memang banyak yang harus Dira khawatirkan. Gejolak-gejolak masa remaja ke dewasa awal memang penuh dengan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap tahapan hidup yang akan dijejaki selanjutnya. Jiwa muda yang selalu membara, kerap kali memunculkan pikiran-pikiran yang tak pernah bisa diterka. Tentu ini hanya rasa khawatir yang berlebihan pada sang adik, tapi dia jelas tak ingin Yessa kenapa-kenapa.

Matanya mengerjap ketika Safira beranjak dari tempatnya berdiri. Matanya mengikuti ayunan tungkai Safira menuju pinggir jendela untuk membereskan meja dan mengambil gelas bekas pelanggan.

"Gue kenal lo udah lama banget, kenal Yessa juga dari anak itu masih SMP. Dia apa-apanya izin ke lo, Dir. Ini aja izin 'kan? Enggak mungkin anak itu bakal aneh-aneh. Paling aneh cuma jajan es krim di tengah-tengah cuaca dingin kaya sekarang,"

Dira mengulas senyum segaris dan mengangguk pelan. Safira seolah paham dengan isi kepalanya barusan, paham dengan ketakutannya yang berlebihan.

"Gue cuma khawatir sama kondisi hatinya sekarang, Saf," lirih Dira.

Pandanganya ia buang keluar jendela, menyaksikan rintik gerimis lembut yang mulai turun membasahi apa-apa saja yang ada di kolong langit tempatnya bernaung.

"Gerimis," cicit Dira memberi tahu kawannya.

"Biarin, Nadira," Safira menahan tangan Dira yang akan menyentuh ponsel di meja. "Hujan nggak bikin sakit. Biarin dia nikmatin apa yang lagi mau dia nikmatin. Kalau dia sumpek di rumah, biarin dia keluar, biar hatinya lega. Kasih dia ruang buat sendiri dulu, Dir. Nanti malam, baru lo tanya. Tapi kalau bocahnya nggak mau cerita apa lagi ditanya, ya udah, lo cukup temenin dia," Safira memberi nasehat.

Tak ada bantahan yang Dira keluarkan dari bibir tipisnya. Otaknya, hanya sanggup memberi perintah untuk mengangguk atas apa yang Safira sarankan. Kendati, di dalam hati sana, masih ada segumpal rasa khawatir. Tapi, ah kapan Dira tidak khawatir pada Yessa? Saat Yessa terdiam terlalu lama di sampingnya pun, dia akan menjadi sangat khawatir.

"Saf," panggil Dira lirih namun masih dapat didengar oleh Safira.

"Sebulan yang lalu, anak itu masih sering tengil ke gue, masih pecicilan, masih banyak omong. Beberapa hari belakangan, dia berubah jadi lebih pendiam. Gue kaya kehilangan adik gue, Saf,"

Safira yang sudah mengambil duduk di hadapannya hanya tersenyum kecil. Ia juga merasa ada yang beda dari diri Yessa saat bertemu kemarin lusa.

"Berasa sih, Dir. Kaya... hm, dewasa lebih cepat? Gimana ya, kadang ketika ditimpa masalah, seseorang memang bakal mengubah dirinya lebih tertutup demi melindungi hatinya. Mungkin itu yang lagi Yessa lakuin sekarang. Lo mungkin juga pernah lakuin itu, Dir,"

"Iya,"

"Dulu lo selalu pusing sama tingkah laku Yessa yang kaya kutu loncat, sekarang lo bakal lebih pusing karena anak itu bakal lebih banyak nyimpen semuanya sendiri. Apa lagi, nggak lama dia bakal kuliah dan dia maunya di luar kota. Kalau nggak sekota sama lo, bakal susah ngawasinnya," imbuh Safira.

Imbuhan kalimat yang mampu membuat Dira mendengus. Hal ini juga tengah menjadi bahan pemikirannya. Mungkin tak akan menjadi masalah, seandainya, adiknya itu diterima di perguruan tinggi yang ada kota kelahiran Vino, kota tempat tinggalnya kelak setelah menikah. Namun, jika tidak?
Mungkin kemarin-kemarin dia akan memberikan solusi untuk tetap berkuliah di sana, kendati bukan kampus negeri yang Yessa ingini. Tapi, beberapa hari lalu, Yessa bersikukuh untuk mendapatkan perguruan tinggi favorit di kota manapun. Dia tak bisa mencegah ingin Yessa, tapi ia juga tak sanggup jika harus dihadapkan pada kenyataan, jika ia tak bisa menjaga Yessa lebih dekat.

Katakanlah ini berlebihan, tapi percayalah, sulit berada di posisi Dira sekarang. Ada banyak hati yang perlu ia jaga. Ada banyak jiwa yang perlu ia perhatikan. Dan ada banyak hal yang perlu ia pikirkan, termasuk pernikahannya di ujung tahun.

"Dia nggak daftar yang di sini? Nanti biar dia ngekos di kosan gue,"

Dira menggeleng, "Dia nggak mau kalau Papi masih bisa ngejangkau dia, Saf. Ya... meskipun Yessa sendiri nggak yakin Papi akan sepeduli itu sama dia."

***

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang