10²

291 40 8
                                    

"Mau ke mana?" Jimin bertanya cemas sekaligus dengan rasa ingin tahu yang sangat kuat. Perempuan itu mendapati suaminya tengah sibuk menyusun baju-baju ke dalam koper. "Mas, kenapa tidak menjawab?" tanyanya ulang.

"Mas harus pergi, Ji. Ada kerjaan di Kalimantan. Sudah Mas kasih tahu kemarin 'kan?"

"Jadi, Mas mau pergi begitu saja? Mas tidak peduli keadaan Adek?" Dia makin waswas saat melihat Jungkook justru menunjukkan ekspresi datar hingga menyebabkan kelopak matanya pun mulai berkaca-kaca.

"Kondisi kamu baik, Ji. Jangan manja!" Itu jawaban ketus, pengantar langkah cepatnya meninggalkan kamar sambil membawa koper. Dia menutup pelan pintunya dan berdiri sejenak di sana. Maaf, Dek. Mas terpaksa melakukan ini supaya kamu mengerti kesalahanmu. Jungkook pergi tanpa mengacuhkan tangis istrinya yang terus memanggil namanya. Kendati Jimin sudah diperbolehkan untuk pulang, dokter tetap menganjurkan agar dia beristirahat total dalam seminggu ini.

"Mas, Mas tidak boleh pergi. Mas!" Jimin berteriak disertai linangan air mata yang membasahi pipinya.

Di dapur, Jungkook menghampiri Moya yang saat ini sedang memasak bubur sembari membuatkan segelas susu untuk Jimin. "Tolong ya, Moy. Jangan sampai terjadi apa-apa sama Jiji. Dia memang agak ceroboh juga keras kepala, saya ..." Jungkook menunduk sebentar, keningnya mengerut mewakili perasaan bingung yang terselip di hatinya. "Tadinya saya berencana mengajaknya juga, tetapi dokter tidak mengizinkan. Mungkin kepergian saya kali ini akan lama. Kalau ada apa-apa cepat hubungi saya, ya."

"Baik, Tuan. Apa yang harus saya katakan pada nyonya bila dia menanyakan keberadaan Anda?"

"Saya sudah mengatur semuanya. Yang harus kau lakukan adalah mengurus dan mengawasi istriku." Jawaban tegasnya menarik kesadaran Moya untuk buru-buru mengangguk. Sejemang, Jungkook melepas senyum singkat nan menawan, "Terima kasih," katanya pada Moya dan lalu mengayun kaki.

"Hati-hati, Tuan."

-----

Jimin belum juga berhenti dari tangisnya. Bersandar di punggung ranjang, kesedihan terpancar jelas di wajahnya serempak dengan air mata yang terus-menerus mengalir. Kelopak matanya  membengkak sudah akibat terlalu lama menangis.

"Nyonya, kalau Anda masih juga begini, Tuan justru akan gelisah di perjalanan," tutur Moya seraya mengaduk-aduk pelan bubur yang masih panas.

Tahu-tahu engsel pintu yang mulai kering mengeluarkan bunyi nyaring ke telinga. Atensi Jimin teralihkan dan langsung menunggu dengan lamat-lamat sosok siapa yang ada di balik pintu.

"Mungkin itu suamiku." Dia cepat-cepat menghapus air matanya, juga mencoba tersenyum. Tak lama senyum itu pun sirna tergantikan oleh kernyit tajam yang muncul di dahinya. Ia menatap heran seraya berkata, "Ibu, kenapa Ibu ada di sini?"

"Apa kamu pikir dia yang datang?" Jinni berjalan anggun memasuki kamar putrinya. "Dia sudah pergi, kamu harus memahami keputusannya."  Mengumumkan lewat tutur kata halus diiringi senyum simpul yang cantik. Dia melirik Moya sejenak guna sebentuk isyarat dan seakan mengerti perempuan berambut cokelat itu sedikit membungkuk sebelum beringsut keluar.

"Ibu, di mana Mas Jungkook?"

Jinni mendudukkan bokongnya di tepi ranjang, di samping putrinya. "Di bandara katanya, dia yang meminta Ibu untuk menemanimu."

"Kapan dia menghubungi Ibu? Aku coba menelepon Mas Jungkook berulang kali, tapi ponselnya tidak aktif," jawabnya lesu. Benar-benar tidak bersemangat.

"Sore tadi menantu berkunjung ke rumah kita. Ibu tidak pernah melihatnya berantakan seperti itu, biasa penampilannya selalu memukau. Kasihan sekali, ibu jadi tidak tega. Pasti menantu bekerja terlalu keras." Jinni mendengkus pelan, menatap putrinya sarat pertanyaan. "Apa kamu kurang memperhatikannya?"

Tudingan itu membuat lidah Jimin seketika menjadi keluh. Dia merasa tertampar begitu kuat. Ibunya benar, dia memang tidak begitu memperhatikan suaminya. Semua perihal menyangkut Jungkook dia bebankan kepada Moya. Sementara, selama ini dia hanya disibukkan dengan aktivitas tak jelas pula tanpa tujuan yang tepat. Menghabiskan waktu dan uang, bersenang-senang bersama kelompok sosialita. Sebuah komunitas yang memang sedang tren di masa kini.

"Semua salahku, Ibu. Dia tidak pernah menyinggung atau pun menyakitiku, yang kuingat dia selalu membuktikan cintanya padaku setiap hari. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan manisnya dan ketika dia mengabaikan aku seperti rasanya hatiku terluka, sakit sekali." Jimin mengakui kesalahan berikut penyesalan yang dia rasakan.

"Ibu sudah menebak pasti terjadi sesuatu di antara kalian. Matanya tidak bisa berbohong, menantu sangat kecewa padamu."

"Aku tahu Ibu." Jimin menghapus air matanya yang lagi-lagi mengalir.

"Percuma menyesalinya, Nak. Semua sudah terlanjur. Perbaiki sikapmu, kamu akan menjadi seorang Ibu. Ingatlah saat kali pertama kalian bertemu, dan bagaimana cara dia bisa jatuh cinta padamu."

Continue ...

Dek Jiji & Mas JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang