"Cinta itu obat. Kepahitannya memang memberi buah manis, tapi salah takaran dan resep, mudah sekali membuatmu tenggelam ke lautan tangis."
-Ni'matul Jannah-
"Memangnya kula pacaran? Gus tahu dari mana?" tanyaku.
"Surat ini. Apa maksud kamu berani seperti ini, hah!" teriak Gus Afif.
Beberapa pengurus keamanan sudah berjejer di sampingku. Kaget, ada beberapa teman yang lain juga yang ikut disidang. Ternyata pelanggaranku kali ini berjamaah, hebatnya diriku.
'Astaghfirullah.'
"Kula mboten pacaran," jawabku.
"Bangga! Bangga bisa melanggar bersamaan! Kalian ini memang kurang garam! Sepertinya hukuman harus ditambah. Dari kamu dulu, Ma. Bukan pacaran tapi perilakunya mencerminkan pacaran, ini namanya apa?" Gus Afif melotot keras, sudah tidak ada yang berani mendongak, kecuali aku.
Ayo, Gus! Kenapa hukumannya tidak dikeluarkan saja, apa perlu mengakui kalau sudah pacaran banyak hari? Rasanya sudah tidak betah. Akan tetapi, setiap niat brutalku akut, untuk benar-benar mengangkat kaki ini seperti tersendat dengan teringat Gus Afif, semangat yang luntur kembali tumbuh. Benar kata orang, kita bisa menyadari akan petunjuk baik itu ketika kita sudah merasakan titiknya, cintaku untuk Gus Afif mampu mempertahankan diriku bertahan lima tahun di pesantren.
"Sek pengen lanjut apa kok lereni?" tanyanya.
"Nggih, leren," jawabku
Mulut oh mulut. Sulit sekali dikompromikan dengan hati. Keberadaan Gus Afif selalu menyeret mulut untuk berkata seperti itu. Luka itu memang bisa sembuh, tetapi bagaimana dengan bekas yang diberikan? Bukan dendam, tetapi ketika masalah yang sudah selesai terus dipancing, bagaimana bekas tersebut tidak kembali untuk terluka?
"Otak itu neng ndas, neng nduwur, disunggi! Wong wedok kok nyah-nyoh! Otekmu kok deleh ndengkul po piye! Kecewa pol saya sama kamu, Ma." Beliau merobek suratku.
Jadi kasihan, Gus Afif melepas kopiahnya dan memejamkan mata sejenak. Aku yang super tega jadi lemas, tidak mungkin jujur dengan maksud aku yang sejujurnya, ini terlalu mustahil, yang ada masalah semakin besar. Aku pernah dijudge kakak kelas tersebut menjadi anak yang tidak sopan, difitnah yang katanya pernah ini pernah itu saat di rumah. Pernah saat itu, ada yang menyebarkan gosip aku berduaan ke warung sama cowok bukan mahram, yang katanya hal tersebut cuma fitnah.
"Kula siap dihukum." Mencoba buka mulut saat heningnya waktu.
"Ora takon, ora njaluk pendapat! Kamu memang wajib dihukum!"
'Tidak masalah aku mendengarkan, menerima kata pedasmu, aku tetap mencintaimu, Gus. Apa njenengan gak punya sedikit saja rasa untukku? Teganya,' batinku.
"Kalian ke kamar dulu saja, nanti malam ba'da Isyak ke sini lagi!" Dengan langkah cepat, Gus Afif keluar dari ruang sidang.
Aku orangnya penasaran banget. Mau ke mana Gus Afif yang keadaannya masih kesal, kecewa tingkat dewa denganku malah pergi naik motor punuk untanya. Pikiran diri ini jadi ke mana-mana, aku lari ke dapur yang mana di sana ada Gus Azhar dan langsung lapor.
"Gus, Gus Azhar. Kakak njenengan mau ke mana?" tanyaku panik.
Sama seperti Athifa. Aku juga seperti teman dengan Gus Azhar, dia sudah akrabnya pakai banget, tanpa ada celah canggung kalau berhadapan dengannya, kecuali saat-saat tertentu. Para Bestod belum tahu akan sidangku, mereka malah tertawa bersama Gus Azhar mendengar pertanyaan yang aku lontarkan.
"Kok kalian ketawa, sih? Aku serius," ucapku.
"Cieee, yang perhatian beralih. Lapor ah ke Kak Afif," goda Gus Azhar.
"Hahaha, Gus Tampan memang cocok sama para Bestod, Guys! Udah dua yang lampu ijo," ledek Rini.
"Heh! Rin, kamu tau tempat dong, ini tidak lagi bercanda! Gus Afif pergi dalam keadaan kec-"
"Hah? Kenapa?"
"Kecewa."
"Yang bener? Tadi bicara apa dipanggil ke ruang kerja?" tanya Gus Azhar.
"Aduh, gini Gus, jadinya bukan ruang kerja. Penjelasannya belakangan, yang penting sekarang tolong susul arahnya ke selatan. Kalau aku yang nyusul entar kena pelanggaran lagi. Cepat Gus!" rengekku.
***.
"Gak bisa, ternyata Kakak sudah dijodohkan dari bayi," kata Gus Afif.
"Ingin nikah di tahun yang sama seperti keinginan waktu itu?"
"Bismillah tahun depan,"
"Aamiin."
Aku dan para Bestod kebetulan lewat dan hanya mendengar pembicaraan mereka kalau sudah dijodohkan dan akan nikah tahun depan. Reflek para Bestod ikut mengucap Aamin dengan lirih, kecuali diriku yang tidak peduli menampilkan wajah cemberut. Jelas sakit hati meskipun sadar kemungkinan Gus Afif sudah dijodohkan, cinta tetaplah cinta, selama qobiltu belum terpangku, masih ada peluang emas untukku.
'Wes-wes, tak gondeli lehku neng pondok, tapi malah mbok tinggal rabi. Yo tan soyo remuk, Gus! Repote cinta ke Gus iku kudu siap sakit hati, mergo kebanyakan perjodohannya wes menanti dan dinanti!'
Kalau ditanya soal niat, jujur aku sedang hancur saat ini. Hancur karena mulut pedas itu, mulut pedas yang menjelekkan nama baikku saat menjadi santri baru, ditambah hasutan supaya teman-teman menjauhiku, ini yang menjadi pemicu nakalku. Salah satunya penyemangatku masih bertahan di pesantren itu karena naluri perasaan cintaku ke Gus Afif, tetapi sekarang malah mendengar perjodohannya sudah di depan mata, tekadku meluncur ke jalan nakal supaya dikeluarkan pun rasanya semakin sangar.
"Ma, kamu cemburu?" celetuk Rini.
"Apaan?"
"Cieeee, Mas Ahmad gimana dong," ledek Alfi.
"Kalian apa-apaan, sih? Jelas aku masih kesal karena sidang tadi itu," sahutku.
"Mmm, tapi kamu kok gak nangis kayak yang kena sidang ya?" imbuh Sari.
"Mungkin karena Ni'ma pro sama Gus Afif. Kita juga tahu kan, perlakuan Gus Afif ke Ni'ma emang beda, kayak udah dianggap adik kandungnya," ungkap Athifa.
"Banyu mata larang, Guys! Weslah, males krungu namanya," sahutku.
"Helooo! Gus Afif guru kita ... hati-hati tuh mulut bicaranya!" seru Sari.
"Upssss, si paling killer," kata Alfi.
"Udah jangan bahas Gus Afif!"
***
"Ni'matul Jannah, pengenmu apa sangka nglanangan? Pulangmu juga lama, kenapa? Chat-an karo Ahmad? Dadi wong rasah sok kebal, awale nggor lirik-lirikan, tapi kamu harus sadar, cinta niku gampang ndadekne perkara cilik dadi gedi, kriwikan dadi grojokan. Yo kok sek dibaleni eneh tadi di sekolahan lungguhe saling nyedek. Apa nggak mesakne jodohmu seng cemburu?" tanya Gus Afif.
"N-ngapunten, menawi hukumannya ngantos harus boyong, mboten masalah ... siap nampi," jawabku.
Rasanya sudah tidak kuat, apalagi tahu kabar tentang pernikahan beliau. Namun, diriku juga sadar, sudah sejauh ini aku melangkah. Terbayang jelas, betapa sedihnya keluarga dan teman-teman yang selalu berusaha menyadarkanku, memberi kekuatan atas sakitnya hatiku. Terbayang juga, meskipun Gus Afif seperti ini, ia selalu memberikan apa yang saat itu ingin aku lakukan, yang mana dampaknya memberiku banyak sekali manfaat, seperti waktu itu aku ingin menguasai alat-alat Habsyi.
"Kamu ini sengaja cari jalan untuk boyong? Hah!" teriak Gus Afif
KAMU SEDANG MEMBACA
Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri
Romance"Setiap jiwa punya cerita, setiap raga punya cita, setiap hati punya cinta." "Hancur, rapuh, sakit dalam cerita, cita, atau cinta bukan berarti hidupmu sirna. Hanya saja masih waktunya harus melawan lara. Sampai kapan? Sampai Tuhan menitik masa, d...