PROLOG

382 66 340
                                    

Aku menahan sedikit nyeri di kaki, terduduk beralaskan tanah berumput tebal yang ditumbuhi ilalang. Menatap Basuma penuh takjub setelah apa yang dia lakukan kepadaku beberapa menit yang lalu, rasanya seperti mimpi dan aku tidak ingin mimpiku berakhir malam ini.

Masih menatap wajahnya yang bersinar ditempa cahaya rembulan, memperlihatkan seraut tampan yang dipenuhi peluh keringat membasahi sebagian lekuk berahang tegas itu hingga dagu.

Napasnya terdengar menderu tak beraturan, kupikir detak jantungnya pun demikian. Dan di tengah kesunyian malam seperti ini suara desahan napas itu semakin terdengar begitu jelas. Dia mengusap keringat di wajahnya dengan lengan hingga langsung terserap oleh kain tebal jaket yang dia kenakan dalam kondisi ritsleting terbuka.

"Hei, apa yang kamu lakukan Bas?" Mataku menatap tidak percaya.

"Nggak apa, kan cuma dikit."

"Kamu nggak takut kena masalah?"

Basuma hanya menggeleng dan tersenyum, wajahnya tampak sangat puas. Dan kulihat dia masih berusaha mengatur napas.

"Kamu sering ngelakuin ini?" tanyaku penasaran.

"Nggak!!" jawabnya tegas, "Ini baru yang pertama kali, dan cuma kamu yang tahu."

"Oh ya?" Aku mendengus tidak percaya sambil menurunkan bagian bawah celana panjang yang sempat ditarik ke atas hingga betis oleh Basuma tadi--beberapa menit yang lalu.

"Selama kamu diam, nggk akan ada yang tahu."

"Tapi ini nggak boleh Bas, dosa. Kamu sama saja merusak a--"

"Ssssttt !!" Basuma menarik lenganku pelan, menaruh tangkai sepanjang 10 cm dengan kelopak-kelopak kecil bergerombol warna broken white yang mengering kecoklatan di atas telapak tanganku. "Kalau ini dosa, berarti kita tanggung dosa ini berdua."

"Nggak mau."

"Anggap saja dosa terindah." Basuma terkekeh sebentar lalu berdiri, memasukkan tangkai yang sama seperti yang dia berikan padaku ke dalam saku jaketnya bagian dalam.

"Aku takut Bas." Kutatap pemberian Basuma yang masih utuh di telapak tangan kiriku.

"Simpan di jaket, dan diam. Semua pasti aman." Kuikuti sarannya dengan sedikit keraguan. Memasukkan tangkai kering itu kedalam saku jaket.

"Bismillah," gumamku lirih berharap tidak akan terjadi masalah dengan ini.

"Gimana, sekarang kamu dah siap turun?" Basuma mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Kugerakkan kakiku sebentar, terasa lebih baik daripada 15 menit yang lalu.

"InsyaAlloh siap." Aku pun berdiri dengan bantuan tarikan tangan Basuma yang begitu bertenaga.

Setelah memeriksa tempat sekitar, merasa tidak ada barang yang tertinggal kecuali secuil kenangan, kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan tas di punggung yang terasa begitu berat, aku melangkah perlahan mengekor di belakang Basuma berjarak 1 meter.

Suhu udara yang semakin dingin membuat tubuhku menggigil, karena jaket tebal yang kuperkirakan bisa menyalurkan kehangatan ternyata tetap saja tidak mampu melawan embusan angin malam yang membekukan tulang.

Basuma kembali menghisap rokoknya, entah ini batang yang ke berapa. Kami hanya terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing yang mengembara melewati batas galaxy Bima Sakti.

"Kamu menyukai kembang Senduro?" pertanyaan sederhanaku mampu membuat Basuma menghentikan langkahnya, menengok ke belakang menatapku.

"Apa?" Dia menanyakan lagi. Apakah suaraku tadi tidak begitu jelas di telinganya? Atau mungkin dia sedang melamun menikmati sebatang rokoknya?

"Apa kamu menyukai Kembang Senduro?"

*****

KEMBANG SENDUROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang