"Cinta itu tanggungan. Jikalau lontaran pedas mengenai, kamu harus punya penangkal. MODE TOBAT: PENANGKALNYA KUAT IMAN, GUYS!”
—Ni'matul Jannah—
"Nek kamu nggak manut, tetap saja berulah karo lanangan, saya sudah lelah ngomongi Ma. Wes sak karepmu, ora ngurus!" Gus Afif membanting catatan laporan dalam map yang diserahkan pengurus keamanan.
Bukannya semakin baik, namaku terus saja menjadi buruk. Terlebih, sekarang semua penduduk pesantren tahu akan kesalahanku surat-suratan yang belum juga berhenti setelah sidang pertama. Ya, aku ingin kabur saja rasanya, tidak peduli dengan yang namanya nama baik.
'Aaaaaaaaaaaaa!' Aku ingin menjerit, tapi hanya bisa menjerit dalam batin sembari menahan jatuhnya air mata.
Kalimat Gus Afif kali ini sukses membuatku sakit hati luar biasa. Ia sudah angkat tangan, tidak peduli lagi denganku. Ternyata, tidak dipedulikan itu lebih sakit dari sepanjang kata tajamnya. Jadi berpikir, apakah sebenarnya para kakak kelas itu mau menasihati, cuma salah jalan atau memang sengaja? Tetap saja, mereka tidak mendahulukan adab.
***
"Jauhi saja! Aku tidak pantas menjadi santri seperti kalian," ucapku.
"Ma, harus kuat. Kami tidak pernah membencimu," ungkap Alfi.
"Sss, gak ada seng gak pantes jadi santri, walaupun itu seorang preman pun. Hatimu telah ditunjukkan untuk di sini lima tahun, pertahankan! Bukan kesalahan yang harus merusak perjuanganmu selama lima tahun ini." Sari merangkulku.
"Kamu lupa? Kita ini sahabat. Kamu sakit kita sakit, kamu nangis kita nangis, dan itu sama sekali bukan beban buat kita, justru ini adalah jalan di mana hati saling tersambung untuk menciptakan karakter yang lebih peka lagi. Karena pada dasarnya, membangun kepekaan itu sulit, Ma, padahal kepekaan adalah perkara yang harusnya melekat pada diri kita supaya tidak terlalu banyak air mata yang meronta," ungkap Athifa.
"Peeeehh! Kanca kenthel nggak boleh begitu. Kamu ojo ngeyel nggendak mbi Ahmad ae! Waduh, cosplay jadi Gus Afif, hehe," kata Rini cengengesan.
Sahabatku memang lain. Mereka tidak menjudge dan membenciku di saat aku tertabrak kesalahan astral yang sebenarnya belum separah yang ketahuan pacaran langsung, tetapi tetap membuat Gus Afif sampai di titik tidak peduli. Mereka memberi dukungan, menguatkanku dan tetap merangkulku untuk semakin baik. Sasaran boyong tetap saja belum berhasil, sedangkan telingaku semakin panas mendengar hujatan dari sana sini, hanya para Bestod yang menjadi esnya.
"Aku mau boyong aja, gak betah sama ucapan pedasnya kakak kelas kita," ucapku lagi.
"Kamu kok ngeyel to Ma. Suasana genting malah boyong, mau jadi apa nama kamu?" tanya Alfi geram.
"Please jaga nama baik kamu, jangan alihkan permasalahan yang belum selesai! Kamu pikir ada tempat yang isinya selalu orang-orang yang kita suka? Fix, gak ada!" lanjut Sari.
***
"Gus, niki daftar santri yang sekarang di ruang kesehatan," ucapku.
"Ya," jawabnya singkat.
Masih dengan wajah yang sama, acuh denganku. Gus Afif malah memanggil Alfi yang lewat di depan ruang kerjanya, apa aku dianggap batu? Sakit lagi, kini yang ditanya-tanya mengenai santri sakit malah Alfi sebagai pengurus koperasi, sedangkan diriku yang lebih memegang hal tersebut karena aku pengurus kesehatan. Satu kata saja tidak ditanyakan untukku, terbukti tidak pedulinya Gus Afif masih saja ada, hanya bisa berusaha mundur dan membiarkan Alfi menjawab semuanya.
"Al, 50 anak masih ada yang panas tinggi sudah lebih dari tiga hari?" tanyanya.
"Mboten, Gus," jawab Alfi.
"Makanan mereka terkendali kan?"
"Nggih, Gus. Kemarin ada yang mboten purun makanan yang direkomendasikan dokter, tapi Alhamdulillah dengan mengingat kalau yang seharusnya dimakan itu adalah kebutuhan bukan sekedar suka tidaknya, habis kok seporsi," jawab Alfi.
"Hmmm, sae." Gus Afif mengangguk.
Mereka terus saling jawab dan tanya, ingin melangkah keluar dulu, tetapi tidak sopan. Tidak cemburu dengan Alfi, dia juga merasa tidak enak melihat kegusaran wajahku. Alfi berusaha memancing agar aku yang menjawab pertanyaan Gus Afif, tetapi hasil akhir tambah menyakitkan.
"Mayoritas rumahnya mana yang sakit ini?" tanyanya lagi.
"Mmm, Ni'ma yang mendata ini," jawab Alfi.
"Saya tanyanya ke kamu, Al!" serunya.
Hiruk pikuk dunia di sebelah mana yang tidak membuatku perih, Ya Allah. Jika perlakuan Gus tetap seperti ini, tidak ada alasan lagi aku mempertahankan betahku di pesantren. Karena cintaku untuknya ini adalah penyemangat terbesarku, disakiti oleh orang yang dicintai, rasanya lebih sakit dari orang yang sudah terbiasa menyakiti, alias MUSUH.
'Namun, orang yang membenciku akan tertawa jika aku pergi dalam keadaan luka, dengan anggapan mereka yang terus saja menang dari semena-mena. Kapan selesainya masalah kalau begini?' Hatiku bergetar kala memandang foto Gus Afif dalam ruangan merangkul umminya. Merasa diingatkan, tetap ada orang baik yang bisa menerima, yang mengharapkanku pulang dalam keadaan baik.
Mau tidak mau, Alfi terus yang akhirnya menjawab sampai selesai. Angin pagi menyapa dengan sejuk, membawa langkah kaki dengan serempak dan semangat belajar di sekolah. Sedikit kehangatan terpancar dari sang surya, mendapatkan senyumnya yang begitu ramah. Bunga-bunga di sepanjang jalanku ke sekolah dari pesantren juga mulai bermekaran, hanya ada satu yang tangkainya patah, sama seperti diriku.
'Rumit Ya Allah."
Semua teman-temanku paginya ceria, bibirnya bermekaran, lain dengan bibirku yang terus terasa ditarik hati untuk mengurungkan senyum. Semoga sang Iradah memberiku petunjuk, menentramkan hatiku, dan memberiku kekuatan untuk benar-benar bisa di pesantren dengan baik. Meskipun perlakuanku dan perasaanku hancur, aku tidak berhenti berharap untuk benar-benar bisa menjadi orang baik.
"Ma, kita harus ngobrol dulu sama kamu," kata Athifa.
"Iya, diriku hancur, buruk sekali," jawabku.
"Kelebihan dan kekurangan itu selalu ada. Kamu sedang diuji untuk bisa melawan keburukan di bidang cinta. Namun, bukan berarti kamu itu buruk, kamu tetap punya sisi baik. Aku akui, kamu orangnya peduli, Ma. Udah gak usah lebay!" Sari duduk di sampingku dan memberi penjelasan.
"Yee, kayak gini dibilang lebay?" tanyaku.
"Iyo, pokok ra gelem ngguyu dianggap lebay! Hahaha," ucap Rini.
"Jangan pernah khawatir! Ambil jiwa Bestod untuk kekuatanmu," sahut Alfi.
Para Bestodku itu orang hebat. Alfi yang selalu setia, rela mengalah demi sahabatnya. Sari yang dewasa, tegas dalam bertindak. Rini yang selalu menghibur, dan Athifa yang memiliki ide-ide untuk memberikan kesan baik.
'Berarti, kita berlima ini memang harus bersama. Aku pasti kehilangan kalian jika boyong ini terlaksana. Peduli, setia, tegas, hiburan, dan ide. Lengkap, Masyaallah.'
"Hai para Bestod," sapa Kang Ahmad.
"Haii, kamu jangan terlalu neko-neko, kirim surat, ndeketin Ni'ma lagi!" seru Sari.
"Loh, ada apa? Kenapa?" Wajah Ahmad tampak bingung, aku malas bicara.
"Ni'ma kena sidang di pondok putri, sengaja kamu di pondok putra gak disidang. Tolong wong lanang yang baik hati, ngedoho dari Ni'ma, berteman boleh, tapi hentikan surat-suratan! Terus dipesen juga sama Gus Afif, kamu kan ketua kelas … nanti untuk anak perempuan gak boleh duduk di samping laki-laki bangkunya, harus ada yang menghalangi. Cepat ambil sathir noh di gudang!" Alfi meninggikan suaranya, ia tidak rela melihatku tidak dipedulikan Gus Afif.
"Cah, aku punya rencana untuk kakak kelas kita. Kalian mau denger, nggak?" tanya Athifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri
Romance"Setiap jiwa punya cerita, setiap raga punya cita, setiap hati punya cinta." "Hancur, rapuh, sakit dalam cerita, cita, atau cinta bukan berarti hidupmu sirna. Hanya saja masih waktunya harus melawan lara. Sampai kapan? Sampai Tuhan menitik masa, d...