Maya melihat pantulan tubuhnya pada sebuah cermin full body berukuran 127 X 34 cm yang ada di hadapannya. Ia sengaja membuka semua kancing kemeja planel yang dipakainya, untuk melihat bentuk perutnya yang kini sudah tidak rata lagi.
Waktu sangat cepat sekali berlalu, tak terasa kandungan Maya sudah memasuki Minggu ke-20. Perutnya sudah mulai membesar sekarang.
Tangannya mengusap perut besar itu dengan lembut, ia senang ketika bayinya tumbuh dengan sehat di dalam perutnya. Namun, terkadang ia merasa sedih karena baju-bajunya sudah tak muat lagi untuk ia pakai. Bahkan, ia sampai memakai baju-baju Aby, seperti kemeja planel yang ia pakai saat ini.
Perempuan itu menundukkan kepalanya, sejak perutnya bertambah besar, kegiatannya semakin dibatasi. Ia juga sudah tidak bekerja lagi, bahkan saat itu ia hanya mampu kerja selama 1 bulan setengah saja, dikarenakan dirinya yang semakin hari semakin parah muntah-muntah. Selama kerja pun, kadang Maya sering kali ke toilet. Ia tidak terlalu fokus saat bekerja, dan mudah kelelahan. Untuk itu, ia memutuskan resign jauh sebelum perutnya membesar.
Maya terkejut, ketika tiba-tiba ada tangan yang melingkari perutnya dari belakang. Karena melamun, ia tak sadar ketika Aby masuk kamar. Padahal, ia berdiri di depan cermin.
"Kenapa belum ganti baju, hm?" tanya Aby, sambil menopang dagunya di bahu Maya, sedangkan tangan kanannya mengelus lembut perut Maya.
"Aku bingung harus pakai baju mana, baju-bajuku udah nggak ada yang muat, Aby. Aku aja tiap hari lebih banyak pakai baju punya kamu," jawab Maya, tadi saat masuk kamar ia hendak ganti baju karena Aby ingin mengajaknya jalan-jalan. Seperti janji lelaki itu beberapa bulan lalu, jika Aby akan mengajak Maya jalan-jalan naik kereta. Jelas ia sangat senang mendengar itu, tapi ketika ia hendak mengganti bajunya. Tidak ada baju yang cocok untuk ia pakai, bajunya sudah tidak muat lagi ia pakai. "Kayaknya aku nggak jadi pergi, Aby," lanjutnya, raut wajah perempuan itu terlihat sedih. Sudah lama sekali ia ingin jalan-jalan, tapi hanya karena baju, ia tak bisa pergi.
"Hanya karena baju?"
"Mau gimana lagi."
Aby melepaskan pelukannya, lalu memutar tubuh Maya agar menghadapnya. Setelah itu, Aby berlutut di hadapan Maya. "Dek, gimana ini, Dek? Masa nggak jadi pergi?" tanyanya pada bayi yang ada dalam kandungan Maya, bahkan ia menempelkan telinga kanannya pada perut perempuan itu.
"Kamu lagi ngapain, sih, Aby?" tanya Maya.
"Sstthhh ... Aku lagi dengerin Dedek bayi," balas Aby, tanpa menjauhkan telinganya dari perut Maya.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya, dan membiarkan Aby dengan kegiatannya itu. Tangan Maya terulur merapikan rambut Aby, sambil menunggu aksi lelaki itu.
"Harus sekarang banget, Dek?" Maya menautkan alisnya mendengar itu, tak mengerti dengan yang dibicarakan Aby. "Oke, deh. Sayang banget sama Dedek bayi, sehat-sehat di dalam sana oke." Aby mencium perut Maya, sebelum akhirnya kembali berdiri.
"Apa katanya?" tanya Maya.
"Dedeknya tetap mau jalan-jalan, sayang," jawab Aby.
"Tapi—"
"Tunggu sebentar," sela Aby cepat, lalu ia berjalan mengambil ransel yang biasa ia bawa ketika bekerja. Lelaki itu mengeluarkan sebuah paper bag di dalamnya, dan membawanya serta memberikan paper bag itu pada Maya.
"Apa ini, Aby?"
"Buka aja."
Maya menatap Aby sebentar, sebelum akhirnya membuka paper bag itu dan mengambil isinya. Hingga kedua mata perempuan itu berbinar ketika melihat loose dress warna putih yang terdapat motif bunga. "Kamu beli dress ini untuk aku, Aby?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Sepasang Luka
General FictionPrekuel 'Still The One' "Terlalu banyak hal yang aku takuti, merasa lelah dan tak bisa meraih mimpi. Dunia terlalu kejam untuk aku yang takut sendiri." - Mayang Eira Calista *** Ini tentang Aby dan Maya, yang terpaksa harus menikah di penghujung mas...