01. TULISAN PERTAMA

2.3K 108 1
                                    

Cast:

Park Jongseong: Jagadhita

Yang Jungwon: Owen

Park Sunghoon: Abishekaa

Kim Sunoo: Yasa

Lee Heeseung: Mada

Jake Shim: Batara

Ni-ki: Panca


Happy reading!

Kudanya terus meringik, menandakan ada sesuatu yang akan datang. Pemiliknya menajamkan indera nya, mengelus kudanya bertujuan menenangkan dalam perjalanan pulangnya menuju tanah kemakmuran Cayapata.

"Panglima, biarkan aku berjaga di belakangmu." Manik mata segelap mutiara hitam itu menajam, rahangnya mengeras namun tak terlihat amarah di dalamnya.

"Tidak, Panca. Kau berjaga di depan. Aku dan Mada akan beriringan."

"Baik." Pecutan kudanya berhasil kembali dijalankan, tetap waspada dalam hutan belantara perbatasan.

Tugasnya telah selesai, menjaga perbatasan selatan selama 3 bulan. Bakti kepada sang Raja yang tak pernah pudar pada seorang panglima perang Jagadhita.

"Jagad, ku dengar kerajaan akan mengadakan pesta untuk putra mahkota."

"Ya, aku mendengarnya. Satu minggu yang akan datang."

"Menurutmu, apakah putra bungsu akan membuat kekacauan kembali?" Jagad menghentikan kudanya barang sekejap, diikuti Mada yang menarik pecutan kuda pelan agar ikut berhenti.

"Putra bungsu tak pernah membuat kekacauan, Mada. Ia hanya penasaran." Dan setelahnya Jagad meninggalkan Mada yang berfikir keras di belakangnya.

"Apakah berbeda?"

***

Nabastala seolah ikut menyambut panglimanya, anak emas dari penguasa Tanah Cayapata. Sorakan, bunyi drum dipukul seirama, tarian selamat datang menyambut panglima dan prajurit-prajuritnya.

Seperti namanya, Tanah Cayapata malam ini bertaburan bintang-bintang. Romansa dama begitu kental. Sang Raja dan permaisurinya menanti dengan rasa dama kebanggaan.

"Putraku telah tiba, selamat datang kembali di Tanah Keagungan Cayapata." Erat dekap dirasakan Jagadhita. Membalas dekapan sang penguasa Tanah Cayapata.

"Terimakasih sudah kembali dengan selamat, Panglima." Senyum tulus anindhita terukir di wajah elok nan manis pendamping sang raja.

"Atas doa dari mu Yang Mulia, dan baktiku kepada Tanah Cayapata."

"Jagad, selamat datang." Dekapan kembali Jagad dapatkan dari calon penerus penguasa Tanah Cayapata, sahabatnya sekaligus Putra Mahkota Cayapata.

"Putra Mahkota." Dibalas dengan sedemikian rupa, Putra Mahkotanya tak menyukainya.

"Sudah ku bilang, aku tak suka kau panggil seperti itu." Jagad tampilkan senyuman semanis madu nya, tak peduli bagaimana masa lalunya yang indah bersama sang sahabat. Gelar tetaplah gelar, dirinya berada di bawah kekuasaan Putra Mahkota.

"Sudah ku bilang juga Putra Mahkota, aku akan tetap memanggilmu seperti itu." Kekehan keduanya menguar, menciptakan romansa hangat berkedok penyambutan selamat datang.

Si kecil di belakang terlihat ingin mengetahui apa yang dilakukan Kakak dan Panglimanya, mencebik sebal ketika tak mendapati informasi satu pun.

Menarik pelan busana sang Ibunda, si kecil nampaknya tak bisa melihat apapun di balik tubuh ibundanya.

"Iya, Owen?" Merasakan busana nya yang tertarik pelan, dengan lembut Sang Ratu bertanya kepada pangeran bungsunya.

"Bolehkah aku menyambut panglima, Ibunda?" Suaranya kecil, hampir tak terdengar. Dimple nya terlihat, sangat dalam sekali membuat Sang Ratu tersenyum gemas.

"Tentu." Menyerobot sang kakak, sekarang Owen tengah berada di antara Putra Mahkota dan Panglimanya. Menampilkan senyum berdimple, tak merasa salah akan perbuatannya yang mendadak. Berbeda dengan Sang Raja yang kebingungan, pendampingnya malah tersenyum manis seolah sudah hafal dengan bungsunya.

"Selamat datang Panglima, aku Owen. Adiknya Putra Mahkota, putra bungsu Raja dan Ratu." Kepalanya mendongak, tangannya terulur untuk menjabat tangan Sang Panglima. Perbedaan tinggi tubuh keduanya membuat siapapun merasa gemas, wajah polos dengan netra berbinar itu menatap Sang Panglima antusias.

Sedikit terkejut dari Jagad maupun Mada dan Panca. Tumben sekali si bungsu ikut memeriahkan acara penyambutan ini, biasanya ia akan senang berdiam diri di kamarnya.

"Jagadhita, panglima tempur Tanah Cayapata Pangeran Owen." Senyuman Owen semakin melebar ketika tangannya disambut dengan hangat oleh Sang Panglima. Belum sempat dilepaskan, kepalanya menoleh ke arah Sang Ibunda seolah mengatakan 'Lihatlah, aku punya teman baru.'

***

Tanah ini bagai lembah hijau sedikit jauh dari hutan belantara. Tanah yang makmur dengan penguasanya yang bijaksana nan adil. Keluarga kerajaan yang hangat nan harmonis tetapi menyimpan sedikit luka untuk si kecil.

Bermain ayunan tidaklah buruk untuk saat ini, si kecil Owen mengetukkan jarinya pada dagu indahnya. Entah apa yang pangeran bungsu lakukan, tapi yang jelas apa pun yang dilakukan pangeran bungsu adalah simbol keindahan.

"Harus kemana kah aku? Yang lain sedang berpesta, aku tak suka." Monolognya, matanya bak bintang berkilau. Tatapannya bak seekor anak kucing yang meminta perlindungan.

"Disini rupanya kau adik kecil." Derap langkah penuh kehati-hatian itu mendekati Owen, dilihat kakak iparnya yang berjalan mendekatinya dengan tangan mengelus perut buncitnya.

"Kakak ipar Yasa, tidak ikut berpesta?" Permaisuri dari Putra Mahkota itu hanya tersenyum manis dan menggeleng. Bak pinang dibelah dua, ketika Yasa dan Owen bersanding siapapun pasti mengira keduanya adalah anak kembar.

Perbedaan umur yang terpaut satu tahun itu membuat mereka semakin mirip. Tingkahnya, rupanya begitu persis. Hanya saja, keduanya bernasib berbeda. Owen yang merupakan keturunan kerajaan dengan segala kemewahannya di istana, dan Yasa yang hanya putra semata wayang dari tabib desa sederhana membuat perbedaan yang cukup signifikan.

"Dimana Kakak Putra Mahkota?" Owen mendekati Yasa, dan seperti biasanya ia akan menyapa calon keponakan kecilya.

"Yang Mulia sedang menyambut para tamu bersama keluarga kerajaan yang lain, Owen." Elusan lembut Owen di perutnya selalu membuat Yasa bahagia, terlahir sebagai putra tunggal membuat Yasa lebih banyak menghabiskan waktunya untuk sendiri dengan membaca buku-buku pengobatan dan meracik obat mengikuti sang ayah.

"Berapa bulan lagi keponakan kecilku akan lahir?"

"Masih 5 bulan lagi, Owen." Owen yang mendengarnya menghembuskan nafasnya pelan, 5 bulan itu sangat lama baginya.

"Jika kau merasa 5 bulan lama, bukankah harusnya kau menikah dan memiliki keturunan sendiri Owen?" Owen mendelik, tak setuju dengan gurauan kakak iparnya.

"Tidak, aku masih kecil kakak ipar." Bibirnya mencebik lucu, gelak tawa dari sang permaisuri putra mahkota menjadi latar dalam dunia yang mereka berdua ciptakan.

HALSTEAD; JAYWONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang