21. Yeayy!!

7.9K 620 17
                                    

Pintu ruangan terbuka kasar, menampilkan presensi seorang pria dengan balutan jas putih memasuki ruangan.

Langkahnya tergesa dengan raut yang tidak mengenakkan. Terlihat dari cara berjalannya saja seperti akan memukuli sosok pada kursi kebesaran.

"Kalo masih punya otak dipakai. Ngurus perusahaan cabang dimana-mana bisa, tapi ngurus satu anak aja tolol. Niat besarin gak sih?!!"

Yang dimaksud sedikit berjengit tidak terima. Enak saja masuk ruangan dengan tidak sopan, eh malah mengumpatinya.

"Tiga hari Lo diemin Gama, sampe anaknya gak ada perkembangan sama sekali Lo gak nengokin?? masih waras gak!" hardik Ryan pada Markus.

Pria yang duduk pada meja kerjanya mulai paham dengan situasi yang terjadi.

"Aku hanya ingin membuatnya jera, mengertilah."

"Bikin jera gak gini caranya, dua hari di asrama sialan itu cukup, Kus! anakmu sampai sakit. Pikiranmu itu dibuka bajingan!" Ryan benar-benar murka.

Bagaimana bisa seorang putra sudah hampir tiga hari terbaring sakit, tapi Ayahnya tidak peduli. Manusia tolol mana jika bukan Markus.

Ryan kira setelah kembalinya Ia pada mansion semuanya telah baik-baik saja. Tapi nihil, anak laki-laki yang sudah Ia anggap seperti putranya itu masih terbaring lemah, bahkan raut pucatnya tak kunjung hilang.

"Tidak usah berlebihan, Aku memang berniat menyudahinya hari ini." ujar Markus enteng.

Ryan membuang nafas kasar, mau marah bagaimana lagi juga sahabatnya ini keras kepala. Tolong selamatkan Ryan.

"Awas saja kau!" Dokter itu dengan lancang meminum kopi pada meja Markus. Marah-marah memang membutuhkan banyak tenaga ternyata.

Bodoamat milik siapa, yang penting haus dulu.

"Kalau sampai lusa demamnya belum turun, segera hubungi Aku. Aku akan melakukan pemeriksaan menyeluruh, takut ada yang tak beres dengan tubuhnya."

Sepeninggalan Ryan setelah memberi petuah, entah mengapa hati Markus tergerak. Ucapan sang sahabat akan takut terjadi yang tak beres dalam diri Gama, membuat Markus tak ayal timbul kekhawatiran.

Langkah besar itu mulai meninggalkan ruangan, menuju pada tempat yang sejak kemarin berusaha Ia abaikan.

Masih pagi, putranya itu pasti sedang sarapan saat ini.

Ceklek

Salah, tebakan Markus kali ini salah.

Didepannya bukan pemandangan Gama tengah disuapi sarapan. Malah terlihat Bi Lastri yang sedang menggantikan plester penurun demam pada kening Gama.

Markus mendekat tanpa suara, memberikan titah agar meninggalkan dirinya dengan putranya sendirian.

"Den Gama ngigo terus sejak kemarin Tuan, demamnya juga beluk turun-turun. Disuapi cuman beberapa aja yang masuk, nangis terus." keluh Bi Lastri sendu.

"Biar Aku yang menangani kali ini, terimakasih banyak Bibi." mengingat wanita didepannya berumur tak jauh dengan Sang Ayah membuat Markus bertutur kata sopan.

Kini hanya ada Markus dan Gama yang tidur pada posisi membelakanginya. Tangan kanan anak itu terdapat infus, yang sejak tiga hari belakangan bertengger apik disana.

"Selamat Pagi Putra Ayah..." Markus mencoba membangunkan putranya. Mengucapkan kalimat rutinitas yang beberapa hari ini tak Ia lakukan.

"Bangun yuk, ada Ayah disini."

Markus perlahan merubah posisi Gama menjadi telentang, tepukan demi tepukan benar-benar tak menimbulkan pergerakan. Membuat Markus sedikit was-was akan keadaan sang Putra.

Gamavin and The Martin [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang