Taruhan

157 23 5
                                    

Hari-hari selanjutnya adalah neraka bagi Gun, dia terus-terusan di bully disekolahnya seperti saat pertama kali masuk sekolah dulu, meski sekarang banyak teman-temannya yang membelah bahkan New, Arm dan Singto terkadang ikut membantunya, tetap saja tidak ada yang benar-benar nurut. Namum dari semuan pembullyian yang diterimanya, Gun lebih menderita lagi karena Off. Cowok itu menghilang sejak ciuman perpisahan mereka siang itu. Tidak ada yang tahu dimana keberadaannya bahkan Arm dan Singtopun sama butanya.

Sejak kepergian Off, tiada hari tanpa menangis bagi Gun, bahkan saat ditengah mata pelajaranpun Gum akan menangis sesegukan jika mengingat prianya itu. Gun rinduh, terlalu rinduh pada Off, sampai-sampai terasa begitu sesak, rasanya menangispun hanya akan menambah sesak, tapi Gun harus apa, setiap dia mengingat Off, hanya air matanya yang menjadi respon pertama tubuhnya.

Terhitung dua minggu sudah sejak perpisaham mereka siang itu, Off tidak terlihat dimana-mana. Apa sebegitu parahnya kah patah hati? Sampai-sampai seorang Off Jumpol membutuhkan healing begitu jauh dan lama? Sebegitu sakitkah perpisahaan, sampai-sampai dirinya butuh ketenangan yang paling tenang?

Hari ini seperti biasa, Arm dan Singto kembali memantau Gun yang sudah mirip zombie, datang kesekolah seakan tak membawa nyawa dan otak. Penampilannya berubah sedikit terlebih bagian mata yang selalu terlihat merah, membengkak dan menghitam dibawahnya. Tubuhnyapun ikut kehilangan bobot, jalannya makin sempoyongan, untung kemanapun Gun pergi selalu ditemani Krist dan Win, jika tidak mungkin Gun akan terjatuh berulang kali, ditambah anak-anak Grammy yang selalu gatal tangannya untuk menyakiti Gun.

"Ck, si Off bangsat tuh kemana sih anying! Kesal gue liatnya!" Ucap Arm kesal

"Tau ah, kemarin gue cek lagi kerumahnya masih belum pulang kata bibi" jawab Singto

"Loe nggak nanya dia kemana?"

"Nanya tapi si bibi nggak tahu"

"Nanya Tu?"

"Udah, nggak tahu juga"

"Nyokapnya?"

"Beh, dia ajah juga stress nggak tahu anaknya kemana"

"Lah trus nih anak kemana dah??" Arm bingung sendiri jadinya

"loe nanya gue??!!" Tanya Singto sarkas. Dipikir-pikir memang mengesalkan si Off yang pergi begitu saja. Tidakkah dia tahu Gun juga tersiksa karena perpisahaan mereka ini?

Bukan cuman Singto dan Arm yang kebingungan, Tay pun tak kalah sakitnya melihat sang adik yang terus-terusan menangis, dirumah maupun disekolah, belum lagi Tay tidak cukup berani mengorbankan namaa baiknya demi melindungi sang adik dari bullyian yang dialami Gun dua minggu ini. Tay pengecut, dan dia sadar itu. Itulah dirinya yang sebenarnya, itulah wajah aslinya. Dia bukan kakak yang baik, dia bukan abang yang patut dibanggakan, dia hanya pengecut, yang bersembunyi dibalik air mata adiknya.

Pernah sekali Tay menyaksikan Gun kambuh. Dia membentur kepalanya berulang kali ke tembok sambil menangis histeris, yang menimbulkan kepalanya terluka hingga berdara, bahkan tangan Tay yang menahannyapun ikut dibentur hingga jemarinya kesakitan. Ada juga saat Tay menemukan Gun yang duduk melamun sendirian di dalam kamarnya dengan lampu yang sengaja dipadamkan dan hanya dibantu cahaya lilin kecil ditangannya, itupun lilinnya hampir habis, dan Gun merasa membakar jemarinya tidak akan masalah dibanding hatinya yang terluka.

"Gun..." panggil Tay saat dilihatnya Gun kembali melalum didepan televisi yang menyala tanpa volume.

Adiknya menoleh dengan wajah yang berlinang air mata.

"Kenapa nangis?" Tanya Tay seraya duduk disamping Gun

"K-kak Off pe-pe-pergi, G-gun r-ri-rin-duh" jawabnya gagap.

G U NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang