25. CINTA ITU BUAS

23 6 1
                                    

"Cinta itu buas, kamu perlu banyak pedang untuk menghadapinya."

—Tika Sari—

"Jika urusannya dengan cinta ... Masyaallah males banget Ya Allah ...." batinku.

Sebenarnya cobaan aku di pesantren ini tidak terlalu di masalah cintanya, aku baru dihadapkan dengan cinta itu ya ketika Aliyah ini tatkala ada kabar-kabar tentang itu para Bestod mau menjodohkan-menjodohkan dan ternyata Gus Hannan sudah ke orang tua aku. Cobaan yang paling aku rasa berat itu memang masalah pertemanan mulai dari sebelum aku menjadi pengurus sampai yang menjadi Mbak Santri ndalem dengan para Bestod. Namun, sepertinya saat ini ada karena unsur cinta sekalipun topik yang meresahkan bukan di antara aku dan Gus Hannan.

"Badan penyelidik usaha-usaha pencarian Mbak Rata bermotif apa akan segera berjalan! Ah, aku dah banyak hapal kebiasaan dia!" celetuk Ni'ma.

"Hmmm, kita nggak tinggal diam, Sar. Kita pasti bantu kok," imbuh Athifa.

"Bersyukur banget ada kalian. Suwun banget, Guys!" Aku merangkul mereka setelah beres bersih-bersih.

Setelah Mbak Rata itu reda dengan Ni'ma, sasaran Mbak Rata seperti berpindah ke aku. Biasanya saat malam Jumat waktu pengumuman pun dia yang  bagian keamanan diberi kesempatan untuk berbicara ke semua santri, tetapi justru menjatuhkan pengurus kebersihan. Entahlah kalau masalah hati dia ingin memberikan yang terbaik, tetapi mulutnya dan perlakuannya terlihat kasar, ada buktinya kalau ia menjatuhkan.

"Guys, ingat kan waktu aku cerita tentang liciknya Mbak Rata memfoto sampah?" tanyaku.

"Iya, inget-inget," jawab Ni'ma.

"Nggak salah kan, dan udah kelihatan dari sana kalau mau menjatuhkan. Menurut kalian gimana?"

"Gak salah, Sar. Emang si Mbak Rata itu .... hhhhhhhh!" Alfi menghembuskan napas panjang, kesal sekali.

Belum terlalu lama, waktu ada acara haul di pesantren itu sudah jelas kalau setelah itu memang ada banyak sampah yang berserakan dibanding biasanya, namanya juga habis acara. Belum apa-apa  sudah difoto dan dijadikan dokumentasi untuk pembahasan di malam Jumat, itu keadaannya masih sangat pagi baru selesai ngaji wajib.  Apa itu kalau bukan menjatuhkan namanya? Akan tetapi, hal itu juga tidak diketahui oleh santri lain dengan siasat Mbak Rata bilang menfotonya tidak tidak di waktu yang pagi, waktu mudah bukan untuk diedit?

Sayangnya aku tidak punya bukti resmi untuk melawan itu. Masih tega loh sejahat itu? Hanya dengan dua mata kepala sendiri aku melihatnya, tetapi memang sengaja tidak aku tegur karena ingin melihat permainan apa yang ingin dilakukan meskipun ya harus mengorbankan kalau posisiku menjadi pengurus kebersihan terkesan terjatuh. Karenanya lagi meskipun aku angkat bicara dia pasti akan memberikan alasan lain dengan alasan itu sudah dikirim ke ponsel yang untuk waktu pagi atau apapun, apalagi aku tidak memegang bukti resmi.

"Mbak Rata itu atos banget! Makanya waktu itu aku sama Athifa pas bahas Mbak Rata ... aku nggak mau menyelesaikan empat mata, terlalu malas buat bicara sama orang seperti dia! Nggak tlaten! Nggak setlaten kamu Sar yang kadang kamu coba bicara empat mata,"  kataku.

"Kalau aku tak biarkan biar ngerti siasat dia mau apa, ya ternyata biar kesannya tanggung jawabku sebagai pengurus kebersihan ratingnya buruk, tapi semakin ke sini aku jadi merasa dia punya motif lain yaitu ... ada kaitannya dengan Gus Hannan," jawabku jujur sesuai isi hati.

Terkadang bukannya malas menyelesaikan atau takut, tetapi lebih baik diam daripada bicara tidak dianggap. Mungkin Mbak Rata sudah terlalu cinta dengan keributan, makanya sangat buas kalau melakukan penindasan! Ah, bodoamat bahasaku keterlaluan!

Aku pun sudah sering mencoba untuk mengklarifikasi empat mata maupun dengan banyak mata dengan Mbak Rata, cuma yang masalah waktu itu masih aku biarkan. Kalai bicara dengan dia harus siap dengan cerdasnya dia  membius banyak orang. Hingga yang sifatnya ikut-ikutan mudah sekali terpengaruh aduannya.

Contohnya seperti Mbak Harum. Ikut-ikutan mana Yang ia rasa seperti seakan-akan tentara dia padahal dia sangat kejam. Ikut-ikutan mana yang trending, ikut-ikutan mana yang sekiranya tidak terjatuh padahal jelas yang diikuti salah,  itu adalah sifat orang-orang yang sangat tidak aku sukai.  Pusing Ya Allah!

"Haduh, mumet ki piye Cah. Sek tak ke dapur ambil minum dulu," kataku.

"Moga kamu kuat ya, kita hadapi bareng-bareng." Rini mengusap pundakku.

Saat di dapur kulihat dua orang sedang bertengkar saling mengela.  Awalnya, kukira santri  putra yang saling tunjuk  karena diutus untuk masuk ke ndalem Abah Syauqi, ternyata Gus Hannan dan Gus Afif. Ada apa dengan mereka?

"Nguping dulu aja," batinku.

Ternyata Gus Hannan memberi pembelaan kepadaku dan diberi bantahan oleh Gus Afif, begitu pula sebaliknya. Gus Afif membela hukuman dijatuhkan untuk seluruh santri supaya roan bersama dengan alasan supaya  Sedangkan Gus Hannan setujunya Mbak Rata membersihkan sendiri dan kurang benar kalau yang dimarahi habis-habisan adalah pengurus kesehatan dan ketua. Menurut kronologi yang aku jelaskan saat semua santri disidang, itu yang bisa Gus Hannan tangkap, beliau menguping dari balik tirai, tidak mau ikut campur kakaknya sewaktu menyidang kami.

"Kamu berpikir atau terbawa perasaan!" bentak Gus Afif.

"Kak, saya tidak memandang sedikit pun dari sisi tersebut. Kalau pun pengurus kebersihan bukan Sari, menurut saya memang Kak Afif tadi keterlaluan dan terlalu memanjakan Rata!" kilah Gus Hannan.

Namun, di sini aku setuju dengan Gus Hannan. Mbak Rata terlalu dikasih hati! Gus Afif tidak salah dengan yang beliau lakukan dengan tujuan saling menyadarkan sikap sosial kita, tetapi memang kurang pas Mbak Rata tidak dapat hukuman tersendiri.

"Gak! Menyadarkan seseorang itu terkadang lewat sosial juga, tidak harus tertegur melalui hukuman," timpal Gus Afif.

"Tapi ... Kakak pasti tahu kan? Hari ini cap pesantren jadi bagaimana setelah kejadian begitu? Kalau santri-santri takut bagaimana terutama santri baru?"

"Ya kamu pikir dengan adanya hukuman untuk Rata, santri-santri jadi nggak takut! Di sini permasalahnnya bukan itu, tetapi memperbaiki kepekaan tanggung jawab masing-masing!" Gus Afif menghentakkan kaki, tidak menyangka adiknya yang paling kalem tetap saja belum terima, ini aneh dan Gus Afif menganggap bahwa Gus Hannan hanya terbawa perasaan yang tidak tega dengan Sari.

Hal lain yang menyebabkan Mbak Rata tidak bisa dihukum itu karena Gus Afif tidak suka ada hukuman yang sifatnya tidak tertulis. Gus Afif ini meskipun killer, ia  tidak mudah menjatuhkan hukuman yang tidak disepakati dengan tulisan. Menurut beliau itu sebuah kewajaran saja karena sebagai manusia tidak lepas dari salah.

"Lah, ini emang bahaya untuk pandangan santri. Apalagi kalau santrinya bercerita ke orang tua dan anggapan orang tua jadi buruk tentang pesantren! Ya Tuhan ... aku jadi merasa bersalah udah teriak-teriak!" batinku.

"Sari, kamu dari tadi di situ?"

Aku kaget, Gus Hannan tahu keberadaanku yang sembunyi di balik pintu.  Gugup sekali rasanya, bagaimana kalau aku pingsan soalnya kepalaku juga sedang pusing.

"Sar, awas!"

 Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang