"Mau pakai helm atau nggak, Neng?"
"Pakai, Pak. Biar aman ye 'kan?" jawab Yessa sambil menerima helm berwana hijau dari ojek online yang ia pesan beberapa menit yang lalu.
Keputusannya untuk memesan ojek online usai membalas pesan Reva, menjadi sebuah keputusan yang tepat. Sebab, sampai saat ini, mobil sang Papi, juga belum terlihat sorot lampunya. Sedangkan, dia sudah berulang kali ditanyai oleh satpam dan beberapa mentor bimbel yang melewatinya, perihal alasan tak kunjung pulang.
Gedung bimbel yang tak terlalu besar, dengan kelas yang hanya sedikit, membuat suasana memang semakin sepi setelah kelas terakhir selesai. Yessa yang sudah lelah, enggan kembali menunggu kabar tak pasti. Enggan mendesak atau berdebat dengan sang Papi di ruang chat atau panggilan telepon. Bahkan, sedari tadi, tidak ada panggilan yang masuk ke nomornya. Justru, beberapa panggilan yang ia lakukan ke nomor Papinya, tak ada yang terjawab.
Rasa marah, tak lagi bisa Yessa luapkan. Dia benar-benar lelah kali ini. Tenaga dan isi kepalanya seperti sudah terkuras habis. Tak ada lagi sisa untuk sekadar mengetik kata-kata yang menyiratkan kemarahan terhadap sang Papi.
Kecewa, sudah pasti. Tapi dia bisa apa selain diam? Rasa kecewa yang sudah menumpuk, harus terus ia tekan untuk memberi ruang kekecewaan yang pasti masih akan dia terima di lain waktu. Dia tak tahu, sampai kapan harus menerima hal semacam ini? Dadanya sesak. Sangat sesak. Bahkan, bernapas pun, sangat berat ia lakukan sekarang. Tak sanggupnya ia untuk berteriak, membuat dirinya memilih untuk mencoba mengeluarkan sesak itu lewat air mata.
"Neng, kenapa, Neng? Mau berhenti dulu?" tanya Bapak ojek online dengan panik.
Yessa yang memang sedari tadi sesenggukan di belakang, buru-buru menghapus air matanya dan tersenyum lebar, "Lanjut aja, Pak. Ngebut dikit, saya lapar banget,"
"Neng nangis karena lapar? Mampir dulu ke warung, beli roti buat ganjel, mau? Rumah Neng agak jauh ini kalau dilihat dari maps," tawar pria paruh baya itu sambil memelankan laju motornya.
"Nggak usah, Pak. Nenek saya di rumah masak rendang, saya nggak sabar mau makan,"
"Beneran? Atau emang nggak bawa uang cash?"
"Bawa, tapi udah abis buat taruhan main kelomang tadi di kelas," jawab Yessa diikuti tawa sejenak.
"Astaga, Neng. Ya udah, saya agak ngebut nih, ya. Tahan bentar laparnya. Jangan nangis lagi,"
"Siap, Pak. Nyelip-nyelip nggak apa-apa, Pak. Saya biasa dibonceng pembalap."
***
Setelah kembali mengunci gerbang dan pamit pada Bapak ojek online yang mengantarnya, Yessa langsung berlari sekuat tenaga ke teras rumah. Dia pencet bel berulang kali agar lekas dibukakan pintu.
Ada keterkejutan luar biasa dari seseorang yang membukakan pintu rumah. Yessa tak acuh, dia langsung menerobos masuk, membuka sepatunya sembarangan, membuang tas sekolah dan bukunya di sofa ruang tengah, kemudian bergegas ke belakang tanpa memedulikan apapun.
"Mak! Mak Bin!" teriaknya keras.
Suara yang menggema itu, mungkin bisa terdengar sampai lantai dua, atau bahkan sampau luar. Tapi Yessa tak peduli, yang ia pedulikan adalah menemukan Mak Binnya.
"Mak!"
"Neng, kenapa teriak-teriak? Mak di kamar,"
Tak Yessa jawab. Ia langsung memeluk tubuh Mak Bin erat. Pelukan yang membuat Mak Bin hampir kehilangan keseimbangan, jika tangannya tak bertopang pada meja makan di sana.
Yessa masih diam, tak mengatakan apapun selain terus mengeratkan pelukannya. Dia memang sedang tak butuh apapun selain pelukan. Dia tak ingin ditanya apapun. Dan dia tak ingin bercerita tentang apapun kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Cerita Singkat di Twitter
FanfictionSaking gapteknya, saya pusing pakai aplikasi nulis lain. Susah pakai Medium dan kalau di screenshot narasinya, sering kepanjangan. Jadi, nanti mungkin, setiap saya gabut dan buat AU di Twitter, narasinya saya taruh di sini. Enjoy ya kawan.