EPILOG

39 7 15
                                    

Kubuka pintu pagar besi yang tidak terkunci, memasukkan sepeda motor matic kedalam halaman.

"Mamaaaaaa.... ," teriak Edelweiss menyambutku, berlarian kecil menerjangku untuk memberikan pelukan.

 ," teriak Edelweiss menyambutku, berlarian kecil menerjangku untuk memberikan pelukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

EDELWEISS

"Hai sayang... Mmmuach.. Mmmuach.. Mmmuach... Mama kangen banget," kuangkat anakku dalam gendongan dan menghujaminya ciuman bertubi-tubi.

"Edel juga kangen, Mama perginya lama banget," Anakku merajuk menampakkan bibirnya yang mengerucut.

"Maaf, nanti Mama beliin es krim deh." Aku berusaha menjilat supaya Edelweiss tidak cemberut lagi.

"Tadi Edel dah dibeliin es krim sama temennya Om Wira, ada rasa coklat, vanila sama strawberry." Edelweiss bercerita dengan antusias.

"Wiiih banyak banget, emangnya Edel bisa habisin es krim sebanyak itu ?" tanyaku merespon positif pada ceritanya.

"Enggak, hehehe..." Anakku terkekeh pelan. "Tadi Edel bagi juga buat Mbah Kung sama Mbah Uti."

Kembali aku menghujami Edelweiss dengan ciuman membuat dia merasa geli dan risih hingga minta turun dari gendongan.

Aku menatap sekilas pada sepeda motor RGR warna kuning yang terparkir di depan teras. Teringat pada ucapan Edelweiss bahwa dia dibelikan es krim oleh temannya Wira, aku berpikir jangan-jangan yang dimaksud Edel itu adalah mbak Wulan. Aku ingin sekali bertemu dengan calon kakak iparku, karena selama ini kami hanya berhubungan ngobrol melalui gawai.

"Temannya Om Wira masih ada di dalam kan ?" tanyaku pada Edelweiss.

"Ada, dia nungguin Om Wira yang lagi mandi. Kalau Mbah Kung sama Mbah Uti baru bobok capek jalan-jalan sama Edel."

Mendengar penjelasan Edelweiss aku mengulas senyum bahagia, akhirnya aku bisa bertemu juga dengan mbak Wulan.

Segera kulangkahkan kaki berlarian kecil menuju pintu depan. Tak kuhiraukan lagi Edelweiss yang mengekor di belakang dengan langkah-langkah mungil. Aku terlalu bersemangat, rasa bahagia membuncah di dalam hati.

Aku membayangkan bertemu dengan sosok Mbak Wulan yang cantik, anggun, dewasa dan keibuan. Selama ini aku hanya bisa mendengar suaranya saja, sangat lembut dan bersahaja. Aku tidak sabar lagi untuk bertemu, karena Wira sudah menyempatkan diri mengajak Mbak Wulan ke Jogja di tengah kesibukan mereka bekerja.

Saat bertemu nanti aku akan menjabat tangannya, memberikan pelukan hangat dan bercerita banyak hal. Mungkin juga besok bisa mengajaknya jalan-jalan ke mall. Rencana hebat yang spontan aku bangun dalam khayalan semata.

"Assalamu'alaikum !" teriakku memberi salam saat mendorong kasar pintu depan yang terbuka sebagian.

"Mbak Wu--"

Suaraku tercekat, begitu juga dengan langkahku yang mengharuskan segera berhenti di tempat. Degup jantung tak terkendali disertai nafas tersengal memperburuk reaksiku kala itu.

KEMBANG SENDUROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang