6. Cigarette

10K 638 6
                                    

Telah terhitung satu bulan sejak kedatangan Gama pada keluarga Martin, satu bulan itu tak bisa dideskripsikan semulus kapas.

Banyak sekali peristiwa kecil yang kerap kali anak itu lakukan. Bahkan saat pertama kali Gama mendapatkan omelan dari Markus, anak itu tak kapok.

Tak kurang-kurang Markus kerap mendapat laporan dari kepala sekolah, perihal kenakalan yang terus saja Gama lakulan. Anak itu masih tetap sering membolos di jam pelajaran, bahkan beberapa kali Gama suka membuat anak perempuan menangis karena kesal dijahilinya.

Markus cukup geram dengan sikap Gama, tapi sang Ayah—Herlambang mengatakan untuk menasehati saja kenakalan Gama itu.

Masih anak dalam masa pubertas, wajar saja. Begitu kata Herlambang.

Setiap laporan yang diterima, selalu saja helaan nafas yang Markus lakukan. Mengurus Gama lebih susah daripada melatih para karyawannya.

Yang dibicarakan sejak tadi, sekarang malah tengah bersiap rapi. Gama, anak itu terlihat siap pergi dengan balutan hoodie hangat dan celana jeans ketat.

Dirinya melangkah lebar, mendekat pada ruang keluarga yang terdapat Ayah dan Granpanya disana. Keduanya tampak tengah membicarakan sesuatu yang penting, terlihat dari raut yang ditampilkan.

"Ayah, Gama mau keluar nongkrong." pamitnya pada Markus.

"Tidak, sudah malam." jawab singkat.

"Yaela, cowok mah gak ada jam malamnya Yah." protes Gama.

"Disini tidak memandang gender, pukul delapan sudah masuk malam. Gerbang sudah tertutup." sahut Herlambang tegas.

Memang pada kediamannya jika mencapai pukul delapan malam tidak ada lagi aktivitas diluar mansion, bahkan jika terpaksapun harus diikuti oleh beberapa bodyguard.

Meski keluarga Martin bukanlah keluarga Mafia yang perlu dijaga ketat, tetapi pemikiran Sang Tetua– Herlambang tetap lebih baik dijaga daripada tidak siaga.

"Uncle Orion dimana tuh? gak ada kan. Pasti juga lagi nongkrong dilu-" elaknya.

"Diatas, sedang tidur. Kelelahan." potong Markus.

"Daripada nongkrong lebih baik belajarlah, dan setelah itu pergilah tidur." nasihat Markus yang melihat raut Gama menahan kesal.

"Ck Ayah sama Granpa gak asik! SEMUANYA GAK BOLEH." kesal Gama dengan melangkah pergi dengan kaki yang dihentak-hentakkan.

"Memang remaja pubertas sangat sulit diberi nasihat." ucap Markus dengan menggelengkan kepalanya.

"Kau dulu juga seperti itu, apalagi sering membuat Orion menangis. Rasanya Papa ingin membunuhmu saja." timpal Herlambang.

■■■■■■■

Ceklek

Bunyi pintu terdengar, derap langkah seseorang seperti mendekat. Berjalan perlahan mendekati ranjang.

Markus, pria satu anak itu mendekat kearah tempat tidur didepannya. Disana terlihat Gama tengah bergelung nikmat dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.

"Selamat malam Putra Ayah." ujar Markus lembut dengan menambahkan kecupan pada kening Gama.

Beberapa usapan Markus berikan pada surai Gama, hingga perasaan tenang Ia dapatkan. Setelahnya melesat pergi meninggalkan ruangan.

Mendengar pintu tertutup, netra yang semula terpejam kini terbuka lebar. Bangkit dari acara pura-pura tidurnya, dan secepat kilat Gama membalut piyama dengan hoodie hitam. Bahkan anak itu tak sekedar mengganti pakaiannya.

Gama berjalan mengendap-endap, Ia sengaja menggunakan tangga agar suara lift bekerja tak membuatnya ketahuan.

Melewati pintu belakang yang ada pada dapur mansion, menengok kesana-kemari memastikan bahwa Bi Lastri tak akan mempergokinya.

Usaha yang Gama lewati benar-benar membuahkan hasil, dirinya sekarang berdiri pada jalanan gelap dan sepi.

Dirinya memang sukses melewati penjagaan, itu karena Ia telah mengamati pada jam berapa pergantian shift para Bodyguard keluarga Martin. Dan itu pukul 10 malam.

Gama berjalan dengan riang, meski suasana gelap dan sepi disekitarnya, tapi tak membuat anak itu takut. Momen kabur ini memang telah ditunggunya.

Beberapa waktu Gama habiskan menjauhi mansion, sekarang Ia sampai pada minimarket pada dekat komplek perumahannya.

Berdiri didepan etalase minuman, memikirkan pilihan apa yang akan Ia minum sebagai teman merokoknya malam ini.

Netranya bergulir hingga bergenti pada kaleng minuman berkafein, dibayarnya satu kotak rokok dengan minuman itu. Setelahnya Ia memilih duduk pada kursi yang tersedia didepan minimarket.

Sedikit lagi Gama akan menikmati nikotan pada sela jari-jarinya, sebuah tangan tiba-tiba mencekal.

Anak itu lantas menoleh, betapa terkejutnya Ia melihat sosok Markus tengah menatap dingin nan tajam padanya.

Nyali Gama tiba-tiba menciut, apalagi melihat sekelilingnya bahwa Ayahnta itu tak sendirian.

"Eh....." ujar Gama kikuk.

"Pulang."

"I-iya.." Gama bernjak dari duduknya, tak lupa anak itu membawa barang pembeliannya.

"Apakah Ayah menyuruhmu membawanya Gamavin?" tegur Markus tajam.

Gama yang mendengar namanya disebut secara lengkap membuat nyalinya kian menciut. Segera dirinya memasuki mobil diikuti Markus dibelakangnya.

"Pura-pura tertidur, kabur dari mansion diam-diam, menggunakan pakaian tipis, kurang nakal apalagi kamu Gamavin Alessandro Martin?" cecar Markus pada kursi penumpang.

"Tt-tadi udah tidur, terus kebangun Yah."

"Lalu memilih keluyuran malam hari? merokok? jawaban mana yang selanjutnya kamu pilih."

"Tt-tadi gak ada niatan ngerokok kok, ini dikasih orang didepan sana." tunjuknya dengan gagu.

"Oh benarkah? bahkan nota pembelianmu masih ada pada meja tadi. Perlu kita putar balik dan melihatnya?" sarkas Markus geram. Dirinya begitu kesal dengan Gama yang terus saja mengelak.

"Ck! Iya! Gama yang beli!" putus Gama yang merasa terpojok.

"Sampai dirumah, kamu tidur dengan Ayah."

"GAK MAU! Ayah apaan sih, Gama udah gede." seru Gama tak terima.

"Itu adalah salah satu pengampunan dari Ayah, masih beruntung Ayah tak menyita semua fasilitasmu."

"Cih, ngancemman."

Gama yang kepalang kesal memilih diam, dirinya sudah ketahuan, tak ada kesempatan lagi untuk mencari pembelaan diri.

Biarkahlah sementara waktu Ia merelakan tubuhnya tidur bersama duda disebelahnya. Itung-itung berbakti.

Lain dengan Gama yang merutuk nasib, berbeda dengan Markus yang malah tersenyum puas.

Momen tidur bersama Gama memang telah ditunggu-tunggu olehnya sejak lama, apalagi anak itu yang sering sekali menolak afeksi yang Markus berikan. Ah, membayangkannya membuat Markus tersenyum senang.

————————————————————


TBC

Gamavin and The Martin [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang