41. Masa lalu

12.1K 502 1
                                        

part ini 98% isinya narasi. klo mau di skip gpp;)

Ziva Kanaya, namanya. Masih kecil saja, Ziva sudah terlihat kalau dia anak yang cantik dan manis. Dia juga ceria dan murah senyum. Terlahir dari keluarga berada menjadi nilai tambahan untuk Ziva. Tak hanya itu, dia juga pintar dan berprestasi meski di umur yang masih dibilang anak-anak. Ya, setidaknya itulah pandangan orang-orang terhadapnya. Dia beruntung.

Karena otak yang cerdas, punya prestasi yang menumpuk, Ziva sering mendapat julukan murid kesayangan guru-guru dan model pelajar yang selalu dielu-elukan guru setiap berceloteh di depan kelas. Hal itu membuat Ziva semakin dikenal oleh teman-teman sekolahnya.

Harusnya Ziva merasa senang, bukan, mendapat image sebegitu baiknya, baik dari keluarga maupun di sekolah? Tapi, Ziva malah membenci diri dan parasnya.

Ya, di balik Ziva yang dianggap selalu beruntung dari segi keluarga dan juga imagenya, Ziva hanyalah anak malang dari korban penyakit hati orang-orang di sekitarnya. Meski banyak disukai guru-guru, Ziva sebenarnya dibenci oleh teman-teman sebayanya.

Dari masih baru-barunya memasuki sekolah dasar, Ziva sering mendapat perlakuan tidak enak dari teman-temannya. Dia diasingkan, dijauhi hanya karena dia pintar dan menjadi murid kesayangan guru. Tapi untungnya, tidak ada yang berani melukai fisiknya karena Liam yang selalu pasang badan untuknya.

Tapi, itu tidak bertahan lama. Ketika Liam mulai lulus dari SD dan melanjutkan sekolahnya ke SMP, Ziva mulai merasa tidak aman bahkan di dalam kelasnya sendiri. Mereka mulai tidak segan-segan melukai Ziva. Setiap harinya, Ziva selalu pulang dalam keadaan lusuh atau setidaknya harus punya satu luka di tubuhnya. Hingga Ziva harus pindah sekolah beberapa kali karenanya. Namun, itu tidak membuat Ziva aman. Di sekolah mana pun, dia masih saja diperlakukan tidak baik.

Brak!

Ziva meringis setelah punggungnya menghantam kuat tembok di belakangnya. Sudah dalam keadaan basah kuyup dan kotor pun, mereka seolah tidak puas melukainya. Ia hanya diam menatap keempat gadis di hadapannya dengan terluka, berharap semua ini segera usai. Dia ingin melawan. Namun, jika Ziva berani melakukan itu, perlakuan mereka padanya akan lebih kejam dari ini. Ingin bertanya ia salah apa, pasti alasannya selalu sama.

"Nggak usah sok kecantikan deh, lo! Dasar tukang caper! Lo pikir lo udah paling cantik?! Lo udah paling pinter?! Najis, tau nggak!"

Hari itu, Ziva kembali ditinggalkan sendiri dalam keadaan yang jauh dari kata baik. Terdapat lebam di pelipis serta sudut bibirnya. Gadis itu terduduk di pojok gudang sekolah seraya memeluk kedua lututnya ditemani kegelapan. Wajahnya pucat dan pandangannya kosong. Kata-kata menyakitkan mereka terus meneriaki pikirannya.

Bibirnya bergetar. Gadis itu lantas menangis kencang, memaki dirinya sendiri, membenci segala hal yang dianggap anugerah oleh orang lain, padahal semua itu hanyalah bencana belaka untuknya.

Beruntung apanya? Ketika pulang pun, bukannya mendapat perlindungan, Ziva malah dihadiahi pukulan oleh sang Papi karena nilainya turun. Ziva gagal memenuhi tuntutan nilai yang Adipati buat. Harus menahan lapar seharian karena konsekuensi atas kegagalannya. Di sekolah ia dihukum karena nilainya yang sempurna, di rumah ia dihukum jika nilainya sampai turun.

Yang mereka lihat dan duga, tak seenak yang Ziva rasakan. Di rumah saja bahkan Ziva tidak bisa jadi diri sendiri. Adipati mendidiknya dengan sangat keras. Adipati mengendalikan Ziva layaknya boneka. Di usia Ziva yang seharusnya dipenuhi oleh pengalaman bermain dengan teman sebaya, Adipati malah mengurung Ziva, menyuruhnya untuk terus belajar dan belajar. Ziva bahkan tidak diizinkan berpendapat dan mengutarakan keinginannya. Ziva tidak berhak menentukan cita-citanya sendiri. Semua harus dalam kendali Adipati.

Masuk ke jenjang SMP, Ziva berharap kehidupan di sekolahnya bisa sedikit membaik. Tapi nyatanya sama saja. Perlakuan mereka tak jauh beda dari teman-teman satu SD-nya dan alasannya pun tak jauh beda, Ziva pintar serta memiliki paras yang cantik. Ia sampai tidak mau berharap lagi di jenjang selanjutnya, kehidupannya bisa jadi lebih baik.

Namun, pikiran itu seolah dilenyapkan kala suatu hari, kelasnya kedatangan murid baru. Altair Gardapati datang, seolah menjadi cahaya yang menerangi hari-hari kelam Ziva selama ini. Dimulai dari hanya saling mengenal sebagai teman sekelas, hingga mereka dekat dan memutuskan untuk berteman karena suatu insiden. Altair menyelamatkannya dari perundungan kakak kelas.

Sejak saat itu, Altair yang menggantikan peran Liam. Dia selalu pasang badan untuk melindungi Ziva. Tak hanya itu, dia juga yang membuat hari-hari Ziva jadi lebih menyenangkan. Bersamanya, Ziva bisa jadi diri sendiri. Altair pun selalu antusias mendukung apa pun yang akan dia lakukan.

"Kenapa nggak mau ikut? Lo 'kan hobi menggambar."

Ziva menggeleng. "Gue nggak sejago itu buat ikut lomba. Gue cuma hobi. Lagian, kalau Papi tau, gue bisa dimarahin." Ziva menunduk sedih. Teringat kembali peralatan gambarnya yang dihancurkan Adipati.

"Lo jago. Cukup lakuin yang terbaik," kata Altair membuat Ziva menatapnya.

"Gue jago?"

Altair mengangguk kuat. "Iya. Anggap aja dengan ikut lomba ini, lo mengapresiasi diri sendiri."

Akhirnya, di bawah bujukan Altair, untuk pertama kalinya, Ziva mengasah kemampuan menggambarnya. Seakan benar-benar yakin Ziva akan menang, Altair sampai membelikan peralatan menggambar. Dia bahkan rela mengundurkan diri dari tim basket yang saat itu juga sedang ada turnamen, hanya untuk menonton Ziva dan mendukungnya.

Bersama Altair, membuat hari yang Ziva jalani jadi terasa ringan. Dia bahagia bersamanya. Ziva jadi semangat untuk melewati hari-hari kelamnya asal bersama Altair. Ziva menyayangi Altair sebagai sahabatnya.

Tapi memang mungkin Ziva tidak diizinkan untuk selamanya bahagia. Saat lulus SMP, Altair terpaksa ikut pindah bersama orang tuanya, padahal dia sudah berencana untuk bersekolah bersama Ziva kembali. Kepergian tentu ditangisi oleh Ziva, namun Altair berhasil meyakinkan bahwa hanya saat di SMA mereka berpisah, setelah lulus mereka akan bertemu lagi, tapi versi dewasa dengan latar kampus.

Ziva kembali merasa sendiri. Namun, kehidupan di SMA kali ini sedikit lebih baik. Ada yang mau berteman dengannya. Ziva tentu saja merasa senang. Setidaknya, ada yang membuatnya semangat untuk pergi ke sekolah. Dia adalah Aurora Selina.

Gadis sederhana yang begitu Ziva kagumi. Dia pemberani dan juga baik hati. Aurora tidak pernah takut pada orang-orang yang meremehkannya hanya karena dia adalah murid beasiswa. Dia seolah mengatakan kalau murid beasiswa tidak serendah itu. Masih ada yang bisa dikagumi, yaitu kepintaran. Kehadiran Aurora di hidupnya membuat Ziva mau menerima kepintarannya.

Mereka sangat akrab. Ke mana pun selalu berdua. Di mana ada Ziva, pasti selalu ada Aurora yang mendampingi. Mereka seperti adik kakak. Hubungan pertemanan mereka sangat baik. Tapi lagi-lagi, itu tidak bertahan lama. Hubungan pertemanan mereka merenggang karena entah kenapa, Aurora terkesan menjauhinya. Saat Ziva bertanya kenapa Aurora menjauhinya, gadis itu menjawab telah membencinya. Hal itu membuat Ziva terpukul sampai-sampai menyalahkan dirinya sendiri.

Air mata itu mengalir deras. Ziva menangis setelah mendapat ingatan masa kecilnya. Antara sedih dan terharu. Terharu karena bisa melewati masa-masa sulit itu. Dia juga bangga karena bisa sekuat itu menghadapi didikan keras Papinya –– Adipati. Dan juga hari-hari kelam di sekolah karena mendapat perundungan dari teman-temannya. Dia bahkan tidak menyangka kalau yang ada dalam ingatan itu adalah dirinya. Tidak menyangka kalau Ziva kecil bisa sehebat itu.

Ziva lantas tersenyum tipis. Di balik Ziva yang bisa sehebat itu, ada Altair yang menjadi penguat. Ada Altair yang menjadi cahaya yang menerangi hari-hari kelam Ziva. Ketulusan dan kebaikan lelaki itu telah mengubah pandangan Ziva yang saat itu membenci dirinya sendiri.

Jika ditanya menyesal atau tidak karena pernah menaruh rasa benci pada Altair, Ziva akan menjawab iya. Altair telah menjadi bagian dari hidup Ziva. Hanya karena satu kesalahan yang Altair perbuat, Ziva melupakan semua kebaikan yang telah Altair berikan selama ini padanya. Namun, dia tidak membenarkan tindakan Altair. Dia juga tidak menyalahkan Altair karena rusaknya hubungan persahabatan mereka. Dan untuk Aurora, dia sama sekali tidak marah apalagi benci karena dia penyebab dirinya mengalami kecelakaan. Ziva yakin ada alasan yang membuat Aurora seperti itu.

Sekarang yang harus ia lakukan terlebih dahulu adalah, memikirkan bagaimana cara membicarakan hal yang tidak masuk akal ini pada Sagara.

Voment jangan lupa!

FIGURAN WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang