BAB 12 ANDRE TANAMA

86 28 145
                                    


--Mungkin salahku melewatkanmu, tak mencarimu sepenuh hati hingga kau kini dengan yang lain.--




Baru kemarin dia memporak-porandakan hatiku dengan kecemburuan, dan hari ini dia memberiku jalan untuk kembali mengharap sesuatu yang nantinya akan meluluh-lantakkan hatiku sekali lagi.

"Ayo buruan naik," ajak Basuma untuk yang kesekian kalinya.

"Aku bonceng kamu?" tanyaku meyakinkan diri padanya.

"Iya aku boncengin gratis, kamu mau ke puskesmas buat nyari Surat Keterangan Dokter (SKD) kan?"

"Iya sih, tapi Andra tadi udah janji mau boncengin aku." Sebuah penolakan halus bertentangan dengan hatiku yang sejujurnya ingin sekali duduk diatas Grand Astrea itu.

"Aku barusan lewat basecamp SHC (Student Hiking Club).... aku lihat Andra lagi sibuk briefing sama pengurus inti dan para alumni." Informasi dari Basuma kudengar tanpa kebohongan.

"Terus?" Entah pertanyaan itu kutujukan pada Basuma atau padaku sendiri.

"Ya terus kamu bonceng aku aja, aku yakin briefing-nya pasti lama."

"Tapi---"

"Udah deh, ayo buruan naik nanti Andra biar nyusul ke puskesmas."

Aku masih berpikir sejenak, tetap menunggu Andra ataukah menerima tawaran Basuma.

Jangan tanyakan hatiku, dia pasti akan menjawab 'Buruan naik, kapan lagi coba kamu bisa boncengan sama Basuma.'

Beda lagi jika nalarku yang berbicara 'Jangan naik, tetap tunggu Andra saja. Kamu mau terluka untuk kedua kalinya karena pesonanya yang penuh dusta?'

Kulihat sekeliling, belasan motor tampak berbaris acak dengan pasangan masing-masing saling berboncengan. Sepertinya mereka sudah siap meluncur tinggal menunggu satu komando jalan.

Matahari Faransahat sang ketua SHC (Student Hiking Club) tidak kulihat diantara barisan, mungkin dia ikut briefing seperti yang Basuma sampaikan barusan.

"Yuk buruan naik, dah mau berangkat tuh !" Sekali lagi Basuma memaksaku.

Mengambil napas panjang, kulangkahkan kaki mendekat perlahan menempatkan diri di belakang Basuma duduk dengan posisi menyamping karena rok pendek yang aku kenakan.

Biasanya tanganku spontan memegang pinggang di depan, milik Wira. Tapi sekarang di depanku duduk seorang lelaki pujaan hati yang membuatku canggung dan tak enak hati.

Mirip sebuah kampanye, kami perlahan berangkat menyerupai arak-arakan konvoi.

Bagi beberapa pengendara yang kami jumpai, mungkin terbersit kecurigaan bahwa kami akan tawuran di sebuah lokasi.

Jalanan yang kami jadikan rute bukanlah jalan raya utama, melainkan aspal arteri bahkan jalur perkampungan sempit pun tak lepas kami susuri karena sebagian besar dari kami tak melengkapi helm Alat Pelindung Diri, termasuk aku. Tujuan kami tentunya menghindar dari incaran pak Polisi dan biaya penalti.

Sebuah bangunan dua lantai bercat hijau dengan papan besar bertuliskan Puskesmas Jetis menjadi sebuah tempat pemberhentian, dan kami pun antri memasuki ruangan yang tampak penuh sesak atas kehadiran kami yang datang bersama secara serempak.

Aku mendapat giliran pertama karena gender perempuan selalu diprioritaskan di awal.

"Mau kemana lagi dek?" tanya seorang perawat magang yang sudah hafal dengan rutinitas kami berkunjung ke puskesmas ini.

KEMBANG SENDUROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang