Dengan pelan dan hati-hati Aby memapah Maya keluar dari kamar mandi dan membawanya ke ruang tengah kontrakan, Maya sendiri yang meminta untuk duduk di sana.
Perempuan itu baru saja muntah-muntah di kamar mandi, sudah tiga hari setelah Maya mengeluh perutnya tidak enak malam itu, sakit Maya berkelanjutan sampai saat ini. Membuat Aby khawatir, apalagi ketika melihat wajah pucatnya.
Aby menyelipkan sejumput rambut Maya yang menjuntai ke belakang telinganya, lalu mengusap sudut bibir perempuan itu yang masih basah. "Masih mual nggak?" tanyanya, sudah tiga hari pula Maya jadi suka muntah-muntah, apalagi ketika baru bangun tidur.
Maya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Sekarang kamu mandi aja, Aby. Bukannya kamu mau cari kerja?" tanya Maya, pekerjaan Aby bersama Pak Gunawan sudah selesai dua hari lalu. Dan sekarang, Aby belum ada kerjaan lagi. Pak Gunawan juga belum ada panggilan kerja baru, membuat pria paruh baya itu dan rekannya yang lain memutuskan untuk pulang lebih dulu ke kampungnya.
"Aku nggak tega tinggalin kamu lagi, apalagi muka kamu tambah pucat sekarang. Hari ini aku antar kamu ke dokter aja, ya," kata Aby, yang langsung dibalas dengan gelengan kepala Maya.
"Aku beneran nggak apa-apa, Aby. Nggak perlu ke dokter."
"Tapi ...."
"Aku nggak apa-apa."
Aby menghela napas, sebelum akhirnya menganggukkan kepala seraya berkata, "Aku mandi dulu, ya."
"Iya."
Aby kembali mengangguk, lalu pergi dari sana untuk ke kamar mandi. Ia memang sudah berniat untuk mencari pekerjaan lagi, sedangkan Maya memejamkan kedua matanya dengan kepala menyender pada dinding. Tubuhnya terasa lemas sekali, apalagi ia jadi sering muntah-muntah.
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu itu, membuat Maya kembali membuka kedua matanya. Dan menoleh ke arah pintu, kira-kira siapa yang bertamu ke kontrakannya pagi-pagi begini?
Maya ingin memanggil Aby, tapi lelaki itu masih berada di kamar mandi. Untuk itu, ia menghela napasnya, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan untuk membuka pintu.
Tepat saat pintu dibuka, saat itu juga ia melihat Erika, tetangga sebelahnya yang juga mengontrak di kontrakan Bu Hartati.
"Eh, Mbak Erika. Kenapa, Mbak?" tanya Maya bingung, tak biasanya gadis itu bertamu pagi-pagi sekali.
"Maaf, ganggu kamu pagi-pagi, May," kata Erika tak enak hati. Apalagi, ketika melihat wajah pucat Maya sekarang.
"Nggak apa-apa, Mbak. Ada yang bisa Maya bantu?" tanya lagi Maya.
"Kamu punya stok roti Jepang nggak, May?" tanya balik Erika, membuat Maya menautkan sebelah alisnya.
"Roti Jepang? Maksudnya pembalut?"
Erika mengangguk cepat sebagai jawaban. Sebelum akhirnya ia berkata, "Kalau ada, aku boleh pinjam stok punya kamu? Aku lagi butuh banget sekarang, mau beli ke mini market tempatnya jauh, ke warung juga belum pada buka, May. Aku nggak tau bakalan haid hari ini, dan lupa nyetok. Aku juga ada kuliah pagi hari ini, jadi harus siap-siap sekarang."
"Kebetulan aku masih ada stok kayaknya, Mbak tunggu dulu, ya. Biar Maya ambil dulu," ujar Maya yang kembali diangguki Erika.
Maya pun kembali masuk, ia berjalan menuju kamarnya dan mengambil pembalut yang ia simpan di lemari pakaian. Untung ia masih memiliki stok, jadi ia bisa membantu Erika sekarang.
Ia pun beranjak dari sana untuk segera memberikan pembalutnya pada Erika, tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika menyadari ada yang mengganjal di otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Sepasang Luka
Fiksi UmumPrekuel 'Still The One' "Terlalu banyak hal yang aku takuti, merasa lelah dan tak bisa meraih mimpi. Dunia terlalu kejam untuk aku yang takut sendiri." - Mayang Eira Calista *** Ini tentang Aby dan Maya, yang terpaksa harus menikah di penghujung mas...