Yessa meletakkan ponselnya begitu saja di samping dirinya duduk. Di depan televisi ia duduk seorang diri. Menghindar dari meja makan setelah sarapannya selesai. Entah siapa lagi yang harus ia hubungi untuk mengantarnya ke sekolah selain Asa. Reva? Mereka berbeda sekolah. Dira? Ada urusan yang sepertinya mendesak, hingga Safira, manager kedai datang ke rumahnya untuk menjemput sang Kakak. Vino? Vito? Itu tidak mungkin, dua laki-laki itu pasti juga sedang bersiap diri untuk berangkat kerja.
Sepertinya, semesta memang menginginkan dirinya untuk satu mobil dengan sang adik tiri hari ini. Alam seperti tengah menyuruhnya untuk mendekatkan diri pada anak papinya itu. Tuhan, seperti dengan sengaja merangkai skenario ini agar dirinya dekat dengan Angel.
Apa yang harus dia lakukan untuk sekarang? Yessa sadar, anak SMP itu tak bersalah atas apapun yang terjadi di masa lalu orang tuanya. Yessa juga paham, Angel ataupun anak-anak di luar sana tak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Rasa benci yang mengakar pada istri sang Papi, membuat Yessa masih terus mengeraskan hati untuk tak berinteraksi dengan Angel. Rasa sakit hati yang ia derita, selalu mencuat setiap kali berhadapan dengan kehidupan rumah tangga Papinya yang sekarang. Seatap dengan orang yang telah menghancurkan keluarganya, menjadi momok menyeramkan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Menyedihkan memang. Rumahnya saat ini, hanya sekadar rumah untuk berteduh dari panas dan hujan. Bukan lagi, tempat hangat untuk pulang dari rasa lelah atas semua rasa penat yang ia terima seharian. Bukan lagi, tempat ternyaman untuk mencari perlindungan dari segala hal yang menyesakkan.
Rumahnya, tak lagi menjadi tempat pulang yang nyaman, semenjak Sang Papi lebih sering pulang ke keluarga barunya. Rumahnya, bukan lagi pilihan yang tepat untuk melepas penat, semenjak Sang Papi memikirkan egonya sendiri.
"Neng, bekalnya ketinggalan,"
Yessa menoleh saat Mak Bin menghampirinya membawa kotak bekal yang biasa ia bawa.
"Mak masukin ke tas, ya?" tawar wanita tua itu.
Yessa hanya mengangguk pelan sambil memperhatikan gerak gerik orang yang telah merawatnya dari kecil.
"Mak, Pak Rudi belum balik?"
Mak Bin menoleh sebentar pada Yessa, "Belum. Kayanya ke gudang langsung. Tadi disuruh Bapak buat ke sana. Kenapa, Neng?"
"Mau minta antar ke sekolah. Chika nggak mau diantar Papi," adunya.
Ada senyum tipis yang Mak Bin lempar pada Yessa. Ia tahu, majikan kecilnya ini tengah merasakan hal yang tak mengenakan hatinya. Ia paham, pasti perasaan anak SMA ini, sedang tak karu-karuan.
Dia ikut duduk di sofa yang Yessa duduki dan langsung menerima uluran tangan gadis itu dengan segera. Ada dekap erat yang Yessa lakukan. Ada lepasan napas berat yang Yessa keluarkan.
"Berat, ya? Nggak apa-apa. Tahan dulu ya, Neng. Abis ini, Mak yakin, Neng Chika bisa kuliah di luar kota dan nggak lagi di rumah ini setiap hari," ucap Mak Bin yang masih mendekap Yessa dan mengusap-usap tubuh gadis itu.
Yessa mendongak sejenak, "Mak nggak sedih Chika tinggal nanti?"
"Sedih. Tapi lebih sedih kalau Mak liat Neng sedih setiap hari,"
Mendengar itu, Yessa semakin mengeratkan dekapannya. Merasa seperti mendapatkan suntikan semangat yang sangat terasa hangat.
"Dah, masuk mobil. Bapak udah beres sarapannya tadi sama Neng Angel,"
Mak Bin lepas pelukannya. Tangannya sejenak merapikan rambut Yessa yang tergerai dan merapikan seragam Yessa yang sedikit terlipat akibat pelukan tadi.
"Udah rapi, udah cantik. Kak Dira kalah cantik," kata Mak Bin diiringi senyum sumringah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Cerita Singkat di Twitter
FanfictionSaking gapteknya, saya pusing pakai aplikasi nulis lain. Susah pakai Medium dan kalau di screenshot narasinya, sering kepanjangan. Jadi, nanti mungkin, setiap saya gabut dan buat AU di Twitter, narasinya saya taruh di sini. Enjoy ya kawan.