Ep 3 : Hujan

9.4K 726 12
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Back Song Recommendation :Michael Jackson - Love Never Felt So Good

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Back Song Recommendation :
Michael Jackson - Love Never Felt So Good

Markie tuh kalau kemana-mana selalu bawa motor, atau kadang naik transportasi umum. Soalnya dia malas bawa mobil, Jakarta itu selalu macet. Jadi dia lebih pilih bawa motor saja dari pada harus mengorbankan waktu tidur paginya demi berangkat cepat menghindari macet kalau pakai mobil. Naik motor kan bisa nyelip-nyelip dan lebih cepat sampai kantor meskipun tidak berangkat dari matahari belum terbit.

Berbanding terbalik dengan Hadian, mana sudi dia terkena debu dan asap dari pagi. Ia akan selalu bawa mobil kemana pun ia pergi, biar saja harus bangun dari pagi buta, asalkan tiap helai rambutnya tidak perlu terkena polusi udara dari padatnya lalu lintas Jakarta di pagi hari. Jadi sebenarnya sudah menjadi sebuah 'kebiasaan' baginya untuk pulang bersama Markie setiap hujan mengguyur kota, toh rumah mereka searah.

"Sudah? Enggak ada yang ketinggalan?" celetuk Markie, sudah siap di bangku pengemudi. Hadian yang duduk di sisinya pun menggelengkan kepalanya sambil memasang sabuk pengaman.

"Gas," jawab Hadian singkat. Tidak lupa ia nyalakan radio mobilnya yang sudah tersambung ke Bluetooth ponselnya, memasang album Michael Jackson favoritnya sebelum menyamankan posisi di kursi penumpang dan siap tidur.

Markie pun menurutinya, mobil melaju keluar dari tempat parkir dan segera disambut suara riuh tetesan hujan yang begitu deras malam itu. Jalanan masih padat saja rupanya, padahal sudah lewat dari jam pulang orang lain pada umumnya.

"Di, tidur?" tanya Markie pelan, takut jika ternyata ia mengganggu istirahat sang pemilik mobil.

"Belom, kenapa?"

"Gimana hari ini?"

"Biasa, dibuat bete sama lu."

Markie tertawa. "Makanya, Di. Tolong, lebih teliti lagi."

"Sekali lagi lu sebut kalimat itu, keluar dari mobil gue."

"Siap, salah Pak."

Terdengar Hadian ngedumel pelan, lalu keheningan melanda seisi mobil Camry Hadian sampai akhirnya sang pemilik mobil sendiri yang kembali membuka obrolan. "Lo sendiri? Apa kabar hari ini? Ada yang bikin jengkel?"

"Enggak juga, biasa aja." Markie jawab sambil berpikir. "Oh iya, hari ini saya habis interview calon karyawan baru."

Hadian mengangguk-angguk. "Gimana tuh orangnya? Oke gak?"

"Menurut saya sih lumayan lah. Baru lulus kuliah, anaknya kelihatan kompeten dari cara bicaranya," jawab Markie, tetap memfokuskan pandangannya ke jalan di depan mereka. "Cantik lagi."

Hadian menaikkan sebelah alis matanya, ia lalu menggulung kedua tangannya di depan dada. Markie menyaksikan pergerakan Hadian dari sudut matanya, sedikit bingung karena yang lebih muda tidak langsung memberinya respon.

"Pak Aheng yang bilang, sih," tambah Markie melanjutkan perkataannya sebelumnya.

"Bilang apa?"

"Kalau anaknya cantik, Pak Aheng yang bilang dia cantik," jelas Markie yang malah terdengar repetitif, seakan berusaha memperjelas kata-katanya.

"Oh," jawab Hadian singkat. "Menurut lu sendiri? Gak cantik emang?"

"Hm ... karena saya terbiasa lihat yang lebih cantik, jadi saya rasa dia lumayan aja bukan yang cantik banget kayak orang itu."

Hadian tertawa sarkas, kakinya bergoyang-goyang kencang seperti penjahit. Entah kenapa kesal rasanya mendengar perkataan Markie.

Dimana pula lelaki rumahan itu melihat wanita-wanita cantik lainnya sampai ia bisa membandingkan penampilan yang satu dengan lainnya? Ternyata Markie sudah bukan lagi anak culun penggemar konspirasi alien yang lebih pilih berdiam diri di rumah sepulang kuliah seperti dulu. Di luar sepengetahuan Hadian, sepertinya Markie sekarang telah berubah menjadi manusia yang lebih sosial meskipun itu disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang mewajibkan mereka bertemu berbagai macam klien.

"Loh, kenapa gue harus kesel sih?!" batin Hadian.

"Iya dah yang sekarang ketemu dan bergaulnya sama klien-klien perusahaan gede, cakep-cakep glamor plus tajir, jadi liat bocah fresh graduate gitu udah kagak sreg lagi ya?" ujar Hadian tersenyum miring. "Siapa tuh yang cantik banget itu kata lu? Itu ya, komisarisnya PT Samudera kemaren? Iya sih, gue juga ngerasa dia cakep walau gue gak demen."

"Enggak, bukan," jawab Markie cepat, sangat tidak setuju atas tebakan Hadian. Hadian terdiam sejenak. Dia penasaran, tapi rasanya jika terus mengorek informasi, yang ada dia bisa makin sebal jika tahu faktanya ternyata tidak sesuai keinginannya.

"Udah ah, gue mau tidur," Hadian memutar tubuhnya sedikit menyerong menghadap jendela sambil memejamkan kedua matanya, membelakangi Markie yang fokus menyetir.

"Kamu, Hadian," kata Markie di tengah keheningan.

"Hah? Apa?" tanya Hadian sambil menoleh, ia pikir Markie memanggilnya.

Markie diam saja, ia lekas memutar kepalanya ke arah lain, tidak ingin pipi meronanya diketahui oleh Hadian.

"Gak jelas." Dengan hati yang masih agak gelisah, Hadian tetap tidak bisa melawan kantuk dan sukses terjun ke alam mimpi selama perjalanan.

TBC

CONTRAST | MarkHyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang