531 60 2
                                    

•• ༻❁༺ ••
.
.
.

Jangan lupa follow, vote dan komen, ya. Agar bisa up setiap hari. Kalau cerita ini feedback-nya lancar. Akan lebih cepat juga tamatnya dan Velin bisa publish series Kookmin GS terbaru buat kalian. :))

Untuk 'Get along with You' diusahakan tetap update biarpun sulit rutin. Kondisi rekan Velin sedang tidak kondusif. Bersabar, ya. Berhubung itu cerita kolaborasi, lebih afdhol kalau ditulis barengan.

-----

"Aku bimbang bisa ikut atau tidak," jawab Jimin sambil memutar-mutar helai rambutnya. Perempuan itu sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. "Sudah kubilang 'kan, aku harus minta izin dulu, Jen."

"Kau ini bagaimana sih, Ji? Memangnya kita mau melakukan apa? Haruskah atas persetujuan dari suamimu dulu hanya untuk pergi bersenang-senang? Yang benar saja."

"Dia berbeda dari suami kalian. Mas Jungkook bukan tipe pemberi kebebasan mutlak ke istrinya. Aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti saranmu. Beri aku waktu, akan kucoba untuk membujuknya."

"Terserahlah, Ji! Bila malam ini tak ada kabar darimu. Kami akan tetap pergi tanpamu."

"Kok ditutup sih, Jen?!" Jimin berdecak ketika sedang mengamati android miliknya dengan pandangan kesal.

"Telepon dari siapa, Dek?"

"Loh, Mas? Sudah jadi makannya?!

"Baru saja selesai."

"Maaf, ya. Adek tidak menemani. Mas sih, enggak kasih tahu Adek."

"Enggak apa-apa, sayang. Tadi siapa yang telepon?" Jungkook duduk di seberang istrinya.

"Teman Adek." Menjawab singkat saat pikiran menimbang-nimbang perkataan temannya semula. "Mas, ada yang mau Adek bilang."

"Katakan saja. Apa yang membuat istri Mas gugup begini?"

"Bukan gugup, Adek cuma bingung. Ehm ... teman Adek mengajak jalan-jalan, yang di telepon. Adek boleh ikut tidak?"

"Ke mana?" Jungkook berusaha menjawab tenang, meski kernyit di dahinya muncul lebih dini. Dia tidak pernah suka terhadap ide bepergian Jimin tanpa dirinya.

"Paling ke mal, Mas. Shoping, menonton bioskop. Lalu, duduk di kafe sambil makan es krim sebelum pulang." Jimin melipat bibir selagi menunggu tanggapan suaminya, sedikit meragu kalau mengingat dia tidak selalu diringankan untuk keluar rumah tanpa alasan penting. Tepatnya semenjak dia memberitahu kehamilannya kepada Jungkook.

"Kapan perginya?"

"Besok jam sepuluh. Boleh, ya Mas?" Muka memelas dipampangkan. Dia hafal satu dari banyak kelemahan suaminya menyangkut dia.

"Tapi Ji, kamu sedang hamil. Dokter bilang usia kandunganmu belum diperbolehkan melakukan banyak kegiatan. Kalau terjadi apa-apa denganmu atau bayinya, bagaimana? Kamu harus pikirkan alasan itu."

"Mas, Adek perginya enggak sendirian. Jangan melebih-lebihkan, dong. Lagian, di mal itu juga banyak wanita hamil." Nada suara Jimin merendah, sarat rengekan di dalamnya. Dia tidak akan mengucapkan dengan lantang seperti bukan kebiasaan bagi keduanya yang terbiasa bertutur halus.

"Mas tidak bermaksud, sayang. Cuma mengingatkan perkataan dokter tempo hari. Apa salah mengkhawatirkan kondisi istri dan anak sendiri?" Tatapan Jungkook berubah mengintimidasi, meski tidak ada kekerasan pada setiap penggalan kata yang diucapkan. Ya Tuhan, bahkan seluruh keluarga dari kedua belah pihak pun tahu betapa besar rasa cinta lelaki ini kepada istrinya. Jimin kerap dimanjakan. Tiada sekali walau seumpama ketidaksengajaan dia berlaku kasar, termasuk teduh cara memandangnya.

"Pokoknya Adek mau pergi, sudah janji dari minggu lalu ke mereka." Jimin menunduk, muka cemberut serta bibir dimajukan. Gemas sekali, pikir Jungkook.

Jangka mendengar kalimat paksaan itu, Jungkook lantas mendengkus dengan kepala tetap dingin. Sembari beranjak untuk menuju kamar mereka, dia pun menyahut, "Mas bisa apa kalau Jiji sudah ngotot begitu? Tapi, Mas benar-benar memohon sama kamu, jaga diri. Jangan lalai biarpun Mas tidak ada di sana, iya?!"

Bersambung...

Dek Jiji & Mas JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang