Yessa meninggalkan teman-temannya yang masih heboh perihal gelang dari Vito. Mereka berdua, juga Safira yang entah kenapa tiba-tiba hadir, terus menerus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah Yessa dan Vito jawab dengan gamblang. Tapi memang tiga orang itu tidak memiliki rasa puas, jadi mereka kini masih mengorek informasi perihal kedekatannya dengan Vito kepada laki-laki itu.
Yessa jujur, tidak atau belum ada apa-apa. Ya karena gelang itu, memang hadiah dari Vito untuk keberhasilan Yessa serta hadiah perpisahan katanya. Wajar jika dia berterima kasih atas pemberian Vito yang penuh effort. Memesan gelang ke pusat kota, menunggu hingga dua minggu lamanya, ini terasa begitu spesial bagi Yessa, pun Vito. Biarlah asumsi apapun tentang dirinya dengan Vito berkembang subur di antara pemikiran Asa, Reva, Safira, juga teman-teman sekolahnya. Toh, mau dijelaskan bagaimanapun, jika penjelasannya tidak sesuai ekspektasi mereka, mereka akan terus menuntut jawab yang mereka harapan. Biarlah asumsi itu mereka telan sesuai yang mereka percaya. Tugasnya hanya menjaga gelang dari Vito dan... hatinya.
"Mau mandi lagi?"
Yessa yang sedang berdiri di depan meja belajarnya, menoleh ke arah pintu masuk. Dira tengah mengayunkan tungkainya menuju dirinya.
Yessa menggeleng setelah Dira ada di depannya, "Enggak. Baru tadi abis mandi. Mau cuci muka sama sikat gigi aja," jawabnya.
Dira hanya bergumam seraya mendaratkan dirinya untuk duduk di pinggir ranjang.
"Nanti kita satu mobil sama Papi sama Angel," info Dira.
Yessa yang sudah menarik handuk mukanya, terdiam untuk beberapa jenak. Kepalanya yang baru saja terasa ringan, kini harus kembali dijejali informasi yang condong pada perintah tanpa bantah di sana. Tak ada jawaban yang bisa Yessa beri, toh juga tak bisa Yessa ajukan negosiasi. Dia hanya bisa patuh pada ucapan kakaknya. Bagaimanapun juga, mungkin sang Papi ingin menghabiskan waktu bersama dirinya, sebelum dia jarang pulang nantinya.
"Mak Bin sama Pak Rudi, Asa, Istri Papi. Vito sama Safira bareng Kak Vino sama Reva," jelas Dira selanjutnya.
Yessa tersenyum simpul. Padahal yang akan berangkat hanya dirinya dan Vino, tapi sampai tiga mobil yang mengantar. Entah harus bahagia atau bagaimana, dia tak tahu. Kepergiannya untuk penyembuhan luka. Tapi, di antara pengantar dirinya, ada si pembuat luka.
"Iya, atur aja. Gue ke kamar mandi dulu," pamit Yessa.
Dira tak menjawab. Pandangnya hanya mengikuti langkah yang Yessa ayunkan ke dalam kamar mandi. Sedih, sudah pasti. Esok tak ada lagi sosok itu di kamar ini. Kendati Dira akan menyusul seminggu lagi, tapi tetap berat ketika dia balik ke rumah ini, tak ada sosok sang Adik yang menjadi salah satu alasannya untuk melanjutkan hidup.
Dira tak sedang mendramatisasi keadaan. Ini sungguhan. Rasanya berat melepas Yessa sendirian nanti setelah seluruh kegiatan ospek selesai. Sebab ia juga tak tahu, apakah setelah menikah, dia bisa langsung pindah ke sana atau tidak. Rumah Vino belum jadi seratus persen. Pengajuan kepindahan Vino ke kantor cabang, masih butuh proses yang akan memakan waktu.
Ia masih denial jika adiknya telah tumbuh dewasa. Dia masih tidak percaya, Yessa sudah bisa menentukan jalan kehidupannya sendiri. Kekhawatiran sudah jelas membungkus hati Dira. Pertanyaan tentang bagaimana nanti, terus berputar di kepala Dira ketika memikirkan adiknya.
Sesungguhnya tak perlu begitu khawatir, Dira yakin Yessa bisa melakukannya. Yessa bisa hidup mandiri di kos-kosan. Yessa bisa mengurus sendiri semuanya. Tapi mungkin tidak dengan hatinya. Dira khawatir itu. Dia takut, jika Yessa sedih, tidak ada yang menemani. Dia takut, ketika sang Adik lelah, tidak ada yang mendekapnya, tidak ada sandaran yang bisa Yessa gunakan untuk berkeluh kesah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Cerita Singkat di Twitter
Fiksi PenggemarSaking gapteknya, saya pusing pakai aplikasi nulis lain. Susah pakai Medium dan kalau di screenshot narasinya, sering kepanjangan. Jadi, nanti mungkin, setiap saya gabut dan buat AU di Twitter, narasinya saya taruh di sini. Enjoy ya kawan.