38. Tidak sama Lagi

10.1K 522 2
                                    

Ziva membuka mata dengan perasaan hampa. Dia menoleh ke samping. Lalu, hatinya kembali di buat terasa sesak. Sebab kini tidak akan ada lagi senyuman lembut dari Sagara yang menyambut pagi nya. Tidak ada lagi Sagara yang tidak akan beranjak bangun sebelum mendapat kecupan pagi darinya.

Karena faktanya sedari awal pun ia hanyalah orang asing di hidup Sagara.

Ziva melirik jam dinding. Hari sudah pagi, tapi ia tidak tahu Sagara sudah pulang atau belum. Cowok itu pergi dari rumah dan tak pulang lagi padahal dia belum sembuh dari demamnya.

Beranjak dari kasur, Ziva keluar kamar untuk mencari Sagara ––Takut cowok itu sudah pulang. Perempuan itu terkejut saat berpapasan dengan Sagara di depan pintu kamar keduanya. Ya, dia memilih untuk kembali ke kamarnya yang dulu ––Kamar sebelum mereka memutuskan untuk tidur bersama karena takut Sagara terganggu.

Cowok itu sudah rapi dengan setelan kantor. Mungkin Sagara pulang saat dirinya sudah tertidur. Ziva tersenyum kecut saat Sagara melengos pergi tanpa menatapnya sama sekali. Menahan rasa sesak di dada, Ziva menyusul Sagara. Jujur Ziva khawatir dengan kondisi Sagara. Apalagi melihat penampilan nya. Dia berpakaian rapi tapi tidak dengan keadaannya. Wajahnya pucat serta katung matanya menghitam. Ziva jadi tidak yakin kalau semalam Sagara tidur dengan cukup.

"Sagara, kamu pulang jam berapa? Demam kamu udah turun? Sagara aku khawatir,"

Semua ucapan Ziva bagaikan angin lalu. Sagara tetap berjalan menuruni anak tangga dengan cepat. Jangankan mendengarkan apalagi menjawab, menoleh saja Sagara tidak.

"Sagara," Ziva meraih lengan Sagara sehingga langkah cowok itu terhenti. Ziva lantas terdiam sambil menatap terluka pada lengannya yang baru saja Sagara lepaskan dengan cukup kasar. Matanya berkaca-kaca. Meski tahu ini adalah konsekuensi atas keegoisannya selama ini, tetap saja hatinya terluka. Sagara adalah orang yang memberi ketenangan di hatinya selama ini.

"A-aku buatin sarapan ya? Kamu pasti belum makan, 'kan? Aku––"

"Nggak perlu." Akhirnya Sagara mau membuka suara meski dengan nada dingin. Tatapan matanya begitu menusuk sehingga Ziva tertegun di tempatnya.

Tatapan itu, bagai sebuah belati tajam yang menikam hatinya. Tatapan yang sama persis seperti milik ibu angkatnya. Benci. Itu adalah tatapan kebencian.

Sagara membuang muka dengan dengusan sinis. Melihat Ziva kini membuat sakit di hatinya semakin bertambah. Ziva –– Ah, tidak. Perempuan yang ada dalam diri Ziva itu, telah membuat Sagara terlihat menyedihkan selama ini. Dan Sagara benci itu.

Ziva menghapus air matanya yang tiba-tiba saja turun. Ia mencengkram pegangan tangga berusaha mengendalikan dirinya yang ingin menangis kencang kala melihat Sagara kembali melangkah meninggalkannya.

Hari berikutnya pun sama. Sagara pulang di pagi hari dan kembali pergi setelah berganti pakaian. Tidak ada interaksi manis dan hangat seperti biasanya. Dia mengabaikan Ziva yang sudah menyiapkan sarapan dan makan malam untuknya. Bahkan untuk sekedar menatap Ziva saja Sagara enggan.

Semuanya sudah berubah. Tak akan sama lagi. Ziva dan Sagara kini hanyalah dua orang asing yang tinggal di satu rumah.

***

Satu Minggu kemudian.

Tidak ada yang baik-baik saja. Baik Ziva maupun Sagara sama-sama diliputi rasa sedih dan kecewa. Jarak yang terbentang di antara mereka semakin terlihat jelas.

Hari itu, untuk yang kesekian kalinya Ziva datang ke kantor Sagara untuk mengantarkan makan siang. Meski tahu Sagara tidak pernah menghiraukan nya, Ziva tidak pernah kapok. Dia merasa, mau bagaimanapun keadaan mereka sekarang, ia tetaplah istri Sagara yang masih punya kewajiban untuk sekedar membuatkan makanan untuknya.

Figuran WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang