Mondar-mandir.
Itulah yang Markie lakukan di dalam ruangannya sekarang. Urat-urat pada lehernya sampai menonjol sebab dirinya tengah berusaha mengontrol emosi agar nada bicaranya tetap terdengar tenang, meski beberapa hari terakhir ini ia sedang dilanda stress berat. Lelaki berkacamata itu mengurut bagian tengah dahinya sendiri, terlalu lelah bercakap dengan lawan bicaranya saat ini melalui telpon.
"Pak ... tolong lah jangan batu banget begini. Kalau Bapak gak mau bikin Mas banyak pikiran, harusnya Bapak nurut aja apa kata dokter."
"Gak, Bapak gak mau operasi. Bapak baca di FB juga katanya cukup jalanin pola hidup sehat aja."
"Bapak lebih percaya FB daripada kata dokter?"
Bapaknya Markie masih ngeyel, sungguh ia tidak tahu harus menasehati lelaki paruh baya itu seperti apa lagi. Pasalnya penyakit jantung Bapak ini hanya tersisa satu opsi saja untuk mengobatinya, yaitu dengan operasi. Tapi Bapak selalu menolak, entah apa penyebabnya, sang putra sudah tidak habis pikir lagi.
"Kenapa ya Bapak susah banget Mas kasih tahu yang terbaik? Jangan bilang Bapak masih aja perhitungan soal biaya?"
Bapak yang sedaritadi banyak melayangkan alasan tak berdasar, kini terdiam seribu bahasa. Itu artinya tebakan Markie kali ini benar, bikin lelaki itu menghela napasnya frustasi. "Pak ... astaga."
"Bapak gak usah pusingin yang gak perlu lah, kondisi kita udah beda dari waktu dulu. Mas sekarang sudah mampu biayai Bapak berapapun itu asalkan Bapak bisa sehat."
"Simpan aja uangmu buat masa depanmu. Buat apa sih repot-repot biayain Bapak yang hidupnya juga udah gak lama lagi."
"Jangan ngawur, P-"
TOK! TOK!
"Kie! Ini si PT NEO minta interest rate-nya di- eh, sorry lagi ada telpon ya?" ujar Hadian yang hendak pergi keluar lagi dari ruangannya Markie.
"Di, tunggu. Udah selesai kok, duduk dulu aja," jawab Markie sembari memberi gestur 'tunggu sebentar' kepada Hadian dengan jari telunjuknya, ia lalu berbalik badan dan memelankan suaranya pada lawan bicaranya di telpon. "Nanti kita lanjut lagi. Angkat ya kalau Mas telpon, oke Pak?"
Seselesainya menutup panggilan telpon, Markie lekas duduk di depan Hadian dengan senyuman tipis. Hadian perhatikan raut wajah lelaki berkacamata itu, menelaahnya penuh penasaran.
"Habis nelpon Bapak kamu? Ada masalah? Muka kamu lesu amat kayak gak makan sebulan?" ujar Hadian menghujaninya dengan banyak pertanyaan, tapi Markie hanya meresponnya dengan tawa kecil.
"Gak apa-apa. Biasalah si Bapak suka susah disuruh ke rumah sakit, haha. Jadi gimana tadi rate-nya mau diapain ini?" jawabnya mengalihkan topik pembicaraan.
Tentu Hadian menyadari kejanggalan tersebut, tapi ia rasa tak sebaiknya menekan Markie untuk menjawab segala rasa penasarannya. Ia pikir Markie pasti akan menceritakannya sendiri nanti, mungkin di waktu pulang? Di luar jam kerja? Ya, Hadian akan menunggunya saja.
Sampai tiba waktunya pulang, Hadian menatap ruang obrolannya yang tak direspon oleh pacarnya itu. Padahal tadi pagi mereka berdua sudah berencana untuk makan malam bersama sepulang kantor nanti, tapi nampaknya Markie lupa. Maka Hadian pun berjalan menuju ruangan Markie untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan orang itu.
Begitu sampai di depannya, ia melihat dari luar ruangan yang tirainya tak tertutup itu. Tampak Markie sedang menelpon dengan ekspresi serius, bahkan terkesan sedikit ... marah. Tidak lama, ia mengakhiri panggilan itu dan meletakkan ponselnya kasar di atas meja. Lelaki itu lalu melepas kacamatanya, mengusap wajah hingga ke rambutnya frustrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTRAST | MarkHyuck
FanfictionHaechan dan Mark. Kalau kata orang sekitar, mereka itu bagai Air dan Minyak, enggak bisa nyatu soalnya sangat kontras. Haechan galak dan Mark kalem. Haechan banyak bacot dan Mark minim bicara. Haechan ditakuti dan Mark disenangi. Walau begitu, kedua...