Hari kedua, hari dimana Gama pertama kalinya tak ingin untuk membuka mata. Setelah rasa sedih semalam, dirinya begitu enggan untuk melakukan aktivitas selanjutnya.
Acara sarapan yang biasanya begitu menyenangkan, berbeda dengan hari ini yang begitu banyak aturan.
"Makan jangan bersuara."
"Alat makan tidak boleh menimbulkan suara sekecil apapun."
"Kalau minum tegukannya jangan sampai berbunyi."
Dan masih banyak lagi.
Anak itu tengah mengikuti kegiatan pemberian materi seperti kemarin, hanya saja materi kali ini ialah matematika.
Oh Tuhan, Gama rasanya ingin mati saja melihat seluruh kegiatan menyiksa pada asrama ini.
Entah mengapa sekolah sialan ini begitu banyak siswa. Manusia gila mana yang dengan senang hati memilih mendaftar disini. Gamavin tak habis pikir.
"Baik, materi kita tunda sampai jam makan siang selesai. Siswa diharapkan masuk lima menit sebelum waktu yang ditentukan. Terimakasih."
Sepeninggalan sosok Guru didepan altar, para siswa berbondong-bondong untuk mengisi perut mereka.
Lain dengan Gama yang memilih tetap pada posisinya, menelungkupkan kepala pada lipatan tangan.
Ah, Ia akan memilih mengistirahatkan tubuhnya yang sedikit tak nyaman. Mungkin ini efek karena kemarin Ia mandi pada malam hari.
Bahu kirinya bahkan masi terasa nyeri bekas hantaman bola kemarin. Memang bocah-bocah disini begitu sialan, sudah salah tapi tak ada rasa menyesal.
Dan tolong ingatkan Gama bahwa anak itu melewatkan makan siangnya.
Hingga tak terasa hari kedua dilewati begitu saja, Gamavin terlampau hafal dengan segala rundown yang dilakukan, meski baru sebentar Ia tinggal.
Yang menjadi pembeda ialah disore hari yang kemarin dilakukan olahraga santai, kali ini Gama tidak.
Dirinya meminta izin untuk istirahat, mengingat tubuhnya yang merasa tak nyaman. Beruntung sang kepala keamaanan menerimanya.
Alhasil anak itu sejak sore tadi sudah mendaratkan diri pada ranjang, dengan selimut yang hampir menutup seluruh tubuhnya.
■■■■■■■
Sosok dengan balutan jas formal, terlihat sibuk berkutat pada meja kebesaran. Berbagai kertas berserakan, sama halnya dengan perasaannya yang terasa kacau.Pagi ini tiba-tiba saja Ia rindu dengan sosok putra satu-satunya. Masih hari ke tiga, tapi rasanya bahkan seperti satu minggu terlewat.
Markus menghela nafas gusar, dokumen berceceran didepannya tak dapat mengalihkan atensi kerinduan pada sang putra.
Rasa kecewa akan perbuatan anak itu masih ada, akan tetapi tak ayal rasa rindu juga berlomba-lomba datang.
"Sudahlah, jemput putramu itu. Papa tau kamu sudah merindukannya." Herlambang yang sejak tadi berada pada sofa ruang kerja, akhirnya bersuara.
Sosok pria dua anak itu sangat paham dengan apa yang dirasakan Putranya.
"Cucuku itu juga pasti sangat tersiksa, Papa yakin anak itu kapok. Asrama yang begitu ditakuti banyak anak remaja, dan pasti putramu juga.
Kalau kangen bilang, jangan gengsi. Marahnya diganti, jangan yang berjauhan. Sudah tau kalau yang situ kangenan malah milih alternatif ini." omel sang Tuan Besar.
"Ingatlah bahwa Papa yang merekomendasikannya." tak terima Markus.
"Papa hanya merekomendasikan, lahh kamu nurut aja. Gak punya ide ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Gamavin and The Martin [END]
Novela JuvenilKeseharian yang mengalir bagaikan arus sungai, tiba-tiba saja terusik dengan kabar bahwa dirinya akan diadopsi oleh seorang DUDA KAYA RAYA. Keseharian yang seharusnya berjalan tanpa arah harus berubah dalam arahan seseorang, bahkan aturan sebuah kel...