Suasana sepi di malam itu, seolah merayakan kesedihan Ziva. Ia duduk, memandang Sagara yang masih berbaring tak berdaya dengan sendu. Jika bisa memilih, Ziva lebih baik melihat Sagara baik-baik saja walaupun ia hanya mampu menatapnya dari jauh, daripada ia bisa sedekat ini dengan Sagara tapi keadaan cowok itu jauh dari kata baik. Rasanya lebih menyakitkan dari apapun.
Tangannya terangkat, mengelus lembut luka yang hampir mengering di tulang pipi Sagara. Ya, walaupun harus dengan cara seperti ini, tidak bisa dipungkiri kalau Ziva merasa senang bisa berada di dekat cowok itu lagi.
"Kamu jangan lama-lama tidurnya," Ziva menatap tepat di mata Sagara yang tertutup, seolah tengah bertatapan langsung dengan mata sekelam langit malam yang selalu membuatnya berdebar hanya dengan memandangnya saja. Tangannya belum berhenti mengelus. "Kasian Bunda sama Syakira, khawatir sama kamu."
"Kalau aku, aku kangen sama kamu. Ah, nggak, baby juga kangen sama Papanya. Kemarin dia buat ulah, mungkin ikut khawatir sama kondisi kamu."
Ia menghela napas. "Semoga pas kamu bangun, kamu mau ketemu aku ya? Aku tau ini terkesan nggak tau malu, tapi aku nggak tau gimana jadinya kalau kamu benci aku atau nggak mau ketemu aku lagi. You're my first love, you're my home, kalau kamu ngusir aku, aku nggak yakin bisa dapat rumah yang mau nerima aku sebaik kamu. Aku mau selamanya sama kamu,"
Ziva menunduk. Ia merasa cinta nya untuk Sagara sudah sangat besar sampai mengalahkan segala rasa sakit yang Sagara berikan untuknya. Sakitnya akan terasa lebih jika sampai benar Sagara meninggalkannya. Sekalipun ia yang terpaksa pergi, ia mungkin akan terus mencari Sagara dalam diri orang lain yang datang padanya di masa depan.
Ia meraih lengan Sagara yang bebas dari infus kemudian menggenggamnya, mengecupnya beberapa kali lalu menempelkannya di dahi seraya memejamkan mata.
"Aku sayang kamu," Perempuan itu lantas terdiam.
Kata-kata itu selalu Ziva ucapkan setiap saat pada Sagara. Saking seringnya, bahkan Sagara selalu menagih jika Ziva sehari saja lupa tidak menyatakan perasaannya pada Sagara. Semua yang berhubungan dengan Sagara sangat sulit di lupakan untuknya, sekaligus terasa menyakitkan jika teringat ia sendiri pun tidak tahu bisa melakukannya lagi atau tidak kedepannya.
Tanpa melepaskan genggaman tangannya di lengan Sagara, perempuan itu melungkupkan kepalanya di sisi cowok itu. Malam itu, Ziva kembali tertidur dengan Sagara yang masih betah menutup matanya. Berharap besok semuanya membaik, sekalipun hubungan nya dengan Sagara.
Paginya, Arumi membuka pintu ruang inap Sagara. Ia tersenyum tipis melihat kedua anaknya itu tetap tertidur bersama bahkan di keadaan seperti ini.
Arumi berjalan kearah Ziva yang masih tertidur pulas di sisi Sagara. Ia jadi tidak tega membiarkan Ziva tidur semalaman dengan posisi duduk seperti itu. Namun, saat semalam Arumi membangunkannya dan menyuruhnya untuk pulang, Ziva menolak keras dengan alasan tidak akan bisa tidur nyenyak.
Karena memang faktanya, dia tidak bisa tidur nyenyak dan nyaman jika tidak bersama Sagara. Terbukti, mau bagaimanapun posisi tidurnya, Ziva bisa tidur pulas asal ada Sagara di sisinya.
"Va, Ziva." Arumi mengguncang pelan pundak Ziva sehingga perempuan itu terusik dari tidurnya.
Ziva mengangkat kepalanya dengan mata berat. Kemudian menatap Arumi bingung.
"Bangun yuk? Udah pagi."
"Hm?" Karena kesadaran Ziva belum terkumpul semua, dia tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan Arumi. "Sagara udah bangun, Bunda?"
Arumi tersenyum, kemudian menggeleng membuat Ziva langsung menoleh cepat kearah Sagara. Dia lantas tersenyum kecut. Sagara belum juga sadar, padahal ini sudah memasuki hari ke tiga pasca kecelakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Figuran Wife
AcakTransmigration Story. Cheryl Aubie, gadis yang baru saja lulus SMA itu tiba-tiba saja terbangun dalam raga antagonis novel yang hamil dan terpaksa menikah dengan seorang figuran karena ayah dari anak yang di kandung nya tidak mau tanggung jawab. ***...