29. Aby pergi

1.2K 58 0
                                    

Aby keluar dari kamar mandi setelah selesai dengan urusannya, saat itu ia melihat Maya yang berdiri tak jauh dari kamar mandi, sudah rapi dengan setelan formal seperti semalam.

"Aby, aku udah beli bubur. Apa kamu mau sarapan sekarang?" tanya Maya.

"Hm," jawabnya, lalu berjalan menuju ruang tengah.

Maya menghela napasnya, lelaki itu masih marah. Setelah pertengkarannya semalam, Aby belum mau bicara lagi padanya. Bahkan, barusan lelaki itu hanya berdeham saja ketika mengiyakan. Ia sangat merasa bersalah karena sudah membuat Aby kecewa. Padahal, selama ini lelaki itu selalu berbuat baik padanya.

Maya menyiapkan dua mangkuk bubur yang baru dibelinya, dan 2 gelas air putih di nampan. Sebelum akhirnya ia membawanya ke ruang tengah, menyusul Aby yang kini duduk beralas tikar sambil memainkan ponselnya.

"Ini bubur kamu, Aby," kata Maya, sambil menyodorkan semangkuk bubur ayam ke hadapan Aby.

"Makasih," ucapnya singkat, lalu memakan bubur itu.

Maya juga ikut makan, meskipun sebenarnya ia sedang tidak nafsu untuk sarapan. Apalagi, dalam keadaan hening seperti ini. Biasanya mereka akan sambil bercerita apa pun itu ketika makan, tapi untuk pertama kalinya. Mereka makan sambil diam-diaman.

Kedua mata perempuan itu terasa memanas. Ingin menangis, tapi ia berusaha untuk tetap menahannya. Karena ketika Maya menangis, ia takut kecewa ketika Aby hanya diam saja seperti semalam.

Tak lama kemudian, Aby bangkit dari duduknya setelah selesai makan. Ia berjalan menuju dapur sambil membawa mangkuk dan gelas kotor, lalu mencucinya. Sesaat lelaki itu melihat dus susu, semalam ia tidak melihat Maya minum susu itu.

Menghela napasnya, Aby pun kembali ke ruang tengah. "Nanti jangan lupa buat minum susu," katanya, yang membuat Maya mendongakkan kepalanya. "Maaf ngerepotin, tapi kamu harus tetap minum susu," lanjutnya, membuat perempuan itu bingung. Maksud Aby meminta maaf untuk apa?

"Apa maksud kamu, Aby?"

"Mungkin kamu selalu kerepotan karena harus minum susu yang kamu nggak suka. Untuk itu aku minta maaf, mungkin selama 9 bulan kamu harus merasa kerepotan karena mengandung anakku. Aku ingin bayiku tetap sehat. Jadi aku minta tolong, untuk tidak lupa minum susu." Air mata yang sedari tadi Maya tahan, menetes begitu saja. Ada rasa perih di hatinya mendengar kata-kata Aby, seolah dirinya tidak mau menerima anak yang ada dalam kandungannya.

"Dia juga anakku, Aby." Meskipun ia tak suka minum susu, dan selama mengandung merasa terbatas ruang geraknya. Namun, ia tak pernah merasa repot untuk bayinya itu.

"Bukankah kamu menyesalinya? Karena kehadirannya hidup kamu semakin monoton, ruang gerak kamu jadi minim, kamu tidak punya kebebasan dan merasa jadi tawanan karena mendekam di sini terus. Itu kan yang kamu rasakan, kamu menyesalinya." Maya menggelengkan kepalanya, ia tak menyesali apa pun. Aby salah paham.

"Kalau pergi, jangan lupa bawa kunci. Nanti sore aku harus pergi lagi. Dan sepertinya aku nggak jadi pulang seminggu sekali, rasanya juga percuma aku pulang. Untuk apa? Bengong di sini sendiri? Jadi, aku tidak akan pulang selama kerja di sana." Setelah mengatakan itu, Aby melangkahkan kakinya masuk ke kamar.

Maya mengigit bibirnya, menahan isak tangisnya agar tidak pecah. Dadanya terasa semakin sakit, apa kesalahannya begitu fatal? Hingga Aby berkata seperti itu? Ia terima jika lelaki itu marah karena ia sudah berbohong dan tidak meminta izin pada Aby. Tetapi, Maya tak terima jika Aby berpikir ia menyesal untuk semuanya. Terutama menyesal mengandung anaknya, seolah ia memang keberatan dengan kehadiran calon anak mereka.

"Aku tidak menyesal. Sungguh, aku tidak menyesal dengan kehadiran kamu di sini," ucap Maya sambil menyentuh perutnya yang masih rata itu. Air mata perempuan itu terus menetes, kenapa ia merasa sendiri sekarang?

"Papa, Maya harus apa?" batinnya.

---

Maya berjalan dengan kepala menunduk, ia hendak pulang ke kontrakan. Jam menunjukkan pukul 5 sore, sedangkan jam kerja Maya hanya sampai setengah 5 saja. Semalam ia pulang telat, karena harus menggantikan dulu teman kerjanya yang bagian shift 2 tidak bisa masuk karena ada urusan. Sedangkan hari ini, temannya itu masuk kembali, sehingga Maya bisa pulang seperti biasanya.

"Kamu nggak nunggu Maya pulang dulu, By?"

Maya menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Bu Hartati. Di sana, tepatnya di teras depan rumah Bu Hartati. Ia melihat wanita setengah baya itu bersama Aby.

"Nanti saya telepon dia aja, Bu. Saya harus berangkat sekarang, biar nggak terlalu malam sampai sana." Maya yang mendengar itu, merasa tak rela jika Aby akan pergi lagi. Padahal, ia sangat merindukan lelaki itu. Namun, karena pertengkaran di antara mereka, malah membuat keadaan seperti saat ini.

"Ya udah kalau gitu, padahal Maya pasti masih kangen sama kamu, By."

Maya melihat lelaki itu tersenyum tipis sebagai respon dari ucapan Bu Hartati.

"Uang untuk makan Maya masih ada nggak, Bu?"

"Masih ada kok, By. Lagian, Maya belum terlalu napsu makan kayaknya, masih suka muntah-muntah dia. Kalau nggak Ibu paksa buat makan juga, kayaknya dia nggak akan makan. Tapi, kamu tenang aja, By. Ibu akan bikin masakan yang enak-enak, sehat, dan bergizi buat Maya."

"Makasih banyak, Bu. Dan maaf kalau saya banyak ngerepotin Ibu. Sebenarnya saya merasa nggak enak minta tolong Ibu buat masakin Maya tiap hari, tapi saya juga bingung kalau nggak minta tolong sama Ibu, saya harus minta tolong sama siapa lagi." Maya tertegun mendengar itu, jadi alasan Bu Hartati mengirimnya makanan setiap hari itu karena Aby yang meminta.

"Ibu nggak repot, kok. Lagian Ibu itu nggak banyak kerjaan, jadi kalau masak doang untuk Maya, Ibu masih sanggup. Toh, yang bayarin semua bahan makanan juga kamu, By. Ibu hanya memasaknya aja."

Air mata Maya menetes begitu saja, bahkan ketika jauh darinya, Aby masih memikirkannya. Selama ini Aby diam-diam meminta bantuan orang lain untuk kebaikan Maya, sedangkan ia diam-diam bekerja malah membuat beban pikiran Aby semakin bertambah. Betapa egois dirinya, dan karena keegoisannya itu yang membuat Aby mendiamkannya sekarang.

"Saya titip Maya, ya, Bu. Tolong cek dia setiap hari, tolong ingetin dia buat salat juga. Takut dia lupa, sama itu tolong bilangin buat minum susu." Maya mengigit bibir bawahnya menahan tangis, sangat menyesal karena sudah berbohong pada lelaki sebaik Aby.

"Iya, By. Kamu juga jaga kesehatan, jaga diri selama di sana. Ingat, di sini ada yang nungguin kamu."

"Iya, Bu. Kalau gitu saya berangkat dulu, assalamualaikum." Aby menyalami tangan Bu Hartati dan pergi dari sana. Sedangkan, wanita setengah baya itu masuk rumah.

Ketika berbalik badan untuk pergi, Aby baru sadar jika ada Maya yang berdiri tak jauh dari sana. Namun, lelaki itu tampak cuek saat berjalan, seperti tak mau melihat Maya.

"Aku pergi," ucap Aby dan melewati Maya begitu saja. Membuat perempuan itu tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia tak ingin Aby pergi, apalagi dalam keadaan marah padanya. Namun, lelaki itu terus berjalan menjauh darinya, bahkan tak mempedulikan Maya yang sekarang menangis.

***

Rumah Sepasang LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang