4. CINTA ITU AMBISIUS

94 19 22
                                    

"Sebenarnya, cinta itu ambisius. Ampun ngantos khawatir, kamu bahagia di tangan saya! Kulitmu belum bisa saya sentuh, tapi tidak dengan batinmu."

—Askar Al-Azhar Syauqi—

"Mm, tapi boong, hahaha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mm, tapi boong, hahaha ...."
"Issh, nyebelin banget kalian!" seruku.

"Hehe, maaf-maaf. BTW, Gus Azhar semakin menunjukkan keseriusannnya ke kamu. Heran dah, napa gak milih nikah dulu aja, sih? Terus kamu bisa kuliah bareng di sana," kata Ni'ma.

"Gak, itu sudah keputusanku. Aku benci banget digituin, bukannya menunjukkan keseriusan, tapi bikin aku jengkel!" keluhku.

"Ini kamu deh yang sulit, Fa. Penawaran seindah itu masa kamu malah milih berpisah jauh, betah banget! Kamu sebenarnya suka 'kan sama Gus Azhar?" Sari menambahkan argumen.

"Maaf, aku belum bisa terbuka soal cinta kepada kalian. Kalau aku udah nikah ... berarti sudah lebih menjadi milik Gus Azhar, sedangkan dipikir-pikir, berapa tahun sih kita hidup di dunia? Perjuangan orang tua itu besar, loh. Aku ingin menghabiskan beberapa tahun setelah dari pesantren bersama orang tuaku dulu. Aku belum ingin umur 20 ke bawah nikahnya," jawabku.

Ada gertakan untuk nikah cepat. Namun, ini juga bukan balapan. Bagus, pendapat sahabatku yang memang setuju dengan itu, tetapi aku juga berhak mengutarakan apa yang lebih jadi alasanku. Karena hidup di dunia ini, mau melakukan apa saja, pasti hukum resiko dan kelebihan itu ada. Jika merasa tidak ada, berarti kitanya saja yang belum menemukan.

"Cara aku ngono langsung gass, gak mikir ke situ. Mantunya Kiai loh, Cah!  Yakin gak berubah pikiran Fa?" tanya Rini.

"Menikah itu bukan sekedar menginjakkan satu langkah tanpa tanggungan," jawabku

"Iya, terserah kamu ya, tapi aku saranin, nikah aja, toh nggak kebanyakan maksiat," imbuh Alfi.

"Yaa ... udah bahas itunya. Nanti aku cerna lagi, makasih kalian wes nyaranin banyak buat aku, tapi maaf ketika nanti keputusanku berbeda." Sembari membuka kitab aku mengakhiri obrolan untuk kembali syawir.

***

"Gus, tamtu bidal?" tanyaku.

"Insyaallah, ngapuntene gak bisa membacakan makna untukmu lagi secara langsung," jawabnya.

Belum berangkat saja rinduku sudah menumpuk. Namun, ini juga ulahku sendiri, malah menyuruh Gus Azhar kuliah dulu dibanding tawaran menikah. Tidak perlu aku terlalu merenungi, karena diri juga tidak bisa bohong, belum bisa aku menikah secepat ini.

"Memangnya bisa secara online?" tanyaku.

"Tidak, sama Abi diwejangi, kita gak boleh saling save nomer untuk sekarang. Di medsos lain juga gak bisa. Semua medsosku ganti, suatu saat jika sampean sudah menemukan, kata Abi boleh chat yang penting tetap sesuai  batas.  Ini salah satu cara biar kita tidak terlalu terjebak maksiat, kalau mau block .... kata Abah ... Athifa nggak perlu dengan cara itu." Gus Azhar terlihat lesu, ia mengeluarkan napas panjang.

 Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang