12. Berjuang bersama

1.2K 70 0
                                    

"Assalamualaikum," ucap Aby saat memasuki rumah, tapi ia tak mendengar sahutan. Di mana Maya?

Ia pun berjalan menuju kamar untuk menyimpan tas dan memastikan keberadaan gadis itu. Tetapi, ia tak melihat ada Maya di sana. Ke mana gadis itu?

"May?" panggilnya, tapi tidak mendengar sahutan. Hanya saja ia mendengar gemercik air dari kamar mandi. Saat itu juga ia berjalan ke belakang, menuju kamar mandi, hingga ia melihat gadis itu yang tengah membersihkan pakaian. Ini sudah petang, kenapa gadis itu masih mencuci?

Bahkan, ia melihat banyak cucian yang sudah bersih di sana. Perasaan, baju kotornya tidak sebanyak itu, lalu itu pakaian milik siapa saja? Sampai ada 5 ember penuh.

"May," panggil lagi Aby, yang kini berhasil membuat gadis itu menoleh padanya.

"Eh, lo udah balik," kata Maya sambil mematikan keran air. Lalu, gadis itu keluar dari kamar mandi dan menghampiri Aby. "Kapan lo baliknya? Kok, gue nggak denger?"

"Baru aja, gue pangil lo nggak disahutin."

"Maaf, kayaknya nggak kedengeran karena suara air."

Aby mengangguk tidak mempermasalahkan itu, hanya saja ia masih heran dengan cucian Maya yang begitu banyak. "Itu kenapa bisa banyak cucian lo? Lo nyuci semua pakaian lo?" tanyanya.

"Sebenarnya, bukan pakaian gue. Tapi, punya Mbak Yuli, Mbak Erika, Mbak Susan, Mbak Lastri, sama Bu Dwi," jawab Maya, membuat dahi cowok itu mengernyit. Untuk apa juga Maya mencuci pakaian para tetangganya? Lima orang yang disebut Maya adalah orang-orang yang juga mengontrak pada Bu Hartati.

"Lo ngapain nyuci baju mereka, May? Banyak banget lagi, lo nggak capek apa?"

"Tadi gue nawarin jasa cuci pakaian dan setrika ke mereka. Eh, merekanya mau semua. Ya udah, gue ambil. Karena mereka nggak punya waktu buat nyuci sendiri, mau ke tempat laundry juga dari sini jauh banget. Jadi, mereka terima tawaran dari gue. Mereka mau bayar gue 50 ribu untuk satu kali nyuci, 50 dikali 5. Gue dapat dua ratus lima puluh ribu, kan lumayan," jelas gadis itu, membuat Aby tak percaya jika Maya bisa berpikiran seperti itu.

"Tapi, lo nyuci pakai tangan, May. Bukan pakai mesin, belum lagi nanti lo nyetrika. Kenapa lo malah nawarin jasa cuci pakaian dan setrika segala, sih?" Entah kenapa, Maya mendengar nada tak suka ketika Aby berbicara. Apakah cowok itu malu karena ia jadi buruh cuci dan gosok?

"Gue mau bantuin lo nyari uang, By. Emang salah? Daripada gue diem aja, mending gue cari apa aja yang bisa gue kerjakan, bukan? Gue juga nggak tega kalau lo aja yang kerja buat dapat uang. Apalagi, setelah gue tau pekerjaan lo itu berat." Maya menundukkan kepalanya setelah mengatakan itu, ada rasa sedih di hatinya. Cowok itu seperti tak bisa menghargai usahanya, padahal ia hanya berniat untuk membantu.

Selama sebulan ini Maya merasa malu karena menyusahkan Aby, apalagi cowok itu sampai harus meminjam uang pada Rio untuk biaya makan mereka.

Aby menghela napasnya, lalu memegang kedua bahu Maya. Membuat gadis itu mendongak, dan menatapnya.

"Lo nggak salah, May. Justru gue merasa bersyukur karena lo mau bantu gue. Tapi, nggak dengan jadi buruh cuci dan setrika juga. Itu banyak banget pakaian yang harus lo cuci dan setrika. Nanti kalau lo kecapean gimana?" Itu alasan kenapa Aby tak ingin Maya menawarkan jasa cuci dan setrika. Karena ia yakin, sebelumnya gadis itu tak pernah mencuci sampai sebanyak itu.

"Kerjaan lo berat dan capek juga, kan, By? Tapi, buktinya lo bisa bertahan sampai sekarang kerja di sana. Itu artinya juga gue pasti bisa ngerjain semuanya, cuma nyuci, jemur, habis itu setrika. Masih lebih mudah, ketimbang lo yang kerjanya berat banget."

"Beda dong, May. Gue cowok, sedangkan lo cewek. Kapasitas tenaga kita beda."

"Seenggaknya gue nyuci dan setrika sambil duduk, Aby. Dan nggak perlu panas-panasan kayak lo. Jadi, gue minta tolong, izinkan gue untuk melakukan ini. Hanya untuk sementara. Kan, kita udah sepakat, By. Mau kerja sama, kita mau lari dan manjat sama-sama. Biar nyampenya juga barengan, kalau sekarang gue cuma diem aja nunggu ditarik sama lo yang berusaha terus lari dan manjat. Kapan kita nyampenya? Gue tinggal bersama lo, bukan cuma untuk jadi beban lo. Tapi, mau bantu meringankan dan mengangkat beban lo juga." Aby tak tahu harus menjawab apa, rasanya ia bersyukur sekali bisa bersama dengan Maya. Meskipun mereka disatukan berawal dari kesalahpahaman, tapi yang ia syukuri adalah gadis seperti Maya yang ia dapatkan.

Jika bukan Maya, maka ia tak tahu apakah gadis itu bisa mempunyai pikiran seperti Maya atau tidak. Ia rasa tidak. Tetapi, untungnya saja orang yang kini bersamanya itu adalah Maya.

Selama mereka tinggal bersama, gadis itu tidak pernah neko-neko. Maya juga tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Ya, meskipun terkadang gadis itu keras kepala. Namun, masih tetap lebih banyak berpikir positif, daripada negatifnya.

"Gue boleh peluk lo nggak, May?" tanya Aby tiba-tiba.

"Huh?"

Tanpa kata lagi, Aby menarik tubuh gadis itu dan memeluknya. Membuat Maya mematung, baru kali ini mereka berpelukan. Dan entah kenapa tiba-tiba jantung Maya berdebar kencang.

"Andai lo tau, May. Gue suka sama lo udah dari lama, tapi gue nggak bisa bilang sama lo. Gue nggak tau gimana caranya, dan gue nggak mungkin juga bilang sekarang. Takut lo nggak nyaman sekiranya hati lo nggak suka balik sama gue, apalagi kita tinggal satu rumah," batin Aby.

"Aneh, gue heran kenapa jantung gue berdebar gini setiap kali deket banget sama Aby. Perasaan di dekat orang lain gue biasa aja." Maya membatin, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Dan lebih anehnya lagi, ia merasa nyaman dipeluk cowok itu.

"Makasih, ya, May."

"Gue yang harusnya bilang makasih sama lo, By."

Aby melepaskan pelukannya, lalu menatap gadis itu, seraya berkata, "Kalau kita bilang makasih, terus yang bilang sama-samanya siapa, May?"

"Harus banget bahas itu?" Cowok itu tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya.

"Oh ya, ada sesuatu yang mau gue kasih sama lo," ujar Aby setelah mengingat sesuatu.

"Apa?"

"Ikut gue." Aby menarik tangan Maya untuk mengikutinya, dan membawa gadis itu ke kamar. Lalu, ia mengambil tas yang ia simpan tadi, dan mengambil sesuatu di dalamnya. Setelah mendapatkannya, ia pun memberikannya kepada Maya.

"Apa ini?" tanya gadis itu, ketika Aby memberikannya amplop berwarna cokelat.

"Gaji pertama gue, totalnya 3 juta 900 ribu," jawabnya, membuat kedua mata Maya membulat.

"3 juta 900 ribu?" Aby mengangguk sebagai jawaban, saat itu juga gadis itu membuka amplop dan menghitung uang di dalamnya. Dan benar, jumlahnya sesuai dengan yang disebut cowok itu. "Kok, banyak?" tanyanya tak percaya.

"Alhamdulillah, May."

"Eh, iya. Alhamdulillah ... tapi gue masih penasaran, kenapa gaji lo banyak juga? Padahal, lo baru sebulan kerja."

"Gue dibayar 130 ribu per hari, jadi segitu gaji gue selama satu bulan penuh." Maya mengangguk mengerti, lumayan juga bayaran cowok itu. Tetapi, sesuai juga, sih, dengan rasa lelah Aby. "1,2 juta kasih ke Bu Hartati, buat bayar kontrakan. 300 ribunya bayar utang ke Rio, sisanya buat kita. Semoga cukup untuk sebulan ke depan, ya."

"Insya Allah, cukup. Ini gue yang pegang uangnya?" tanya Maya memastikan.

"Iya, lo yang pegang," jawabnya, yang langsung dibalas dengan anggukan gadis itu.

***

Rumah Sepasang LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang