Dira & Yessa: Bab 14 (2) Hope

406 72 2
                                    

Dira terdiam setelah memasukan ponselnya ke dalam saku celemek yang ia gunakan. Kegiatannya membantu opening kedai ini telah selesai, meski di balik bar dan dapur sana, pegawainya masih sibuk mempersiapkan apa-apa saja yang menjadi kebutuhan hari ini.

Dia berjalan, memeriksa etalase berisi jajan pasar yang selalu ia pesan pada penjual snack tradisional pilihannya. Ah, bukan, bukan hanya pilihannya, tapi juga pilihan Yessa dan juga Safira. Ide membawa jajan pasar masuk kedai kekinian miliknya ini adalah idenya. Makanan tradisional yang sudah cukup jarang bisa ia temui di sembarang tempat. Jajan tradisional yang mungkin masih banyak orang tidak mengetahui eksistensinya. Seperti Yessa yang baru pertama kali mencoba gemblong goreng saat itu. Seperti Angel, Adik tirinya yang waktu itu asing dengan Kue Ku.

Perihal keinginan Yessa masuk Tata Boga, Dira tak menolak, justru mendukung penuh apa yang diniatkan oleh adiknya. Memiliki produk snack sendiri, memang terdengar sangat menarik. Kedainya mungkin bisa lebih berkembang suatu saat nanti. Tapi yang mengusik isi kepala Dira adalah pilihan kedua sang Adik. Pilihan yang sama sekali tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

...

"Kak, gue masuk PG Paud ya?"

"Hah? Kok? Hmm maksudnya, kenapa? Alasannya?"

"Gue mau lihat anak-anak bahagia, Kak. Mau kasih bahagia ke mereka, biar masa kecilnya enggak cedera."

...

Pilihan yang Yessa utarakan dengan mata berbinar dan setumpuk rasa sakit yang berpendar di kedua bola mata cokelatnya. Bola mata yang belum—atau tak akan pernah pulih dari luka menganga akibat kejadian dua minggu yang lalu, pun sebelum-sebelumnya.

...

"Pi, Papi boleh benci Yessa, tapi jangan benci Kak Dira. Papi boleh enggak suka sama Yessa, tapi Yessa mohon, jangan pernah bilang lagi kalau kelahiran Yessa yang bikin Mami pergi. Yessa sama kaya Papi, yang masih terus berharap Mami ada di sini, peluk Yessa saat Papi lebih nyaman sama rumah baru Papi,"

"Yessa mohon jangan bilang kalau Mami meninggal gara-gara Yessa. Yessa mohon,"

Tubuh Dira menegang saat Yessa merendahkan tubuhnya untuk mencium kaki sang Papi. Sebelum itu terjadi, Dira langsung berjongkok di hadapan Yessa, menahan pundak adiknya kuat-kuat. Dia menggeleng, melarang Yessa melanjutkan aksinya.

"Kak, bukan Yessa 'kan yang buat Mami pergi? Bukan Yessa 'kan, Kak? Yessa anak baik 'kan? Yessa enggak mungkin buat Mami meninggal 'kan, Kak?" Yessa bertanya dengan tatap penuh ketakutan. Tangannya bergetar saat meraih salah satu tangan Dira untuk digenggam.

Dira tak bisa menjawab dengan kata. Dia hanya menggeleng sembari menghapus derai air mata yang masih terus menganak sungai di pipi tirus sang Adik. Nada pilu yang keluar dari bibir tipis Yessa, membuat tenggorokannya tercekat. Umpatan-umpatan yang sudah siap ia lemparkan ke wajah sang Papi, kembali ia telan setelah melihat Yessa hampir merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan laki-laki tak tahu diri. Bulir-bulir bilur yang masih terus berjatuhan bersama racau sang Adik, benar-benar membuat hati Dira membiru. Dia tak bisa apa-apa selain memeluk Yessa seerat yang ia bisa. Dia tak bisa berbuat banyak selain ikut terisak di balik punggung rapuh adiknya yang masih terus bergetar.

Tak lama, ia melepaskan dekapan, membawa Yessa untuk berdiri dari persimpuhan. Dia tatap sejenak wajah Yessa yang kacau sebelum berbalik badan menatap sang Papi yang masih bergeming.

Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Dira. Kulit wajahnya yang putih bersih berubah merah padam seperti tengah menahan amarah yang sudah naik ke kepala. Rahangnya mengeras, urat-urat leher dan pelipisnya semakin kentara menonjol. Matanya yang basah, menyalang dan tangannya sudah mengepal kuat.

Narasi Cerita Singkat di TwitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang