Dira & Yessa: Bab 14 (3) Hope

556 88 4
                                    

Kaki jenjangnya terayun menuju kamar sang Adik. Setelah menolak untuk makan malam bersama di meja makan saat ini, ia lanjutkan tungkainya menapaki tangga keramik yang dinginnya masih bisa ditoleransi meski tanpa alas kaki. Dinginnya masih bisa dikalahkan oleh suasana di bawah atap rumah ini.

Dia tak langsung masuk ke kamar adiknya ketika sudah sampai lantai dua. Memilih masuk kamarnya sendiri untuk melepas penat dengan mengguyur tubuh lelahnya di bawah kucuran air. Memilih untuk merapikan tempat tidur, karena malam ini, ia akan kembali menjemput lelap di ranjang sang Adik.

"Dek? Kakak boleh masuk?" tanyanya di depan pintu setelah selesai dengan semua urusannya.

Ia tahu, pintu kamar itu dulunya tak pernah dikunci. Ia kerap keluar masuk dengan bebas hanya dengan mengetuknya singkat. Sejak, dua minggu yang lalu, pintu kayu kamar sang Adik, selalu terkunci, entah pagi saat empunya sekolah, siang ketika di rumah, dan malam ketika waktu tidur tiba. Perubahan-perubahan ini, yang kemudian membuat hatinya resah. Sebab, ia tak bisa lagi memeriksa adiknya saat sunyi membungkus tengah malam. Dia tak lagi bisa masuk untuk sekadar mengatakan selamat malam sambil membenarkan selimut yang tak terpakai dengan benar.

Ada yang hilang, jelas. Banyak yang hilang. Dia kehilangan banyak hal dari Yessa—adik yang apa-apanya selalu ia perhatikan. Kedekatan mereka mungkin tak ada bedanya. Tapi, hal-hal yang bisa membuat mereka dekat, perlahan seperti diberi sekat. Tak ada lagi cerita, rengek manja, atau bantahan-bantahan yang kerap Yessa lontarkan sebagai bentuk protes. Anak itu, terlihat tengah menahan emosi-emosi kecil untuk keluar dan menjalani hidup, dengan alakadarnya. Dira tak suka adiknya menjadi seorang yang berterima. Menjadi sosok yang tak lagi berani mengungkapkan apa yang benar-benar disukai atau yang dibenci. Hhh, dia sedang kehilangan Yessa.

"Lo udah pulang dari tadi? Di antar Kak Vino?" tanya Yessa.

Pertanyaan yang meluncur setelah dirinya dipersilakan masuk dan duduk di pinggir ranjang. Sedangkan Yessa kembali duduk di balik meja belajarnya.

"Iya di antar Kak Vino. Tadi mandi dulu di kamar. Kamu katanya enggak mau belajar, kenapa belajar?"

Di sana kepala Yessa terlihat menggeleng, "Gue enggak seambis itu, Kak. Ini lagi main lukis-lukis doang," jawabnya sambil menunjukkan layar tab ke arah Dira.

Dira hanya bergumam sebelum merebahkan tubuhnya di atas ranjang milik sang Adik. Matanya memandang langit-langit kamar Yessa yang berwarna putih tulang. Pikirannya ia layangkan serta-merta ke atas sana. Tak ada—belum ada yang ia sampaikan ke Yessa untuk membuka percakapan. Ia sengaja memberi ruang hening cukup lama di sana, berharap Yessa yang membuka percakapan di antara mereka berdua. Namun nihil, anak SMA itu tetap bergeming di balik meja belajar dengan pen tablet di tangannya.

Sudah Dira katakan tadi, dia kehilangan Yessa. Yessa, dulu tak pernah membiarkan keheningan mengungkung mereka barang semenit. Selalu ada pertanyaan atau ocehan yang meluncur dari bibir tipisnya. Selalu ada cerita yang Yessa lempar pada Dira. Selalu ada rengekan yang Dira dengar. Ya, sudah Dira sampaikan, dia kehilangan Yessa. Kehilangan jiwa Adik kecilnya ketika sedang berdua.

"Udah selesai?"

Dan pada akhirnya, dia harus mengalah untuk membuka percakapan setelah dua puluh menit membiarkan keheningan menaungi atas kepala mereka.

"Kenapa? Kalau mau ngobrol, ngobrol aja. Gue dengerin kok, Kak,"

Ada dengusan yang Dira lepas sebelum bangun dari acara berbaringnya untuk bersandar pada kepala ranjang. Dia amati wajah Yessa dari samping yang terlihat masih terfokus pada aksi mewarnai gambar di tabletnya.

"Papi, udah minta maaf?"

Yessa menjeda aktivitasnya. Membuang pandang beberapa jenak pada tumpukan buku yang ada di meja belajarnya.
Getir senyum Yessa ukir. Geleng kepala ia berikan sebagai jawaban atas tanya yang sang Kakak utarakan.

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang