"Cinta itu meneduhkan, ia memberi tanpa mencuri, merangsang sekalipun tidak bersentuhan."
—Alfi Zunaira (Rara)—
Gus Yogi tiba-tiba masuk ke pesantren teras santri putri. Ia datang untuk mengambil pesanan bukunya santri putra karena hari ini penjual buku tidak mampir ke pesantren putra. Tanpa banyak berfikir, aku menuruti apa yang dikatakan oleh Gus Yogi.
***
SETENGAH TAHUN KEMUDIAN WAKTUNYA KOREKSI KITAB SAAT AKAN UJIAN SEMESTER 1 TAHUN AJARAN 2020/2021
"Loh, apa ini?" ucapku kaget.
"Apa Ra? Surat itu kayaknya," kata Athifa.
Assalamu'alaikum.
Bagus, kitabnya mboten wonten sing bolong. Tulisane diperbaiki malih nggih wanita cantik yang saya cintai. Mencintai itu boleh, bukan? Yang tidak boleh adalah menyalahgunakan. Saya tidak mengajak kamu terjun dalam lubang kesalahan, paham mboten maksud saya?Yogi Al-Farobi
"Wah-wah dapat peringatan, tapi peringatannya model begini. Benar kan tebakanku dari dulu, dia ada sesuatu sama kamu Ra," celetuk Ni'ma.
"Hmm, kata guru MA tuh kalau suratnya dilipat bentuk-bentuk gitu isyaratnya minta dibalas, beda kalau dilipatnya resmi," imbuh Ni'ma.
"Tepuk tangan, Geng Tolak Njarot temu jodoh, Aamiin jodoh ya semoga ya, cocok kalian," lanjut Alfi.
"Aamiin, moga aja moga aja," kata Sari.
"Ayo balas aja, Ra!" seru Rini.
"Cara Gus Yogi keren ihhh," ucap Ni'ma lagi.
Semakin ke sini, aku juga merasa aneh dengan sikap Gus Yogi dan sekarang terbukti dengan ungkapannya. Perhatiannnya terlihat spesifik sekali. Mereka heboh, aku yang bingung. Ya Tuhan, takut aku jadi berlebihan dan berpengaruh ke hafalan.
"Wedi aku, Cah!"
"Wedi apanya? Orang disayang kayak gitu kok malah takut wkwk," celetuk Rini.
"Yang penting hati-hati ... beres Ra," ucap Athifa.
"Entahlah, kita masuk sekolah sore dulu," ucapku.
Aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Athifa. Hafalannya tidak selancar dulu, bahkan tidak pernah tidak hafal saat hafalan Tashrif Lughowi. Wajahnya juga terlihat pucat dan kelihatan badannya semakin kurus. Ingin bertanya apa memang sedang sakit, tetapi aku hanya bisa mendekati. Aku bukan orang yang tipenya bisa menyampaikan secara langsung. Jadi, ini PR juga untukku bagaimana cara menyampaikannya.
'Semoga kamu baik-baik saja, Fa,' batinku berdoa.
Dia pernah bilang kakinya pegal-pegal saat sorog kemarin, dia datang terlambat dan setelah itu bercerita setiap bangun tidur ketika ia miring ke kanan saat bangun punggung kanannya jadi sakit, begitu pula sebaliknya kalau miring ke kiri. Nyeri sendinya ganti-ganti di berbagai organ tubuh. Jiwa khawatirku sepertinya akan menang dari ketidakberanianku.
"Fa, tumben nggak hafal tadi. Kamu lupa ngafalin ya? Nggak pernah loh nggak hafal biasanya," ucapku saat di tempat wudhu.
"Hehe, iya tadi nggak terlalu maksimal ngafalinnya," jawab Athifa.
"Kamu nggak lagi sakit kan?" Aku memberanikan diri untuk bertanya, soalnya kelihatan sekali kalau dia pucat.
"Enggak, Ra," jawabnya.
Ingin menyarankan ke Athifa untuk istirahat saja. Apa yang dikatakan waktu itu mungkin ada benarnya juga. Sekedar nyeri karena kecapean saja sebab habis ada banyak acara di ndalem. Mungkin memang kurang istirahat, selain di ndalem yang lagi banyak acara, Athifa itu punya disiplin luar biasa juga kalau dalam urusan belajar.
"Kelihatan pucet banget, entar sore nggak usah ke ndalem aja," saranku.
"Hahah, ngapain? Aku nggak apa-apa," jawab Athifa.
***
"Ba'da kumpulan kitab dapat teguran ganas tet tot. Ba'da kumpulan kitab dapat teguran yang dibungkus dengan cinta cling cling," sindir Ni'ma saat ada Gus Yogi di ndalem.
'Ya Allah malunya ini gimanaaa?! Mana Ni'ma bilang begitu!'
"Romantis gak?" tanya Gus Yogi dengan santai.
"Banget, Gus hahaha. Kumat deh malu-malu, tapi mau nih yang dikasih surat." Ni'ma melirikku dengan terkekeh.
"Ni'ma apa, sih! Isi wadah makanannya keburu kelaperan tuh anak-anak!"
"Masih jam segini ya belum laper toh Mbak Ra, yang ada baper, ehh!" celetuk Gus Yogi.
"Hhahahha, ayo cairkan terus Gus! Rini mana sih asyik asyik begini kok nggak ada Rini!"
Ni'ma masih saja meledekku, belum lagi Gus Yogi se-effort itu cara beliau menanggapi. Aku Alfi Zunaira, bukan Ni'matul Jannah yang bisa biasa saja di depan orang yang dicintai. Andaikan aku punya sayap, sudah pasti aku terbang bebas menghilangkan rasa maluku ini.
"Malesin deh kalian ini!" rajukku meninggalkan mereka.
Saat jam istirahat sekolah, kata temanku yang dari SMK, Athifa dimarahi orang tuanya saat ini. Sebenarnya semua santri tidak boleh dijenguk. Namun, kalau untuk pengobatan bisa dimaklumi. Ternyata, Athifa sendiri juga menyadari bahwasannya yang terjadi pada dirinya juga aneh. Athifa dimarahi karena kekhawatiran orang tuanya, tentu takut terjadi apa-apa yang membahayakan.
"Cah, Athifa diobatke to?" tanyaku.
"Iya, itu sama Ni'ma lagi ke Dokter Rofi," jawab Alfi.
"Ya Allah, katanya dipadoni tadi sama ibunya, kalian lihat nggak?" tanyaku.
"Nggak lihat karena lagi masuk tadi. Oh iya, memangnya Athifa sakit apa, sih? Kok aku nggak tahu apa-apa? Parah banget nih ... berasa nggak peka banget," ungkap Rini.
"La dianya juga tertutup," celetuk Sari.
"Ya jangan peh tertutup kita nggak peka, harusnya kita bisa lebih peka," kataku nggak terima saja dengan pernyataan Sari.
"Huuhh, iya gitu memang seharusnya, tapi ya apanya yang mau dipekai kalau kita nggak tahu apa-apa?" tanya Sari.
"Bukannya Athifa sudah bilang ya kalau dia nyeri sendi gonta-ganti?" kilah Alfi.
"Nah ... kan? Jadi kalau mau nyalahin ya jangan cuma nyalahin Athifa, kasihan loh ... udah sakit, nggak dapat peka dari kita, terus masih disalahin gitu?" Aku sedikit memonyongkan bibir, hari ini Sari bikin geram.
"Mending turu sek, awan-awan males eyel-eyelan! Aku itu nggak maksud nyalahin Athifa!" Sari meletakkan wadah makannya ke keranjang lalu tidur.
Entah maksud Sari akan bagaimana. Aku masih khawatir dengan keadaan Athifa. Aku berharap Athifa tidak sakit yang parah. Rasanya tidak bisa tidur, kenapa lama juga periksanya? Apa iya sampai rawat inap? Pikiranku sangat tidak tenang, walaupun aku dan Athifa belum kenal lama, bagiku Athifa adalah teman yang sudah sangat lama dan bisa begitu baik denganku, jangan ambil kesehatan Athifa Ya Allah.
***
"Nggak dibales to? Responnya gimana?" tanya Gus Yogi pada Alfi, aku menguping dari balik pintu masuk.
"Baik responnya, dia udah lama suka ke njenengan," jawab Alfi sembari memberi bungkusan titipan dari Ummi Aisyah.
"Hah? Yang bener?" tanyanya dengan wajah memerah.
"Ya benerlah. Cuma ya begitulah, dia itu malu kalau ketemu njenengan, biasa ... kebanyakan perempuan kan gitu kalau ketemu orang yang dicintai kayak ketemu pembunuh rasanya hahahha." Alfi terkekeh disambung dengan tawa kecil juga dari Gus Yogi.
"Hayoh ngrasani aku to Al!" celetukku lalu kabur langsung ke kamar mandi karena bicara begitu saja dan didengar oleh Gus Yogi rasanya sudah malu setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri
Roman d'amour"Setiap jiwa punya cerita, setiap raga punya cita, setiap hati punya cinta." "Hancur, rapuh, sakit dalam cerita, cita, atau cinta bukan berarti hidupmu sirna. Hanya saja masih waktunya harus melawan lara. Sampai kapan? Sampai Tuhan menitik masa, d...