POV ALFI AY
"Cinta itu bak rembulan. Dia menjadi senyum yang bersinar di tengah gelapnya renungan malam."
-Alfi Ay-
"Mboten, Ummi," jawab Rini.
Entah apa yang menjadi perbincangan. Aku baru datang dan mendengar Rini berkata demikian. Sembari membereskan gelas-gelas di meja luar, aku menyempatkan diri untuk menguping. Ikut bahagia, ternyata usut demi usut, temanku yang super konyol, yang suka bikin ketawa sedang di masa ta'aruf.
***
"Alfi," kata Gus Aldi.
"Jika seumpama kita menjalani ta'aruf seperti Rini dengan Gus Fahri gimana?" tanya Gus Aldi
"Haaa? Apa tidak terlalu cepat?" sahutku.
"Saya tidak mau ada kesalahpahaman. Apa kamu tidak siap jika orang tuaku menginginkan nikah cepat setelah proses ini?" tanyanya lagi.
"Aku siap saja, apapun keputusan Abi Ummi," jawab Alfi.
Lumayan takut kalau harus segera menikah karena belum bisa sesantai Rini dalam menghadapi permasalahannya. Namun, kalau sudah menyebut Abi dan Ummi, aku tidak bisa mengela. Sangat merasa bersalah tentunya, jika menolak akan keputusan Abi dan Ummi.
"Dan ... kamu harus siap," kata Gus Aldi.
Beliau ini membuat aku terbengong. "Siap napa?"
"Ta'aruf itu belum menikah. Kita masih bebas untuk lanjut maupun bubar, belum terikat, dan kita harus tahu batasan. Ngapunten, mungkin cara saya lumayan lancang, karena tidak langsung mengabarkan semua ini kepada yang lebih berhak atas dirimu, bahkan ini kita ketahui karena celometan teman-teman yang mana sesuai dengan isi hati kita," jawab Gus Aldi.
"Nggih, Insyaallah paham."
"Sedih jane. Takut hanya menyakiti kamu," celetuk Gus Aldi.
Ini ada apa? Belum apa-apa sudah membuat berdebar hebat. Katanya, Gus Aldi takut menyakiti aku saja. Mendengar itu memang berdebar hebat, tetapi aku yakin bahwa cinta itu membawa sebuah sinar yang terang di bawah hiruk pikuknya kegelapan. Meskipun harus berjuang, ya namanya saja kehidupan, sedangkan cinta itu bagian dari kehidupan.
"Maksudnya?" Aku mengerutkan kening.
"Saya punya tugas untuk mengabdi di tanah Sumatera, sedangkan kemungkinan saya membawa kamu ke sana itu ...." Gus Aldi menghembuskan napas panjang.
"Kenapa?"
"Mustahil, Al!" sahutnya.
"Apa yang membuat mustahil?" tanyaku.
"Kamu nanti akan tahu, tapi semoga saja takdir menyatukan kita. Mpun nggih, mboten sae terlalu kathah ngobrol ngeten niki. Jangan terlalu berpikir, ya udah saya sama Gus Fahri mau lanjut urus pekerjaan dulu. Assalamu'alaikum." Gus Aldi mendorong Gus Fahri untuk beralih dari depan koperasi MA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri
Romansa"Setiap jiwa punya cerita, setiap raga punya cita, setiap hati punya cinta." "Hancur, rapuh, sakit dalam cerita, cita, atau cinta bukan berarti hidupmu sirna. Hanya saja masih waktunya harus melawan lara. Sampai kapan? Sampai Tuhan menitik masa, d...