40. Ziva dan Cheryl

11.4K 576 1
                                    

Ziva berjalan menuruni anak tangga pagi itu. Dia berniat mencari Sagara. Biasanya di pagi hari dia pulang, meski ia dan Sagara tak saling menyapa. Namun, dengan melihat wajah suaminya saja, rasa rindu Ziva terobati walaupun hanya sedikit.

Tapi saat sudah di lantai bawah, Ziva tidak menemukan Sagara dimana pun. Apa sekarang cowok itu tidak akan pulang di pagi hari juga? Jika ia, bagaimana nanti Ziva bisa memastikan keadaan Sagara baik-baik saja atau tidak? Ziva tersenyum kecut seraya terus berdiri di depan teras rumah. Berharap Sagara pulang. Mungkin ia bangun terlalu pagi makanya Sagara belum datang. Itulah yang ia tanamkan dalam hati.

Dia terus membohongi diri sendiri dengan cara meyakinkan hatinya bahwa Sagara akan pulang tapi sudah hampir tiga jam ia di sana, Sagara tak kunjung datang juga. Ziva mendongak dengan tatapan sendu, menatap matahari yang kini sudah berhasil meraih langitnya.

Ziva lantas tersenyum sedih, apa ia bisa seperti matahari juga? Tapi Ziva sadar kalau dia hanyalah sebuah badai yang membawa bencana untuk hati Sagara.

Menghela napas, Ziva memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Menunggu Sagara di sana. Berharap hari ini ada keajaiban: Sagara mau menerimanya. Ia terdiam lalu tertawa sumbang. Cheryl berharap mengalahkan Ziva yang jelas-jelas sudah jadi pemenang di hati Sagara? Mimpi saja sepertinya.

Pagi ini untuk yang kesekian kali, ia sarapan sendirian lagi. Andai saja ia punya mesin waktu Doraemon, ia akan memutar ke waktu saat hubungannya dengan Sagara baik-baik saja. Ziva berdecak pelan kala sadar bahwa itu hanyalah hal yang mustahil. Tidak ingin semakin halu, ia memutuskan untuk membuat sarapan.

Namun, langkahnya harus terhenti. Ziva membulatkan matanya. Ia mengusak matanya untuk memastikan ia salah lihat atau tidak. Tapi mau berapa kali pun Ziva mengusak matanya, seorang perempuan yang duduk di sofa ruang tamu itu tidak juga menghilang dari pandangannya.

"Ini pagi lho. Masa iya ada setan?" kata Ziva lirih. "Tapi kayaknya iya deh." Ziva masih berdiri di tempatnya sambil terus memindai penampilan wanita itu. Rambut panjang dan hitam lebat menutupi wajahnya. Baju putih seperti gaun tidur panjang.

"Mbak Kunti nggak sih?" tanya Ziva pada dirinya sendiri. Dia sebenarnya tidak takut. Tapi dia sedih menerima fakta kalau, selama tinggal disini sendirian, ternyata ia di temani oleh sosok itu.

Ziva tersentak sambil memegang dadanya kala perempuan itu mendongak lalu menatap kearahnya. Yang lebih mengejutkan lagi, wajah perempuan itu sama persis dengan wajah Ziva tapi lebih pucat.

"Lah, gue?!" Ziva refleks menunjuk dirinya sendiri. "Lo gue?!" Ziva mendadak blank karena sekarang dia seolah-olah sedang bercermin. Namun, bayangan cermin itu bergerak menghampirinya.

"Aku Ziva."

"Ya lo Ziv--HAH?!" Ziva memperhatikan wajah nya sekali lagi. Wajahnya memang sama persis seperti Ziva. Ia lantas membekap mulutnya dengan ekspresi shock. Apa jangan-jangan dia Ziva Kanaya?

"Lo ... Ziva asli? Ziva Kanaya?!"

Perempuan itu mengangguk membuat Ziva semakin merasa shock. Seluruh kakinya mendadak terasa lemas seperti habis di presto. Apa sudah waktunya dia pergi dari dunia khayalan ini karena Ziva asli sudah datang untuk mengambil alih tubuhnya kembali?

"Udah waktunya, ya?" tanya Ziva dengan suara lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Jujur dia merasa tak rela. Dia tidak ingin pergi dari sini.

Dia mengangguk. "Udah waktunya aku kasih tau kamu sesuatu."

"Hm?" Ziva mengerutkan keningnya bingung.

(Switch nama dulu.)

Ziva melangkah mendekati Cheryl. "Kamu itu sebenernya ... Aku."

Figuran WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang