16⁴

272 26 0
                                    

Sore ini mereka semua duduk bercengkerama di teras belakang. Ada kolam ikan koi yang di desain layaknya berada di alam liar dengan aliran air terjun setinggi dua meter. Di sekitar kolam dihiasi beragam tumbuhan paku-pakuan dan talas. Jimin dan Jungkook menyukai panorama asri demikian, kendati mereka membutuhkan tenaga tambahan dalam mengurus kolam tersebut agar tetap terjaga kebersihannya.

Satu cerek sirup melon dingin pun menjadi penyegar dahaga, seraya menunggu camilan yang sedang dibawa Jungkook menuju perjalanan pulang. "Ji, tadi sudah disampaikan pisang krispinya pakai pulut?"

"Sudah, Bu. Jiji ketik jelas-jelas, kok. Pisang krispi pakai pulut tiga porsi buat Ibu, Ayah dan Moya. Jiji pesan tahu isi sama martabak telur. Lagi kangen makan yang gurih-gurih pedas. Itu sambil dicocol sambal enak banget, Bu."

"Jangan banyak-banyak, Nak! Ingat, kamu enggak begitu serasi dengan makanan pedas."

"Iya, Bu. Jiji enggak bakalan lupa, Kok. Paling banyak Jiji makan tiga dan sisanya dihabiskan Mas Jungkook. Dia 'kan doyan sama yang namanya makanan gurih dan pedas."

"Omong-omong ..." Ibu Jinni sejenak menjeda kalimatnya untuk meneguk sekali es sirup miliknya. "Kamu tetap masak 'kan di rumah? Kasihan suamimu kalau dibiarkan jajan melulu. Dia 'kan pernah mengaku lebih senang menikmati masakanmu di rumah. Hal itu dijaga, ya. Kelihatan sepele. Tapi, efeknya gede sekali untuk menyenangkan hati suami. Tanya saja ayahmu."

"Ibumu benar, Nak. Ayah yang gemar makan begini juga bukan berarti selalu mau jika disuguhkan makanan luar. Apapun menunya, masakan rumah jauh lebih lezat dan memuaskan. Itu, loh. Perhatian Ibumu jadi merasuk ke hati Ayah. Senang rasanya dimanjakan begitu."

"Mas Jungkook juga sering berkata seperti itu ke Jiji. Bukannya meragukan masakan Moya, ya. Walau Moya dipekerjakan karena terbukti enak masakannya, Mas Jungkook kukuh bilang yang Jiji masak rasanya makin istimewa. Sebesar apapun capenya dia langsung lenyap cuma gara-gara menyantap masakan Jiji."

Moya yang tengah menyiram bunga-bunga pada jarak beberapa meter dari mereka spontan senyum-senyum di posisinya. Kehangatan obrolan keluarga Park menyebabkan dia mengingat ayah dan ibunya di desa, seketika pula dia merindukan mereka. Kata-kata sederhana oleh kedua orang tua tak ayal mampu membesarkan perasaan seorang anak, persis yang dilakukan Ibu Jinni dan Appa Namu.

"Ji, kemungkinan oppa-mu tiba di bandara besok pagi, Nak. Tadi siang Christian menelepon Ibu. Dia juga mengobrol banyak sama ayahmu."

"Oppa bilang apa, Yah?"

"Christian masih sungkan karena sudah merepotkan kamu, katanya. Apalagi dia belum mengenal Nak Jungkook dengan baik. Ayah hanya bisa menyerahkan keputusannya di tangan dia. Tapi, Ibumu juga berpikir dia akan lebih nyaman berada bersama kita. Ini 'kan pengalaman pertamanya berkunjung ke Indonesia."

Detik itu Jimin hela napasnya perlahan-lahan. Lalu, dia pun tersenyum sebelum berkata, "Nanti kalau kita sudah ketemu Christian-Oppa biar Jiji yang meyakinkan dia. Ayah dan Ibu enggak perlu cemas, ya. Mas Jungkook itu juga orangnya pengertian. Dia pasti tahu bagaimana caranya agar Oppa bisa nyaman dan betah untuk tinggal sementara di sini."

"Ayah tahu anak Ayah bertambah dewasa sekarang." Seringai Appa Namu menampakkan dua lubang dimpelnya yang dalam dan itu dia turunkan kepada dua anak kembarnya yang sama-sama menawan.

"Dek, Mas pulang!"

Seruan Jungkook dari pintu masuk memancing atensi Jimin. Dia praktis berdiri menuju ruangan depan guna menyambut suaminya.

"Kok cepat, Mas? Tapi, katanya tadi masih mengantre?"

"Mas dikasih duluan sama pembeli yang lain, sayang. Mas bilang istri Mas di rumah lagi mengidam. Terus mereka satu-persatu mempersilakan Mas buat pesan duluan. Ya, sebagai balasannya Mas traktir mereka semua."

"Astaga, Mas! Mas bohong ke mereka?"

"Bohong apanya? Itu 'kan cuma trik biasa, sayang. Lagian alasan Mas enggak jauh-jauh dari kondisi Adek. Adek 'kan sedang hamil, cuma masa mengidamnya yang sudah lewat. Mas juga langsung tebus dengan membayar pesanan mereka. Iya 'kan?"

"Lain kali jangan begitu lagi, ah. Adek enggak enak mendengarnya, Mas. Adek enggak apa-apa kok misal Mas pulangnya telat tadi, 'kan sudah konfirmasi juga."

"Iya, sayang. Enggak-enggak lagi deh Mas melakukan ini, Mas janji sama Adek." Sudut-sudut bibir Jeon Jungkook merekah lebar usai istri tersayangnya itu mengangguk lamban. "Ibu dan ayah di mana, Dek? Gorengannya dipindah ke piring, sayang. Buruan dimakan mumpung lagi masih hangat."

"Mas bersih-bersih dulu, sana. Habis itu menyusul ke teras belakang, ya. Mau sirup dingin atau kopi? Adek buatkan sekalian."

"Sirup lebih segar kayaknya—esnya yang banyak, Dek."

"Iya, sayang."

"Aduh, hati Mas berdesir ini gara-gara Adek."

"Jangan mulai, deh! Mas kalau lama-lama mandinya, ini martabak Adek makan semuanya nanti."

"Enggak masalah, kok. Mas ya senang-senang saja istrinya nafsu makan. Paling Adek yang misuh-misuh. Mas, celana Adek enggak muat," kata Jungkook menirukan kalimat istrinya sambil masuk ke kamar mereka. Sementara, si empu yang disebutkan sekadar menggeleng-geleng maklum akan tingkah random sang suami.

-----

"Ya ampun, pisang gorengnya kenapa bisa seenak ini, ya?! Belinya di mana, Nak Jungkook?" Ibu Jinni tidak bisa memendam luapan kesenangannya terhadap penganan yang dia makan.

"Pinggir jalan, Bu. Di emperan taman kota. Di sana 'kan banyak gerobak dorong yang menjual berbagai jenis jajanan. Sore-sore begini ramai sekali warga yang berjalan-jalan, Bu. Lumayan buat bersantai bareng keluarga sambil icip-icip kudapan di sekitar."

"Wah, kapan-kapan boleh dong Ibu diajak ke sana, Nak Jungkook. Maksudnya kita semua."

"Boleh, Bu. Ibu bilang saja maunya kapan."

"Bu, bukannya kamu sering mampir di tempat-tempat seperti itu. Di dekat rumah kita sana 'kan juga ada. Malahan kamu sudah bolak-balik mendatanginya."

"Hush! Ayah di rumah saja kalau tidak mau ikut, biar ibu dan Jiji yang pergi." Pasangan muda memperhatikan mereka dalam raut gembira. Kagum atas keharmonisan di antara Ibu Jinni dan Appa Namu terjalin awet hingga keduanya beranjak tua.

"Mas, kemungkinan Christian-Oppa besok pagi sampai di bandara. Adek izin jemput, ya. Enggak sendirian, kok. Ayah ibu juga ikut."

"Mau Mas antar tidak?"

"Ehm, ya mau. Tapi, pekerjaan Mas di kantor bagaimana?"

"Aman, sayang. Masa sih Mas enggak bisa luangkan sedikit waktu buat keluarga?! Ke bandara cuma dua puluh menit. Kita juga masih punya waktu lebih buat sarapan bersama."

"Saya jadi sungkan, Nak Jungkook. Maaf, kita justru terus merepotkan ini."

"Sama sekali tidak merepotkan, Yah. Kita semua 'kan keluarga. Buat saya keluarga wajib lebih diutamakan."

"Saya sangat berterimakasih, Nak Jungkook. Betapa beruntungnya kami memiliki menantu seperti kamu."

"Malah saya yang rasanya kelewat beruntung memperistri Jiji."

"Mas, gombalannya direm. Jangan di depan ayah dan ibu juga!" Lalu, tiga lainnya kompak tertawa ringan. Sore itu dilalui mereka dengan suka cita berisi cerita-cerita mengenai kenangan di masa silam.

-----




Dek Jiji & Mas JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang