Dira & Yessa: Bab 5 - Dan Lagi

867 115 10
                                    

Dari banyaknya notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya, tak ada satupun yang dia buka, pun pesan dari sang Papi. Pop up pesan kedua dari Papinya lah yang membuat Dira mengurungkan niat untuk membuka pesan itu.

Dira dan Yessa memang sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tapi bukan berarti dirinya tak sakit hati. Terlebih Yessa sedang sakit. Harusnya pria itu paham, untuk saat ini Yessa lebih butuh sosoknya dibanding Angel — Almira Angela, adik tirinya.

Bukan egois, Dira dan Yessa juga tak pernah mempersalahkan ketimpangan perhatian yang sedikit demi sedikit kian kentara. Yessa memang manja, tapi anak itu tak pernah protes akan apapun yang Papinya lakukan kepada keluarga barunya —yang bahkan tidak bisa dikatakan baru, sebab pernikahan itu telah berlangsung sejak Yessa umur tiga tahun.

Hanya satu permintaan Yessa sejak dia paham semua, dia tak pernah mau dan tak mengizinkan keluarga baru Papinya menginjak rumah mereka, apapun alasannya. Dan Dira, hanya mampu menuruti pinta itu.

Kini, Dira yang telah berdiri di samping tempat tidur Yessa, langsung meletakkan ponselnya di nakas. Kemudian memasukan tubuhnya ke bawah selimut yang Yessa gunakan. Dia miringkan tubuhnya, menatap Yessa yang terlelap damai di sana.

Tangannya ia julurkan untuk memeriksa suhu tubuh Yessa. Masih hangat. Namun, paling tidak, tak sepanas tadi.

"Pi..." desis Yessa diikuti batuk yang cukup panjang.

Dira langsung terdiam. Tangan yang barusan ia gunakan untuk mengecek suhu tubuh Yessa, kini ia gunakan untuk menyingkap rambut yang jatuh menutupi wajah sang adik, saat Yessa memiringkan tubuhnya.

Di sana, ia bisa melihat, Yessa sejenak membuka matanya. Mungkin terbangun sebab terusik karena gerakan tangan yang ia lakukan tadi.

"Kak..." panggil Yessa lirih.

"Iya? Mau minum? Dari tadi kamu batuk, tapi enggak bangun, Kak Dira takut ganggu kamu."

Yessa membuka matanya, dia mengangguk pelan di sana. Buru-buru Dira bangun, membantu Yessa untuk duduk.

Dengan telaten, ia tuangkan air dari termos yang sudah Mak Bin siapkan sejak tadi. Dia campur air panas itu dengan air biasa agar menjadi hangat. Lantas ia berikan pada Yessa yang sudah menunggunya.

"Pelan-pelan."

"Belum tidur?" tanya Yessa setelah kembali berbaring.

Dira tak menjawab dengan kata, ia hanya menggeleng pelan sambil membenarkan selimut Yessa.

"Tidur lagi. Biar besok enakan. Kalau masih enggak ada perkembangan, besok kita ke dokter."

"Enggak mau."

"Sama Papi," sambar Dira cepat.

Yessa yang sudah mulai memejamkan matanya, dengan segera, membukanya kembali. Mata yang binarnya redup, menatap Dira penuh keterkejutan.

"Papi pulang?" Dira mengangguk pelan.

"Sendiri?"

Kali ini Dira mengangkat kedua bahunya, membuat Yessa mengubah posisi tidurnya membelakangi Dira.

"Enggak usah. Besok gue sembuh."

Dira diam. Lantas mengikuti Yessa untuk berbaring. Tangannya, dengan perlahan, mengusap-usap punggung Yessa. Kebiasaan kecil sang adik yang sampai sekarang tak pernah berubah. Ketika Yessa kesulitan tidur, adiknya ini biasa meminta Mak Bin untuk melakukannya. Atau jika sedang tidak berselisih paham, ialah yang akan Yessa pinta untuk melakukan hal ini.

Ada senyum getir yang Dira ukir ketika mendengar isak lirih yang Yessa keluarkan. Dira tak lagi asing, ketika Yessa sedang sakit seperti sekarang, hati sang adik akan lebih sensitif dari biasanya. Sangat sensitif.

Yessa bukan gadis cengeng yang akan menangis setiap saat ketika mendapati hal sedih atau sesuatu yang mengharukan. Yessa adalah gadis yang hanya akan menangis ketika hatinya benar-benar sakit. Ketika adiknya itu menangis, berarti hal itu sudah melukai hatinya. Seperti saat ini.

Dia tak berkata apapun. Dia tak akan melarang Yessa untuk menahan tangisnya. Dia hanya akan mendekap erat sang adik agar getar bahunya sedikit teredam. Seperti sekarang ini.

Namun, tanpa Dira duga, Yessa membalikkan tubuhnya. Mata dan pipinya yang sudah basah, Dira hapus pelan-pelan jejaknya. Namun percuma, titik-titik kesedihan itu masih terus mengalir dari sudut mata sang adik. Masih terus mengotori pipi tirus milik Yessa. Hatinya ngilu setiap mendapati adiknya menangis dalam diam seperti ini.

"Kak..." panggil Yessa dengan suara bergetar.

"Ya?"

"Mau ke Mami," lanjut Yessa.

Dira belum menjawab. Tangannya masih sibuk menghapus air mata Yessa yang belum mau berhenti luruh dari pelupuk mata kuyu itu. Perasaannya selalu remuk redam setiap kali kata Mami keluar dari mulut adiknya, sekalipun tengah bercanda. Dira selalu tak tega mendengarnya. Terasa begitu menyakitkan. Menyakiti hatinya.

"Kangen Mami?" Yessa langsung mengangguk cepat.

Anggukan yang membuat tangis Yessa semakin deras, meski bibirnya terkatup rapat. Anggukan yang membuat Dira semakin tertekan, sebab hanya dekap dan usap penenang yang bisa ia berikan.

Mungkin dia bisa mengusahakan semua permintaan yang Yessa inginkan. Tapi tidak yang satu itu. Garis takdir Tuhan sangat jelas terlihat. Kerinduan yang harusnya dibalas tuntas dengan pertemuan, tak bisa ia berikan pada sang adik. Hanya pertemuan semu yang selalu ia wujudkan, melalui doa-doa yang mereka panjatkan di depan gundukan tanah berlapis hijaunya rerumputan.

"Ya udah tidur lagi, biar mendingan. Besok kita ke sana."

"Sama Papi. Gue pengen bertiga sama Papi."

Yessa yang tadi Dira dekap, melepaskan pelukannya. Menatap dirinya dengan tatap sendu. Mata yang masih basah, menghunus Dira dengan pandang harap yang begitu dalam. Di balik netra indah yang terbasuh lampu kamar temaram itu, terlukis luka yang mungkin tak bisa Dira sembuhkan.

"Besok Papi ke sini, Kak Dira coba ngomong."

Tak ada lagi balasan yang Yessa berikan. Anak itu kembali menenggelamkan badannya dalam rengkuh Dira. Kali ini memeluk Dira lebih erat. Sangat erat.

"Kata Kak Vino, kalau kalian pindah, gue masih punya Papi di sini. Itu artinya, Papi masih sayang gue 'kan, Kak? Papi bakal sama gue setiap hari 'kan? Di rumah ini?"

Sejenak.

Dua jenak, Dira terdiam.

"Iya," dan hanya itu yang bisa Dira keluarkan sebagai jawaban di tengah tangis yang ia tahan.

"Tapi gue takut, Kak. Gue takut..."

Dira mempererat pelukannya. Menggigit bibir bawahnya yang mulai bergetar sejak Yessa memecahkan tangis dalam pelukannya. Kalimat ketakutan yang barusan ia dengar, membuat dirinya juga ketakutan.

"Jangan pergi. Di sini aja. Temenin gue, Kak."

***

Boleh kalau mau kasih masukan di sini hehehehehehehe

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang