"Mas, apaan sih?! Masih pagi begini juga."
"Kenapa, Dek? Mas lagi enak-enaknya tidur kok malah diomeli?"
"Tidur ya tidur saja, tangannya mas ini loh! Jangan merayap ke mana-mana. Geli, tahu! Bisa-bisanya tidur masih genit."
"Itu refleks, sayang. Saking lelapnya, di dalam tidur pun ada adek si samping Mas. Jadi, terasa seperti nyata."
Sejoli ini bahkan tidak sadar bahwa kini waktu sudah menunjukkan lewat pukul setengah delapan. Sementara, jemari Jungkook secara naluriah meraba titik sensitif di bagian dada istrinya. Pura-pura tidak memahami kekesalan Jimin, meski tindakannya jelas-jelas mengarah ke tujuan intim. Dia ingin mengecap pagi dengan sedikit sentuhan mesra yang lebih dalam.
"Ya memang nyata 'kan? Singkirkan tangan, Mas. Adek mau bangun. Entah jam berapa sekarang, takutnya kesiangan. Belum bikin sarapan untuk kita, ada ayah ibu. Kasihan mereka kalau makannya telat. Sudah tua, risiko asam lambungnya naik malah merembet ke segala penyakit nanti. Apalagi ibu gampang pusing kalau menunda-nunda makan."
"Enggak usah cemas, sayang. Nanti mas pesan daring deh biar cepat. Dan kamu tidak perlu repot-repot masak."
"Adek tidak merasa seperti itu—Mas, tangannya sudah dulu. Enggak enak semisal ibu tanya-tanya kenapa bangun kesiangan. Memangnya mas mau kelakuan mesumnya jadi bahan konsumsi orang tua? Bakal dicap menantu semberono oleh ayah."
"Enggak mungkin, Dek. Pasti mereka mengerti, pernah muda dan mencicipi rasanya kasmaran setelah menikah. Perbuatan Mas masih sangat bisa dimaklumi. Punya istri kayak kamu, siapapun betah di kamar terus. Walau sekadar pelukan, mengobrol. Tapi, asyiknya itu Adek cuma satu-satunya di dunia. Enggak ada Mas Jungkook lain di mana-mana."
"Eh, Mas--barusan kayak suara ibu memanggil. Itu itu! Kamu dengar 'kan?"
"Mana, Dek?Enggak ada, Mas enggak dengar apa-apa." Jungkook seakan tengah melebarkan telinga, walau sebenarnya yang terjadi dia hanya berdiam diri sejenak agar bisa menangkap suara ibu mertuanya.
"Mas buruan bangun. Adek keluar duluan, mau lihat ibu. Siapa tahu dia butuh sesuatu." Kebingungan Jungkook dipergunakan Jimin untuk kabur dari kamar mereka dan rencana romantis yang telanjur hinggap di kepala suaminya itu. "Jangan lama-lama! Mas segera mandi dan turun, ya."
Lipatan detik berikut, embusan napas Jungkook mengudara halus. "Apa boleh buat?!"
"Mas bilang apa?!"
"Enggak ada, sayang. Nanti Mas menyusul—bikin kopi buat Mas ya, Dek. Biar tidak pusing. Gara-gara Adek hasrat Mas terpendam lagi." Sengaja Jungkook memelankan kalimat terakhir ini bertepatan istrinya membuka pintu kamar mereka.
"Pakai krimer 'kan?"
"Tidak usah, Dek. Espresso saja sekalian." Mau menunjukkan kekesalan pun percuma, dia tidak pernah bisa marah kepada istrinya tersebut. Berujung senyum sedikit sumbang terpancar dari wajahnya.
"Adek tunggu di dapur ya, sayang," sahut Jimin dengan senyuman kelewat cantik. Sampai-sampai Jungkook mengerang pasrah di tempatnya.
-----
Di dapur, Moya terlihat menyajikan roti panggang berisi selai kacang dan cokelat. Ada juga beberapa potong dibiarkan tanpa toping.
"Baru bangun, Ji?"
"Tidak, Bu. Jiji mengobrol sama Mas Jungkook tadi, makanya enggak langsung keluar."
"Jungkooknya kenapa belum turun, Nak?"
"Masih mandi, mau siap-siap ke kantor juga, Bu."
"Aduh, sarapan Nak Jungkook bagaimana, Ji? Apa sempat dimasak?" Ibu Jinni tampak agak panik jangka cangkir tehnya melayang sejajar mulutnya.
"Bu, tidak perlu cemas seperti itu. Justru Mas Jungkook berencana pesan makanan untuk kita melalui daring. Dia enggak mau merepotkan Ibu. Pokoknya Ibu tidak diperbolehkan cape selama di sini."
Ibu Jinni hela napasnya perlahan-lahan seraya seringai tipis menghiasi parasnya. "Suamimu terlalu berlebihan. Ibu sangat terbiasa memasak. Kalau cuma diam saja rasanya malah melelahkan, badan ini jadi linu-linu."
"Dampak usia senja, Bu." Pak Namjun menyambung usai menyesap tenang sajian teh miliknya. "Sebaiknya biarkan ibu bebas berbuat apapun yang dia sukai, Ji. Beri pengertian kepada Nak Jungkook. Rumit semisal ibumu dicegah. Akibatnya berat buat ayah, bisa merajuk semalam suntuk." Moya mesem-mesem sendirian di seberang mereka. Lalu, ketika lirikan Ibu Jinni berpindah ke dia, gadis itu sontak berdeham ringan dan menundukkan kepala.
"Jaga ucapanmu! Tidak enak didengar anak-anak." Berujung Ibu Jinni refleks memperingati suaminya.
"Tidak apa-apa, Ibu. Itu artinya ayah peduli sama Ibu. Khusus pagi ini kita coba saran Mas Jungkook. Besok dan seterusnya terserah ibu mau beli atau masak sendiri. Jiji menurut saja." Tak ayal perkataan sekian mendapat anggukan lekas dari Ibu Jinni. Dia lega setelah kebebasan berekpresinya tidak harus dibatasi, terutama soal kreasi dia dalam memasak.
Jeda percakapan di antara mereka mendorong semuanya fokus terhadap hidangan sederhana di depan mata. Moya yang semula hening pun memilih menyingkir usai membawa roti panggang serta teh bagiannya. Gadis muda itu hendak melanjutkan urusan cuci-mencuci pakaian di halaman belakang. Praktis suasana pantry yang semula ramai berubah agak senyap. Situasi demikian berjalan kisaran sepuluh menit, dan Jungkook muncul seraya mengucapkan selamat pagi.
"Maaf, Nak Jungkook. Kami makan tanpamu."
"Itu bukan masalah, Ayah. Lagi pula saya harus langsung berangkat sekarang, panggilan mendadak dari kantor menyangkut proyek pembukaan toko kita di Kalimantan—Dek, Mas pesan nasi uduk, soto serta lupis. Kamu yang ambil, ya."
"Loh, tidak sarapan?"
"Di kantor saja."
"Minimal makan rotinya, Mas. Lumayan jauh 'kan jarak ke kantor."
"Ya sudah, Adek pindahkan saja ke kotak bekal sekaligus kopinya." Jimin cukup dengan mengangguk seiring tangannya sigap menyediakan bekal itu.
"Perusahaan sedang sibuk-sibuknya ya, Nak Jungkook." Pertanyaan spontan oleh Pak Namjun dini menantunya duduk di sebelah dia.
"Selalu begini Yah kondisinya setiap ada rancangan pembangunan cabang. Kebetulan saya juga tidak punya kenalan baik di daerah sana. Segalanya benar-benar diperhitungkan sendiri. Untung ada Kim Taehyung yang terkadang bersedia membantu saya. Berkat dia, lahan pembangunan jadi mudah ditemukan."
"Tapi, kenapa jauh sekali sampai ke Kalimantan. Bukannya di Jakarta berkembang pesat."
"Betul, Yah. Di sini memang cepat sekali maju. Kendalanya di lahan, sudah terlampau padat. Saya bingung mau pilih kawasan mana. Selain kekurangan area, saya juga berniat memelopori pasar sejenis di Kalimantan. Mumpung pembangunan kota di situ sedang gencar-gencarnya."
"Kamu tentu mempertimbangkan dari seluruh aspek 'kan, Nak? Sungguh rentan jika kamu sering-sering keluar kota meninggalkan Jiji sendirian. Kalian segera memiliki bayi. Jujur saja, Ayah khawatir."
"Ayah jangan takut, ya. Jiji dan bayi adalah prioritas saya. Saya akan lakukan apapun supaya mereka terjamin aman—kemungkinan saya bakal mengajak mereka untuk menetap di sana sepanjang pengenalan produk."
"Ayah perkirakan bisa setahun dua tahun itu."
"Prediksi ayah tepat sasaran."
"Ini Mas, Adek kasih dua lembar roti panggang." Tahu-tahu Jimin meletakkan bekal itu di hadapan suaminya.
"Semoga rencana kamu lancar, Nak Jungkook."
"Terima kasih, Yah. Mas pergi dulu, ya," katanya sembari beranjak. "Bu, nanti kalau kepingin apa-apa bilang ke Jiji biar saya singgahkan untuk beli." Sambil mengunyah, ibu Jinni pun manggut-manggut senang. Jungkook pandai membagi perhatian kepada keluarga istrinya. Pria ini amat tulus dan tidak sekalipun berpura-pura.
-----
Taqabbalallahu minna wa minkum
Selamat hari raya idul fitri buat kalian yang juga merayakan, ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Jiji & Mas Jungkook
RomanceJimin yang manja selalu merasa bahwa suaminya tidak akan pernah menolak segala permintaan dia. Lagi pula, Jungkook punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa bisa berbuat kasar sekalipun sekadar penegasan. Lalu, Jimin yan...