30. One and Only

12.7K 636 10
                                    

Sagara mendengus kala melihat ada sebuah mobil yang terparkir dekat gerbang rumahnya. Suasana hatinya seketika turun dengan drastis. Sialan, tidak lelah kah, Altair terus datang ke rumahnya padahal Ziva saja sudah tidak ingin bertemu lagi dengannya? Harus dengan cara apa Sagara menegaskan kalau apa yang Altair lakukan sudah tidak ada gunanya lagi?

Cowok itu terlalu terlambat datang pada seseorang yang kini sudah lelah menunggu dan tidak ingin mengharapkan kehadirannya lagi.

Sagara turun dari mobil, membiarkan Ziva tetap tertidur di sebelah kursi pengemudi. Kehadirannya di sadari oleh Altair. Cowok itu terlihat menatap Sagara malas.

"Mau apa lagi lo?" tanya Sagara to the point.

"Mana Ziva?"

Sagara menaikan alis kanan, mendengus menatap Altair tidak habis pikir. Ternyata selain kehilangan seseorang yang berharga seperti Ziva, Altair juga sudah hilang rasa malu.

"Lo tau penyesalan terbesar dalam hidup gue apa?" Altair menatap Sagara datar saat cowok itu berkata demikian. "Kenal sama lo, Al."

"Lo pikir gue nggak?" Altair berdecih sinis. "Lo rebut Ziva dari gue. Ziva nggak mau ketemu gue itu semua karena lo."

"Playing victim lo? Lo nyalahin gue atas kesalahan yang lo perbuat?" Sagara tergelak pelan. Ekspresi nya menunjukkan kalau dia benar-benar tidak menyangka ada orang seperti Altair di dunia ini. "Harusnya lo introspeksi diri. Kenapa bisa sampai ngeliat lo aja Ziva muak."

Altair diam dengan sorot mata yang kian mendingin. Tatapannya tak lepas dari Sagara seolah Sagara adalah seorang mangsa yang patut ia habisi.

"Pergi. Ziva nggak mau liat lo," Sagara berucap dengan ekspresi datar.

"Not, until I meet Ziva."

"Lo nggak punya hak."

"Ziva ibu dari anak gue. Gue punya hak atas Ziva dan bayinya. Baik lo atau Ziva sekalipun, nggak akan bisa ngelarang gue buat ketemu dia,"

"You want them both?"

"You know my answer,"

Sagara mendengus. "No, you just want Ziva." Ia melangkah mendekat. "If you want both, seharusnya udah dari dulu lo tanggung jawab, You shouldn't have hurt Ziva more deeply by leaving her and choosing to marry another woman,"

"Shut fucking up!" Mata Altair memerah menahan amarah. Napasnya memburu cepat. "Nggak usak sok berlagak jadi pahlawan buat Ziva! Gue yang selama ini ada buat Ziva, gue yang selama ini––"

"Terus, lo bisa berbuat seenaknya gitu sama perasaan gue?"

Baik Altair maupun Sagara menoleh ke arah sumber suara. Ada Ziva yang berdiri tepat di belakang Sagara dengan tatapan datar. Namun, sorot matanya nampak terluka saat menatap Altair.

"Nggak, lo salah paham. Gue sayang sama lo. Gue sadar kalau cuma lo yang gue mau, Ziva. Makanya gue mau kita kayak dulu, gue mau kita sama-sama lagi. Gue janji nggak akan––"

Ziva tertawa pelan, namun dengan suara yang sumbang. Hal itu berhasil membuat Altair berhenti berucap. "Nggak ada yang suka lo panggil dan lo usir sesuka hati."

Altair mengerti, Altair paham dengan apa yang Ziva katakan. Maka dari itu, dia maju hendak meyakinkan Ziva dengan cara menggenggam lengannya. Tapi Ziva sudah lebih dulu melangkah mundur, sehingga Altair kini terdiam dengan rasa sesak yang mengapit dadanya. Sorot matanya nampak terluka saat menatap Ziva.

"Kalau lo sayang gue, kalau lo sedikit aja mau mikirin perasaan gue, lo nggak akan ninggalin gue, dan datang buat ganggu gue lagi."

Telak. Ucapan Ziva berhasil membungkam Altair sepenuhnya. Cowok itu berdiri diam dengan mata yang menatap tepat di kedua mata Ziva, mencari keberadaan sorot mata hari itu, sorot mata penuh harap ketika Ziva mengatakan dengan sungguh-sungguh kalau dia begitu mencintai dan menginginkannya. Namun, yang Altair temukan hanyalah kekosongan. Semua tatapan yang hanya Ziva berikan untuknya kini telah sirna. Harapan Altair seolah di buat tidak ada artinya lagi oleh tatapan itu.

Ziva menghela napas panjang. Entah kenapa hatinya terasa nyeri, seolah dia merasakan perasaan Ziva yang sebenarnya. Ia menoleh pada Sagara yang kini menatapnya teduh, seakan merasa bangga karena Ziva bisa sekuat ini.

"Aku capek," kata Ziva pada Sagara.

Sagara mengangguk. "Ayo masuk," Dia menggenggam lengan Ziva erat, kemudian membawa perempuan itu pergi.

***

"You okay?"

"I'm okay." Ziva tersenyum kecil pada Sagara. "Of course, karena perasaan aku buat Altair udah bisa dibilang biasa aja, aku juga udah ikhlas nerima rasa sakit karena kesalahanku sendiri."

"Secepat itu?" Bukannya tidak percaya. Sebab, Ziva begitu mencintai Altair. Cintanya sudah dari dulu hadir bahkan sebelum Sagara mengenalnya.

"Nggak juga. Gimana ya jelasinnya? Orang bilang, cinta itu bisa datang karena terbiasa." Ziva mengikuti Sagara yang menariknya untuk ikut duduk di sofa ruang tamu.

"Aku bisa secinta itu sama Altair karena terbiasa sama dia."

Ya, setidaknya itulah alasan yang bisa ia tangkap kenapa Ziva Kanaya bisa mencintai Altair. Dan sampai bisa segitunya hanya karena tidak mau kehilangan Altair. Mungkin, dia tidak mau kehilangan seseorang yang selama ini selalu ada untuknya. Dia terbiasa dengan Altair, sampai saat Altair menoleh dan datang pada orang lain, Ziva amat merasa tidak terima hingga menumbuhkan rasa egois dalam diri, ingin memiliki Altair selamanya.

"Begitupun dengan kamu. Tapi kalau kamu, mungkin aku terbiasa menerima ketulusan yang kamu punya buat aku? Jadi aku bisa secinta ini sama kamu." Ziva beranjak memeluk Sagara dari samping, merasa nyaman karena Sagara mengelus kepalanya.

"Really? Apa cinta kamu buat aku sebesar cinta kamu buat Altair juga?" Sagara menatap Ziva dalam.

Ziva menunjukkan ekspresi berpikir keras. "Hm ... Nggak juga,"

Katanya, berhasil membuat Sagara menatapnya datar. Ziva lantas tertawa geli melihat ekspresi Sagara. Ziva menegakkan badan, kemudian membingkai pipi Sagara dengan kedua lengannya. Menatapnya dengan senyuman manis.

"Maksudku, mungkin cinta aku buat kamu, sama kayak cinta kamu buat aku. Eh? Gimana sih?"

Sagara tertawa pelan melihat ekspresi kebingungan Ziva. Dia terlihat berpikir keras, berusaha memahami apa yang di katakan nya sendiri.

"Ya, intinya kayak gitu!" decak Ziva.

"Jadi, tolong percaya, ya?" Ziva menatap Sagara dalam. "Aku cinta sama kamu, nggak ada yang lain lagi. Ya, mungkin kamu emang bukan yang pertama buat aku. Tapi sekarang cuma kamu. One, and only," katanya tulus, sebagai Cheryl, bukan Ziva.

"Iya, sayang." Sagara lantas memajukan wajah untuk mencium Ziva hingga lengan Ziva kini mengalung di lehernya. Dia menarik pinggang Ziva agar tidak ada jarak lagi. Agar dia bisa dengan bebas menyerang benda lembut yang selalu menjadi candunya itu.

Di sela ciumannya, Sagara tersenyum penuh arti karena Ziva membalas lumatannya, mencoba mengimbangi. Akhir-akhir ini Ziva cukup agresif meski sikap malu-malu nya masih tetap melekat. Terkadang tanpa harus Sagara lebih dulu yang maju, Ziva sering tiba-tiba bertanya apa boleh dia menciumnya. Padahal tanpa harus bertanya pun Sagara mengizinkan. Justru berciuman dengannya adalah salah satu kesenangan Sagara.

Ziva mendongak dengan napas tersengal-sengal, membiarkan Sagara menyerang lehernya dengan leluasa. Dia mengelus rambut Sagara sesaat sebelum mencengkram nya, kala Sagara mulai memberi hisapan di sana. Tubuhnya menegang ketika lengan Sagara mulai bergerak menyentuh tubuh bagian atasnya. Membuat debaran jantungnya semakin menggila. Kepalanya pusing menerima semua sentuhan yang di berikan Sagara.

Dengan mata mengelap, Sagara mengecup bibir Ziva sekilas sebelum menatap Ziva. "Kamu beneran capek?" tanya Sagara dengan suara berat nya.

Ziva mengangguk, seolah mengerti apa maksud pertanyaan Sagara. "Tapi kalau kamu mau, aku nggak apa-apa."

Sagara tersenyum lalu mengecup dahi Ziva. Dia mengangkat Ziva dari sofa menuju kamar untuk menghabiskan malam panjang ini dengan berbagi kasih.

Figuran WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang