36. Perkara Tomat

11.7K 574 1
                                    

Sudah dua hari sejak Ziva pingsan, perempuan itu kini kembali pulih tentunya dengan bantuan obat dari dokter. Dia sebenarnya bingung apa yang terjadi dengan dirinya, tapi dia tidak ingin ambil pusing dan terus memikirkannya. Ternyata kepo dan memaksa ingin melihat lebih jelas bayangan itu amat menyakitkan juga, ia jadi kapok. Jadi selagi tak mempengaruhi hubungan nya dengan Sagara, ia tidak mau ambil pusing lagi.

"Ga, aku tiba-tiba mau makan steak gitu. Kayaknya enak,"

"Mau makan kapan? Sekarang? Aku jemput ya."

"Emang nggak apa-apa? Kamu 'kan lagi kerja,"

"Nggak apa-apa, sayang. Tunggu, aku nggak akan lama."

Dan entah kenapa, Ziva merasa Sagara semakin perhatian saja padanya. Sagara memang perhatian, tapi Ziva merasa perhatian Sagara padanya makin bertambah. Jika Ziva mengatakan sesuatu, atau menginginkan sesuatu, cowok itu langsung menuruti meskipun dia sedang dalam keadaan sibuk di kantor. Saat pulang kerja pun, dia lebih memilih membeli makanan di luar dibanding harus menyuruh Ziva memasak seperti biasanya. Sagara bahkan meminta di ajarkan memasak padanya. Alasannya agar bisa lebih mandiri?

Jika Sagara bisa melakukan hal ini-itu sendiri, lalu gunanya Ziva sebagai istrinya apa? Jadi, dia menolak saat Sagara meminta di ajarkan memasak dan menyuruhnya untuk berhenti membeli makanan di luar.

Tak hanya itu, sikap posesif nya juga Ziva rasa sedikit berkurang. Sekarang cowok itu tidak masalah jika Ziva bermain ponsel atau sosial media 24 jam. Ziva juga di izinkan pergi kemanapun tanpa ada dirinya dan orang terdekat. Meskipun merasa aneh, Ziva tetap senang dengan perlakuan Sagara. Dan tentunya meski demikian, Ziva tetap membatasi diri. Dia tetap meminta izin pada Sagara jika ingin pergi.

"Kamu nggak mau jalan-jalan?" tanya Sagara.

Ziva menggeleng. "Nggak, ah."

"Atau mau makan steak lagi? Kalau mau ayo aku antar sekarang,"

Ziva cemberut. "Aku kenyang tau, Ga. Kita baru aja selesai makan malam. Kamu nggak liat perut aku udah buncit?"

Sagara terkekeh. "Itu buncitnya karena ada baby, bukan karena makanan."

"Ya 'kan, tetep aja aku kenyang." kata Ziva cengengesan. "Aku sampai nambah 2 kali."

"Oke, oke. Kita ke mal aja gimana? Beli baju,"

"Baju aku banyak, Ga. Yang di lemari juga belum ke pakai semua," balas Ziva. Ia menatap pantulan bulan dari air kolam renang di belakang rumahnya. Suasana di belakang rumahnya memang cukup indah jika sudah malam hari. Jadi sesekali Ziva ingin menikmatinya dengan duduk bersama di gazebo dekat kolam.

"Lagian kamu kenapa sih? Aku cuma pengen makan steak lho, malah di tawarin ini itu,"

"Ya nggak apa-apa. Aku cuma mau nyenengin kamu aja,"

Ziva menatap Sagara dengan senyum geli. "Setiap hari juga kamu nyenengin aku kali. Liat kamu diem aja aku seneng banget," katanya hiperbola.

"Aku serius, sayang."

"Ih, aku juga serius, tau!"

"Aku cuma takut, selama sama aku, kamu nggak ngerasa senang dan bahagia,"

"Jangan suka asal berasumsi sendiri gitu," decak Ziva. "Malah harusnya aku yang tanya gitu ke kamu. Kamu senang dan bahagia nggak selama sama aku?"

Sagara mengangguk. "Apalagi kalau kamu selalu jujur, nurut, jadiin aku tempat bersandar kamu, nggak pernah nutup-nutupin sesuatu dari aku,"

Ziva terdiam mendengar nya, tidak mampu memberi reaksi apapun karena faktanya ia tengah menutupi rahasia besar yang ia sendiri tak mau semua orang tahu apalagi terbongkar.

Figuran WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang