Dira & Yessa: 10 (3) Pertimbangan

809 112 18
                                    

Yessa tertawa beberapa jenak setelah membaca room chat sang Kakak dan Vito barusan. Dia juga mendapati Vito yang terkekeh usai rampung membalas pesan terakhir dari Dira.

"Kan, udah ketebak, pasti Abang yang diomelin," kata Vito kemudian diujung tawanya.

"Maaf ya, Bang. Abis kalau izin dulu, pasti nggak dibolehin. Padahal mah, sama lo ini ya perginya,"

"Emang kenapa kalau sama Abang?"
Vito memutar tubuhnya, menghadap Yessa yang duduk di anak tangga yang lebih tinggi dari anak tangga tempatnya duduk.

Vito tatap wajah Yessa dari bawah. Tawa yang tadi masih Yessa gemakan, seketika menguap, berganti dengan senyum malu yang mampu memunculkan semburat merah jambu pada kedua pipi gadis itu yang tak terlalu berisi.

Vito lempar senyum singkat. Kemudian beranjak untuk duduk di undakan anak tangga yang sama dengan Yessa.

"Tadi mintanya ngobrol di rumah, kenapa tiba-tiba minta ke sini? Kak Dira jadi khawatir 'kan tuh,"

"Biar punya alasan pulang telat. Gue malas, Bang," jawab Yessa.

Vito mengangguk. Dia paham akan hal itu. Yessa sudah cukup sering bercerita tentang berat hatinya.

Dia sentuh puncak kepala Yessa, membuat empunya menoleh menatap padanya. Mata mereka bertemu dan Vito bisa melihat reaksi keterkejutan dari Yessa, namun dia abaikan. Dirinya memilih mengusap kepala gadis itu pelan untuk memberi ketenangan.

Di antara keindahan yang terpancar dari mata Yessa, dia menyadari ada luka yang terselip di sana. Vito sudah lama mengenal Yessa. Dia sudah lama bekerja dengan Papi Yessa sejak ia masih semester 5 sebagai pegawai part time di salah satu outlet minuman yang Papi Yessa miliki. Dan dia juga sudah lama tertarik pada anak bosnya ini.

"Capek ya pasti? Sabar dulu aja, perasaan sedih atau senang itu, nggak akan permanen, Ca, pasti berlalu. Sedih yang sekarang, pasti nanti diganti bahagia sama Tuhan. Abang bakal bantu kasih bahagia buat kamu, meski dikit-dikit. Kalau kebanyakan, takutnya jatuh cinta hahaha—aduh!" Vito mengaduh saat Yessa mencubit lengannya cukup kencang.

"Emang nggak mau apa?!" tanya Yessa. Pertanyaan yang membuat Vito mengernyit.

"Mau apa?"

"Emang nggak mau kalau gue jatuh cinta sama lo, Bang?"

***

Yessa menarik ujung jaket yang Vito gunakan, membuat laki-laki yang sudah siap melangkah ke teras rumah Yessa, berhenti untuk berbalik menatap anak SMA yang masih lengkap dengan seragamnya.

"Kenapa?"

"Bang... gue malas," keluh Yessa setelah melihat ada mobil Vino dan satu mobil lain terparkir di pinggir jalan depan rumahnya.

Vito tersenyum melihat muka malas yang Yessa tunjukkan.

"Enggak apa-apa. Kamu cuma perlu mandi, ganti baju, makan, selesai. Nggak sopan juga kalau kamu nggak ikut, ada orang tua Kak Vino 'kan?"

Yessa mengangguk pelan.

"Kalau kamu masih belum mau ketemu keluarga baru Bapak, anggap aja ini makan malam, buat ketemu orang tua Kak Vino, keluarga yang bakal jadi keluarga kedua buat Kak Dira," lanjut Vito lembut.

Yessa kembali mengangguk. Kemudian berjalan di belakang Vito.

"Mandinya jangan dilama-lamain, mereka pasti nungguin kamu buat mulai makan," bisik Vito setelah memencet bel.

"Bilang aja lo yang udah lapar,"

"Haha sedikit. Kangen masakan Mak Bin,"

"Kak Dira pesan, bukan Mak Bin yang masak,"

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang