Pagi yang tampak sibuk di hari ini. Pukul sembilan tepat Jimin dan Moya baru saja kembali dari berbelanja bahan baku pembuatan kue. Seluruhnya diletakkan di permukaan meja untuk dirapikan ke tempat-tempat penyimpanan yang semestinya. "Kamar tamu di atas jadi kamu bersihkan?" Sembari menyortir barang-barang beliannya, Jimin pun bertanya.
"Sudah, Eonnie."
"Dua-duanya 'kan?"
"Saya juga mengubah tatanan barang-barangnya seperti pesan Eonnie."
"Iya, kamar yang itu rencananya untuk ditempati Christian Oppa. Dia menyukai hal-hal yang selaras dan serasi. Sikap perfeksionisnya terkadang bikin repot. Tetapi, di baliknya dia cukup tenang dan sangat menghargai usaha orang lain. Terima kasih ya, Moya. Akhir pekan aku kasih bonus."
"Tidak perlu, Eonnie. Apa yang Eonnie perintahkan memang merupakan bagian dari tugas saya."
"Jangan sungkan begitu. Kamu kerja sama aku hampir dua tahun 'kan? Seharusnya bisa lebih leluasa. Aku suka kepribadian dan cara kerjamu, Moya."
"Saya juga senang bekerja di sini, diperlakukan sangat baik. Eonnie tidak pernah marah-marah kepada saya. Dan saya selalu diberi makanan yang enak-enak."
"Astaga, Moya. Cuma dikasih makanan enak kamu sudah sesenang itu?"
"Habisnya apa lagi, Eonnie? Semua orang 'kan suka makanan enak."
"Benar juga, sih. Aku saja kalau dibawakan makanan sama mas Jungkook gembiranya minta ampun. Belakangan dia juga gemar jajan dan beberapa kali mengajakku hunting makanan."
"Rata-rata orang pasti pecinta kuliner, Eonnie."
"Sebentar, ada yang datang kayaknya." Serta merta Jimin memasang pendengaran selebar-lebarnya, memastikan bunyi barusan memang berasal dari bel di pintu.
"Biar saya yang melihatnya, Eonnie."
"Itu suara ibu 'kan?!" sahut Jimin seraya dia mengayun langkah menuju depan. Namun, masih tiga pijakan kaki dia berkata lagi, "Ibu, ayah! Kok enggak bilang-bilang dulu?!" Keterkejutan kentara terdengar pada nada suaranya.
"Loh, bukannya tempo hari sudah ibu beritahu?!" Jinni muncul disusul suaminya di belakang. Pria paruh baya bernama asli Park Namjoon itu mengibarkan senyuman terbaiknya. Semenjak menetap di Indonesia, orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Appa Namu.
"Maksud Jiji Ibu enggak konfirmasi waktunya. Kalau tahu datangnya jam segini, Jiji bisa prepare buat masak."
"Enggak usah. Mangkanya ibu enggak mau bilang, takut kamu malah sibuk. Ibu dan ayah sudah makan dari rumah. Ibu juga bawakan kue lapis dan pastel buat kalian." Jimin praktis semringah, mengingat dia amat menyukai kudapan apapun yang berjenis gorengan.
"Ibu bikin di rumah?" tanya si bumil cantik seraya mengambil bingkisan dari tangan ibunya.
"Pesan sama cici sebelah. Buka kateringan dia. Kebenaran lagi ada orderan beragam kue. Ya sekalian ibu minta dibuatkan."
"Ayah dicueki terus ini?!" Sejemang berselang appa Namu melipat lengan-lengannya ke dada, berlagak merajuk akibat Jimin tak menggubris dia sejak tadi. "Siapa yang kemarin titip kangen ke Ayah?" ucapnya jumawa.
"Maaf, Yah. Jiji masih kaget karena enggak dikabari." Alibi dia usai memeluk erat sang ayah. "Ayah kelihatan bugar, tidak ada keluhan medis 'kan, Yah?"
"Kamu tidak usah khawatir. Minggu lalu ibu dan ayah sudah pergi konsultasi ke rumah sakit. Kita berdua syukurnya dalam keadaan bersih. Dokter sekadar menyarankan agar tetap melanjutkan pola hidup sehat, termasuk untuk olahraga ringan."
"Contohnya, Bu?"
"Jalan keliling komplek juga cukup, Ji. Pagi-pagi sehabis minum teh, ibu dan ayah langsung keluar buat jalan santai. Maksimal satu jam. Habis dari situ kita baru sarapan."
"Pokoknya Jiji berharap Ayah sama Ibu selalu dalam keadaan sehat. Biar calon cucunya bisa diajak main nanti."
"Ya harus dong. Makanya sekarang Ibu mulai mencoba merutinkan saran-saran dokter. Kamu ingatkan juga ayahmu. Kadang-kadang masih keras kepala soal begadang. Cape Ibu menasihatinya, Ji."
"Duduk, Yah. Ayah mau berdiri sampai kapan?" celetuk Jimin ketika menyadari ayahnya tak jua kunjung ikut duduk seperti ibunya. "Jiji beli buah-buahan segar di pasar tradisional. Ayah ibu mau jus apa? Ada semangka, nanas, buah naga dan mangga. Jeruk juga ada ini."
"Banyak sekali belanja buahnya, Ji."
"Jiji sengaja, Bu. Selain kehamilan Jiji yang memang membutuhkan banyak vitamin, mas Jungkook juga belakangan senang minum jus."
"Bagus itu, membiasakan diri untuk mengonsumsi vitamin alami."
"Seperti kata ibu tadi. Meskipun kita masih muda, mas Jungkook bukan orang yang lalai terhadap kesehatan." Di kala ketiganya asyik bercakap-cakap, Moya sendiri memulakan aktivitasnya dalam menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak untuk hidangan makan siang.
"Ayah kepingin jus mangga deh, Ji." Dan Appa Namu memotong pembicaraan tersebut.
"Gulanya sedikit saja, Ji. Atau mending ditukar dengan madu." Justru ibu Jinni yang menyambung.
"Sebentar, Yah-Moya, tolong saya untuk memindahkan kue-kue yang dibawa ibu, ya." Sementara, Moya bergegas mengambil piring sebagai wadah kue pemberian ibu Jinni. "Ibu jus apa?"
"Nanas lebih segar sepertinya ya, Ji. Tapi, ya sudahlah mangga saja pun enggak apa-apa, supaya gampang."
"Tidak ada yang susah bikinnya, Bu. Nanas juga mudah." Perkataan Jimin bertepatan piring-piring kue mendarat di permukaan meja di hadapan ibu Jinni dan appa Namu.
"Untuk Jungkook sudah disimpan?" Ibu Jinni bertanya saat appa Namu memungut kue pastel dan dia nyaris memakannya andai tidak menangkap seruan sekian. Berakhir pastel tersebut melayang di depan mulutnya.
"Sudah, Ibu. Biarkan saja ayah memakan apa yang dia mau." Jimin tersenyum sambil menggeleng-geleng mendapati ayahnya masih menganga sambil memperhatikan dia. "Tidak apa-apa, Yah. Moya tahu apa yang perlu dia lakukan, ini jatah mas Jungkook," kata Jimin seraya mengangkat piring ceper berukuran sedang berisi pastel dan kue lapis. Barulah pastel tadi bisa dengan bebas dikunyah oleh appa Namu.
"Jungkook pulang jam berapa, Nak?" Appa Namu menuturkan selagi dia menikmati kudapan.
"Biasanya sore, Yah. Kecuali lagi banyak pekerjaan, bisa sampai hampir malam-dan kalau di kantor agak lenggang, dia pulang lebih awal.
"Cabang yang di Kalimantan sudah launching?"
"Belum, Yah." Sejenak suara blender meramaikan ruang makan yang menyatu dengan dapur tersebut. Jimin tengah menyiapkan jus mangga untuk sang ayah. "Dua bulan lagi bakal ke sana. Ada sedikit perubahan rencana. Bagian pemasaran diutus mas Jungkook buat survey lapangan, ke masyarakat langsung. Takutnya selera warga di sana berbeda dengan warga Jabodetabek."
"Semoga bisnis Jungkook makin berkembang di sini. Ayah ikut lega setelah tahu dia tidak pernah lagi mengajakmu pindah ke Seoul. Ibumu bisa menangis setiap malam gara-gara anak perempuannya pergi jauh."
"Kamu apa-apaan?! Jangan bicara seperti itu! Aku jadi enggak enak sama anak kita." Ibu Jinni menyambar, menampakkan pula raut masamnya kepada appa Namu.
"Bu, Jiji enggak apa-apa, kok. Lagian mas Jungkook memang tidak pernah lagi bicara soal balik ke Korea, kecuali buat mengunjungi orang tuanya di sana. Bisnis appa Jeon juga berkembang pesat. Mereka jadi enggak punya kesempatan buat datang ke Indonesia. Padahal ingin sekali katanya-gara-gara celotehan mas Jungkook tentang kuliner di sini, appa sama eomma Jeon penasaran."
"Ayah betah tinggal di sini juga itu salah satu alasannya. Masakan ibumu bertambah enak. Tetangga pun ramah-ramah, nyaman rasanya." Dua penggal kalimat jujur dari sanubari appa Namu. Jiwanya benar-benar sudah menyatu dengan unsur-unsur Indonesia.
"Dek, Mas pulang! Mas bawa baso Malang kesukaan Adek, ini." Tahu-tahu teriakan rendah Jungkook merebut atensi mereka semua. "Ayah, ibu, kapan tibanya?" Buru-buru dia mendekat guna memberi salam.
Halo, semoga kalian masih stay di book ini bersama dek Jiji dan mas Jungkook, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Jiji & Mas Jungkook
RomanceJimin yang manja selalu merasa bahwa suaminya tidak akan pernah menolak segala permintaan dia. Lagi pula, Jungkook punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa bisa berbuat kasar sekalipun sekadar penegasan. Lalu, Jimin yan...