45. Peringatan

11.3K 599 0
                                    

Sagara tertidur setelah makan dan minum obat. Kata dokter, dia tidak boleh banyak berinteraksi dulu apalagi jika sampai membicarakan hal-hal rumit dan membuat kepalanya terasa sakit. Karena itu akan berimbas pada cedera di kepala nya. Pada intinya, Sagara harus banyak-banyak beristirahat dulu sampai keadaannya memungkinkan.

Ziva menatap Sagara yang tertidur dari balik kaca pintu ruang inap dengan senyum tipis. Lega rasanya karena cowok baik-baik saja, apalagi dokter bilang tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi. Sebab hanya tinggal mengobati luka-luka ringannya saja, cowok itu akan segera pulih.

Ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk, membuat Ziva mengalihkan perhatiannya dari Sagara. Ziva menghela napas, lagi-lagi Altair kembali menelponnya. Dia juga sebenarnya bingung kenapa bisa Altair mendapatkan nomor barunya.

Beberapa hari ini memang Altair sering menghubunginya. Namun, beberapa kali Ziva abaikan juga selain karena ingin fokus pada Sagara, dia juga sebenarnya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman lagi. Aurora sudah membencinya, Ziva tidak mau menambah kebencian perempuan itu lagi terhadapnya hanya karena menerima telepon dari Altair.

Namun, ponselnya terus saja berdering. Ziva berdecak, memutuskan untuk memblokir nomor Altair. Ya, Ziva tahu ini terkesan tidak tahu diri --Terlepas bagaimana baiknya Altair padanya. Namun, keadaannya sekarang sudah berbeda. Hubungan persahabatan nya sudah terlanjur di hancurkan oleh Cheryl. Pun Altair hanyalah masa lalunya.

Ziva tidak mau menghancurkan hubungannya dengan Sagara hanya karena berhubungan kembali dengan masa lalunya. Altair masa lalu dan hanya mampu ia kenang saja.

Ponsel Ziva kembali berdering. Ia mendengus jengah, nomor tak di kenal menghubunginya. Apa ini nomor Altair yang lain? Oke, muak. Ziva muak, ia menerima panggilan itu dengan kesal.

"Hall--"

"Bisa nggak sih, kamu stop gangguin suami aku?"

Ziva mengerjap. Suara si penelpon adalah perempuan. Setelahnya ia sadar siapa yang menelponnya.

"Aurora?"

"Kamu sama Altair tuh cuma masa lalu doang. Jadi stop ganggu suami aku. Altair punya aku sekarang, tolong kamu ngerti. Kita sama-sama perempuan, jadi jangan jahat, Ziva. Tolong berhenti berusaha rebut Altair dari aku,"

Ziva terkekeh pelan. Suaranya datar. Ziva mencoba ikhlas terlepas dari penyebab dirinya mengalami kecelakaan adalah Aurora, dan Aurora malah berkata demikian. Berkata seolah Ziva telah berbuat jahat padanya. Apa tidak merasa geli Ziva mendengarnya?

"Lo nggak salah ngomong nih?" tanya Ziva. "Bukannya lo yang rebut Altair dari gue? He's my best friend. Dia udah lebih dulu sama gue sebelum kenal lo,"

"But now Altair is my husband,"

"Berarti lo 'kan, yang rebut dia dari gue? Dan sekarang, lo nuduh gue rebut Altair dari lo?" Ziva terkekeh geli. "Mana ada maling nuduh maling,"

"Diem kamu!" Aurora membentak. "Aku peringati buat jangan ganggu suami aku lagi!"

Ziva mendengus. Altair yang terus mengganggunya, tapi kenapa Ziva yang di salahkan?

"Tapi fakta nya suami lo yang ganggu gue. Kenapa jadi nuduh gue? Oh, atau lo denial, kalau ternyata Altair udah tau, gue ternyata lebih baik dari lo makanya sekarang dia nggak berhenti buat nyoba ketemu sama gue? Atau karena sebenarnya dia udah tau, lagi, sifat lo yang sebenarnya makanya lo nyalahin gue? Iya?"

"Ziva! Jaga sikap kamu, ya!"

"Lo yang harusnya jaga sikap," Ziva berujar datar namun nadanya terkesan menekan. "Kalau waktu itu gue bilang ke Liam bahwa lo yang udah buat gue kecelakaan, mungkin lo sekarang mendekam di sel, nggak akan bisa sama Altair, dan bertingkah sok-sokan kayak gini,"

Figuran WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang