9. CINTA ITU LENTERA

82 16 16
                                    

"Cinta itu lentera, menerangi suramku dalam kungkungan gundah gulana."

—Ni'matul Jannah—

"Yo mau to, jelas," jawabku.

"Sar, Al, Rin, dipanggil Ummi sekarang! Cepat berdiri woiii!" bentak Rata.

Ini, ini kakak kelas yang menjadi ratunya ghibah yang berusaha  menjatuhkan harga diriku. Mbak Rata yang pertama kali menyebarkan ghosip waktu aku masih menjadi santri baru. Ia menyebarkan kalau aku anaknya tidak bisa mencuci, sementara aslinya aku bisa dan posisiku masih menjadi santri baru. Melepas dengan keluarga saja masih belum bisa seratus persen, datang-datang sudah dijudge. Mulai saat itu aku langsung tidak betah sampai saat ini.

"Ya Allah, kalem Mbak," ucap lirih Athifa.

"Muak! Muak sekali Fa kalau denger dia! Lukaku darinya terlalu jeru!" sahutku.

"Oh iya,  aku juga punya masalah,"  ungkapnya.

"What? Kamu masalah apa? Gimana? Sebenarnya, kenapa kamu orangnya tertutup sekali?" tanyaku penasaran.

"Karena aku terlanjur kecewa dengan seseorang sehingga sering aku berpikir bahwa bercerita pun hanya akan dapat sia-sia, dibongkar, atau saran yang malah tidak memuaskan," jawabnya.

"Apa setiap orang mbok anggap ngono?"

"Lihat-lihat konteks permasalahan dan orangnya," kata Athifa.

"Apa menurutmu dengan tertutup dunia lebih indah?"

"Yes, curahkan semua kepada sang Pencipta akan lebih terasa lega, gak ada resiko dikhianati dan juga jawaban yang justru menyakitkan, kecuali kalau dirimu gak mau husnudzan. Namun, jangan sampai menyakiti dirimu sendiri! Minta solusi ke sesama manusia terkadang juga perlu, tapi usahakan dengan orang yang tepat, jangan terlalu detail juga karena kita nggak tahu loh, kapan orang itu akan baik, kapan berubah menjadi buruk. Bahkan ya, BESTIE  kita ini, pernah kan tidak akur karena kurangnya komunikasi dan tumbuh pertengkaran? Begitulah, yang sahabat aja bisa salah paham, bertengkar, apalagi dengan teman biasa."

"Bagaimana kamu tahu kalau jawaban dari Allah tidak menyakitkan?"

"Iya dong. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Begitu kan dalam surat Al-Baqarah? Rumusnya, manut dalane Gusti, diparingi mesti sanggup nglakoni. Kalau sudah beneran ayat tersebut mancep tenanan ing ngati,  sesakit apapun kita menjalani, pasti lubuk ketentraman menghampiri."

"Kita lanjut ceritanya nanti malam ya, lupa kalau waktu piket," kataku.

***

"Apa, Fa? Beli jajan dulu yang banyak, hehe ...."

"Iya-iya, banyak-banyak ora entek engko, coffee  cup sama kerupuk rencekan aja," sahutnya.

Malam Minggu, saatnya bioskop pesantren dibuka. Setelah syawir, mayoritas santri sudah di depan televisi. Aku dan Athifa, melanjutkan berkeluh kesah mengenai sakit hati yang kami rasakan. Tidak boleh lupa, jajan dulu sebelum sesi mencurahkan isi hati dimulai.

"Gini, yang terjadi di aku sekarang itu tentang biasa, pengabaian di tengah kerumunan. Paham kan, Ma? Emm, bahase seng masalahmu dulu," kata  Athifa.

"Paham. Kalau aku … dijudge awal nyantri masih mbekas sampai sekarang, ditambah kata si temannya Mbak Rata, ada beberapa teman dekatku dibilangin, jangan ada yang menemaniku, entar ketularan nakalku. Aissh, kayak dia gak pernah salah!" jawabku.

"Kunci kita itu sebenarnya ada di sikap sabar dan qonaah, kita menerima," ujar Athifa.

Dari teras pesantren, kita bisa melihat senyum bintang dan rembulan di langit hitam legam nan memberi ketentraman. Sesuai yang Athifa katakan, kita tidak perlu mencurahkan sedetail mungkin karena perubahan sikap manusia tidak ada yang tahu. Bisa saja, aku dan Athifa yang malam ini sama-sama gemar menyambut bintang, tidak mustahil besok hanya aku yang menyambutnya sendiri.

 Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang