Bab 7

608 58 0
                                    

KINN - POV

Porsche menyebut kakeknya ibarat tendangan kuda di perutku. Sakit sekali...

Jika aku punya satu penyesalan dalam hidupku, itu adalah meninggalnya kakek Porsche. Aku tidak bisa memberitahu Kakek Porsche kebenaran tentang kotak tembakau itu. Serangan stroke yang tiba-tiba itu mengejutkanku dan keluargaku.

Mungkin ini bukan hal yang bisa menghiburku atau memperbaiki keadaan, tapi aku sudah mengatakan yang sebenarnya pada kakekku dan melihat ekspresi kecewa di matanya adalah hukuman yang menyakitkan untukku.

Entah betapa kecewanya kakek Porsche. Aku menatap Porsche yang dengan santainya duduk di kursi dan merapikan kain serbet di pangkuannya.

Aku merindukannya. Itu kebenaran lain yang tidak bisa aku katakan pada Porsche. Jika aku mengatakannya, aku khawatir dia tidak hanya akan melemparkan kain serbet itu ke wajahku tapi dia juga akan tertawa saat melakukannya.

Kenapa dia merindukan teman masa kecilnya yang mengkhianatinya? Jika itu aku, tentu saja aku tidak akan sudi.

Aku duduk di kursi di seberangnya, mempertahankan ekspresi datar, agar tidak terlihat bernostalgia dan melankolis, saat aku mengambil kain serbet yang diletakkan di piring di depanku dan menaruhnya ke pangkuanku.

Pete, mengambil inisiatif untuk membuat pengaturan lain di atas meja dan mendapatkan kursinya sendiri untuk duduk bersama kami.

"Jadi..." kata Pete sambil tersenyum, kuharap dia memiliki pemecah kebekuan yang bagus karena Porsche sangat dingin.

"Ingat saat kita biasa memainkan permainan restoran? Porsche adalah koki kita, aku adalah pelayannya dan Kinn..."

"Adalah pelanggan yang tidak puas yang tidak akan senang terhadap apapun yang akan kita layani," Porsche tersenyum dingin.

"Sepertinya alur permainan itu terlalu mirip dengan kenyataan."

"Ai Porsche," Pete mencoba nada memohon.

Aku tidak menerima semua itu, "Hanya itu yang kau punya? Kau akan melakukan ini sepanjang malam? Memberiku pukulan yang menghina sampai kita selesai makan malam?" Tanyaku sambil menatap Porsche.

Mata Porsche yang mirip mata kucing, bulu mata lentik dan mata yang "terlalu cantik untuk ukuran seorang pria", menyipit saat dia tersenyum.

"Wah, apa kau terhina? Adakah hinaan yang bisa menembus ego percaya dirimu yang berlebihan itu? Karena aku punya banyak..."

"Baik! Berikan padaku semuanya," aku menantangnya.

Matanya semakin menyipit, "Oh, tentu, dengan senang hati, kau..."

"Cukup!" Pete berteriak sebelum Porsche sempat menghinaku lagi. Pete memandang kami dengan lelah.

"Kita bukan anak-anak lagi. Pertengkaran seperti ini sudah tidak lucu lagi. Kita sudah dewasa sekarang, kita harus bertanggung jawab terhadap perkataan yang akan keluar dari mulut kita dan..."

"Shiaa.. dia masih suka berceramah seperti itu?!" Porsche menatapku dengan tidak percaya.

Aku mengangguk padanya, "Dan kau juga harus mendengar omong kosongnya."

"Yang benar saja? Hidup bukan perlombaan dan kita punya fase omong kosong seperti itu?" Porsche terkesima.

"Ya!" Aku menjentikkan jariku padanya. Aku menoleh ke arah Pete yang tampak tertegun melihat kami.

"Pete, beri dia omong kosongmu, cepat! Tidak adil bagiku jika aku tumbuh besar dengan mendengarkan omong kosongmu sementara Porsche tidak!"

"Jangan coba-coba Pete!" Porsche menuding teman kami yang duduk disana dan menerima semua omong kosong kami.

Love In The Kingdom - KinnPorscheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang