"Cinta tidak perlu disalahkan, tapi perlu diarahkan."
"Setiap jiwa punya cerita, setiap raga punya cita, setiap hati punya cinta."
"Hancur, rapuh, sakit dalam cerita, cita, atau cinta bukan berarti hidupmu sirna. Hanya saja masih waktunya harus me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mboten, Gus. InsyaAllah sudah mengerti makna tersirat yang Gus Azhar katakan," jawab Athifa.
Teduh sekali tatapan Athifa menghadap ke bawah. Memang acara khitbah ini tidak ramai dan hanya Ummi Aisyah, Abi Syauqi, serta Bunda Hajar dan Ayah Hamzah orang tua dari Athifa yang tahu. Para santri tahu kalau saya hanya prank, tetapi mereka tidak tahu kalau saya mau menkhitbah Athifa dengan segala persiapan mendadak dan seadanya.
"Masyaallah, kamu minta apa dari saya?"
"Minta ... rambutnya kalau waktu akad nanti usahain sampun gondrong, nggih?" Tampak mulai mengangkat kepala, terapi wanita sholihah ini segera menundukkan pandangan lagi.
"Kenapa suka gondrong?" tanya saya.
"Ngapain nanya alasan kalau mboten purun siap melakukan apa yang aku inginkan?" tanya Athifa.
"Fa.. loh Fa ke mana?"
"NgadepiAthifangotenniku lo Le, siap tenan? Dia benar-benar apa adanya. Ngambek nggih ngambek nggak peduli disawangsintenmawon."
"Hehe, Insyaallah siap, Ayah. Azhar malah seneng, justru niku ngelatih Azhar supados dadostiyang ingkang sabar, teliti." Jujur saat ini jantung saya berdegup lebih hebat, takut tiba-tiba ditolak.
"Fa, sini lagi Nak."
"Saya siap buat gondrongin Fa, wkwk. Ampun kecewa, Nduk. Ngapunten wau belum jawab udah nanya alasan."
"Sayang, momen romantisnya yuk dilanjut!" seru Ayah Hamzah.
"Gus Azhar ampun ngeledek pas wekdalngeteniki!" celetuk Athifa.
"Nggih-nggihngledeke pas wekdal napa parenge?" ledek saya.
Seluruh keluarga kami tertawa lega melihat Athifa kembali ke ruang tamu meskipun masih berwajah datar. Andaikan Athifa sudah siap, hari ini juga langsung saya nikahi, tetapi krena belum siap, mungkin Allah masih memberi banyak waktu untuk saya lebih giat lagi dalam tirakat untuk saya dan Athifa sebelum berstatus sebagai seorang suami. Dia benar-benar harus dijaga dan didukung untuk mempertahankan mahkota indahnya yang memutuskan untuk tidak mau menodai cinta yang Allah berikan. Sesampainya saya pulang ke pesantren, bayang-bayang Athifa masih terus berkeliaran.
Kak Afif: "Dik Azhar, undangane pun ditata?"
Azhar: "Sampun."
Kak Afif: "Dengaren cuek satu kata. Biasaneumek dari Sabang sampai Merauke. Melek rabi piye?"